Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menang atau Kalah, Seberapa Bernilai?

24 April 2020   14:19 Diperbarui: 24 April 2020   14:37 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Koleksi Pribadi

Sekalipun demikian, pengalaman kalah karena jatuh selalu memberi sisi kemenangan. Senyuman yang menghiasi raut adalah pertanda kepuasan. "Saya bisa berdiri dan melangkah lagi," mungkin itu yang akan tereja dari mungil bibirnya.

Itulah mengapa, acapkali orangtua membiarkan anaknya tersungkur jatuh dan membiarkannya meronta mencari uluran tangan yang tidak segera tersedia. Waktu membuatnya duduk ragu dan termangu mesti melakukan apa. Maka, meski terbata anak itu bangkit juga. Dia menyaksikan bahwa meski tak ada uluran asa toh orangtuanya tetap ada di sana.

Pengalaman "jatuh" dan "bangkit", menang dan kalah rupanya menjadi hal biasa. Itulah hidup. Menjelaskan hidup sekaligus mengenalkan kematian. Memaparkan menang-kalah atau jatuh-bangkit adalah tidakan bermata dua. Kita tidak bisa membuatnya bebas nilai. Memilih salah satunya justru menunjukkan bahwa orang dewasa itu sedang menihilkan nilai dalam pendidikan anak-anaknya.

Tindakan itu nyata dan gamblang di sekitar kita. Setiap hari nampak lalu lalang di depan mata. Anak-anak "dipaksa" menjadi pemenang, harus unggul dan juara dalam beragam rupa: kursus ini dan itu, karate dan sempoa, matematika dan seni suara, berenang dan bahasa, dan lain sebagainya. Nampak luar biasa, orangtua sungguh menyiapkan "tahta" agar anaknya tidak menderita, mungkin, seperti mereka orangtuanya. Jangan sampai tetes air mata menghiasi hidup anaknya.

Sayangnya, keterampilan hidup dapat diteguk dalam beragam rupa, juga tetes air mata. Air mata atau kegagalan yang menyapa pengalaman anak-anak agar jernihlah akal budi dan hatinya. Sayangnya, mala petaka dan kesialan yang lebih dirasa. Padahal, begitulah rasanya pengalaman "gagal" dan airmata tetapi dengannya membasuh luka, memurnikan langkah serta tugas perkembangan belajarnya sebagai manusia.

Pengalaman gagal atau kalah sesungguhnya membuat manusia lebih empati. Lebih berani memikul resiko dan tak mudah lari dari tanggung jawab. Kepada siapa? Pada dirinya sendiri dan komunitas sosialnya. Pada rekan dan lawannya. Pada yang sejenis dan lawan jenisnya. Pada yang sewarna dan sesuku.

Pengalaman itu juga mengajarkan sikap solider, soliter, dan tidak memonopoli kebenaran. Kaumku bukanlah kaummu, aliranku beda dengan mazabmu. Kamu putih dan aku coklat. Kamu jawa dan aku tionghua. Semua itu hanyalah kosa kata dan buah-buah kepicikan atas pendidikan yang membabi buta. Sayangnya kita, orang dewasa, menjadi arsitektur tanpa rasa pada generasi muda yang sesungguhnya terkadang basa-basi dan kiasan kata kita yang tidak bermakna.

Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Membadankan

Karena hidup bukanlah resep masakan, maka tak ada resep dan menu cepat saji yang bisa dibeli untuk menjadi nutrisi dan solusi.

Pengalaman hanya bermakna manakala indera kita mencecap dan merasakannya dengan kemendalaman. Semakin anak dimasukkan dalam lingkungan bebas nilai dan dijauhkan dari resiko sekecil apapun, maka orangtua sedang merancang kegagalan untuk anaknya.

Banyak orangtua merasa dengan memproteksi anak secara luar biasa, dia sedang memberikan cinta kasih tanpa batas bagi anaknya. Benarkah? Tentu saja tidak demikian.  Yang dilakukan orangtua itu sesungguhnya sedang mencabut "kekuatan" hakiki anak itu menghadapi keterasingan hidupnya sendiri. Jika itu yang terjadi, benarlah adagium yang mengatakan "orangtua masa kini sedang membunuh pelan-pelan imunitas individu dan sosial si anak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun