Aku mendengar suara ketukan di pintu kamar. Aku bergegas membukanya. Setelah sedikit basa basi dan kemudian dia memeriksa ibuku, lalu dia memberiku resep yang harus aku tebus malam itu juga. Padahal jam menunjukkan jam 10.30 malam.
"The drug store is about 20 minutes from here," ucapnya sambil keluar dari kamarku.
"Mom, I will go for few minutes to get you a medicine," ujarku pelan di telinganya.
Ibuku hanya mengangguk lemah.
Setelah mengambil dompet dan juga tas kecil, aku pun berjalan menuju lift. Setelah sampai depan meja resepsionis, aku menaruh kunci kamar lalu menyapa pria yang sama. "Sir, my mom is very ill, and I want to go to a drug store. If there is anything worse, could you reach me on my number?" pintaku sambil menyerahkan secarik kertas yang tertulis nomer hapeku disana.
Pria manis itu menerima kertas itu dan mengangguk. Aku lupa mengambil kunci kamarku kembali. Setelah sekitar satu jam aku meninggalkan Ibuku untuk menebus obatnya, aku berjalan menuju meja resepsionis untuk mengambil kunci kamarku.
"Hey I want to have my key," pintaku pada petugas resepsionis. Aku sudah tidak sabar untuk kembali ke kamarku.
"Excuse me?" Terlihat kebingungan di wajah pria manis itu.
"I'm staying in room 215. I want to have the key that I accidentally left it here," terangku padanya. Kunci kamar yang tanpa sengaja ketinggalan di meja resepsionis menjadi kesalahanku terbesar yang aku sesali hingga masa tuaku tiba.
"But Ma'am that room is empty," jawaban yang keluar dari mulut lelaki itu sanggup membuatku hampir murka.
Tidak lama lewatlah dokter yang tadi merawat Ibuku. "Doctor Dobson ... " sapaku dengan nada penuh kebingungan. Â "Tell me ... you just treated my mom about two hours ago right? And give me the receipt so I can get my mom drug ..." Aku meminta persetujuan dari dokter African-American itu.