"Kau yakin ingin kita bercerai?" tanya Qoiry di Sabtu sore yang mendung. Qoiry Sakban adalah seorang lelaki asal Klaten yang menikahiku 3 tahun yang lalu. "Karena aku tidak membayari operasi sesarmu?" tanyanya lagi.
Aku hanya bisa diam membisu. Duduk dipinggir tempat tidur dikamar kami yang tidak begitu luas. Aku menarik napas. Aku ingin menangis tapi aku tahan. Aku bingung dengan pikiranku sendiri.
"Ibumu kan yang memintamu? Perceraian ini bukan datang dari dirimu. Aku tahu itu," ucapnya lagi sambil mengganti kaosnya yang sudah kotor.
Aku bingung harus berkata apa. Dia memang benar. Perceraian ini atas permintaan  Ibuku. Dimata Ibuku, Qoiry tidak pantas menjadi menantunya. Dua kali sesar dia tidak ikut cawe-cawe bayar, padahal yang lahir adalah anaknya, tapi justru Ibuku yang keluar uang untuk bayari kelahiran anak-anaknya.
"Kamu tahu sendiri, aku tidak punya uang ..." dia membela dirinya sendiri. Memberi alasan kenapa dia tidak membayari kelahiran Dea dan Rahmad.
"Kamu bisa minta tolong dua kakak-kakakmu yang sudah sukses. Minta mereka untuk patungan," aku sudah tidak bisa untuk berdiam diri lagi.
"Kamu pikir semudah itu? Ibu juga baru saja keluar dari rumah sakit," belanya lagi.
Aku memilih mengalah pada keadaan. Aku keluar dari kamar. Berjalan ke belakang rumah.
"Qoiry bilang, kamu akan menggugat cerai?" tanya Ibu mertuaku yang sedang duduk di dipan belakang rumah.
Aku menghentikan langkahku. Aku berjalan dan duduk disamping Ibu mertuaku. Seorang wanita desa yang memiliki 3 putra dan 1 putri. Suamiku adalah anak bungsu.