Mohon tunggu...
Thibburruhany
Thibburruhany Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Sexy Killers" dan Perjuangan Semu

16 April 2019   01:06 Diperbarui: 16 April 2019   01:25 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Background Story

Sehari sejak dipublikasikan tanggal 13 April 2019 oleh WatchDoc di laman Youtube, banyak fenomena yang menarik sekaligus meresahkan yang berseliweran di media sosial saya. Paling banyak saya lihat di beberapa post story instagram milik kawan-kawan dan beberapa postingan di akun-akun buku, pegiat sosial, serta beberapa tokoh yang merespon film dokumenter tersebut.

Sebuah Pertemuan, Jogja dan Papua

Jujur saja, saya pribadi tidak mengikuti perjalanan WatchDoc via Youtube. Sebelumnya hanya tau saja lewat obrolan beberapa teman yang saat itu sedang berdiskusi tentang "Jogja Ora Didol" entah lewat mana bisa nyambung ke WatchDoc dan GreenPeace.

Beberapa tahun kemudian ketika ramai diberitakan tentang adanya penembakan kepada anggota TNI dan pekerja TransPapua, lewat obrolan singkat bersama teman yang kebetulan tumbuh besar di tanah Papua diberi link Film Dokumenter The Mahuje'z bikinan WatchDoc. Link

Obrolan dan diskusi sering saya lakukan dengan teman-teman sebelum menanggapi suatu berita, takutnya saya salah paham. Kebetulan ada salah seorang teman bernama Wazib Muchlis yang tumbuh besar di Papua, setidaknya satu dari sekian juta masyarakat Papua bisa memberikan saya informasi tentang bagaimana Papua sebenarnya? Sebab jika ingin dirunut, konflik sosial selalu punya rantai yang panjang dan saling berkaitan.

Di Jogja misalnya, di daerah saya mengenyam pendidikan SMP-SMA sering terjadi konflik yang cukup intens baik antar suku, atau bentrokan dengan warga. Belum lagi kejadian-kejadian kecil tentang penyerangan pos polisi, orang mabuk, dan lain sebagainya. Yang paling besar adalah konflik di asrama Papua Dari The Mahuje'z, lalu disambung Samin vs Semen, Kala Benoa, Asimetris, dan terakhir Sexy Killers.

"Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan,
penindasan, perintah, semprotan, hinaan.
Dari bawah ke atas yang ada adalah penjilatan,
kepatuhan, dan perhambaan."
Pramoedya Ananta Toer, House of Glass

Edan dan Frontal

Sebelum dirilis di tanggal 13 April 2019, saya melihat official Trailer Sexy Killers yang dirilis seminggu sebelum tayangan versi lengkapnya.

Saat melihat trailer tersebut, kalimat yang muncul pertama adalah "EDAN!". Meski keterlibatan korporat selalu terlihat di beberapa dokumenter sebelumnya, di seri terakhir ekspedisi Indonesia Biru ini baru benar-benar menampilkan keterlibatan tokoh dalam negeri, bahkan Capres dan Cawapres untuk pemilu tahun ini (2019) "FRONTAL!".

Sexy Killers - Monopoli, dan Hegemoni Korporasi

Ekspetasi saya ketika menonton official Trailer Sexy Killers (bahkan saat tayang perdana saya sempat mengirim link ke grup kawan-kawan mahasiswa S2), ternyata benar-benar edan. Tanpa menunggu lama, beberapa publikasi acara nonton bareng dan diskusi digelar di kampus.

Di media sosial juga saya melihat adanya acara serupa di berbagai titik, bahkan ada yang sempat dihentikan paksa. Pemutarannya sempat diberitakan di beberapa media massa, dan paling menarik, saya ingat betul jumlah subscriber WatchDoc sebelumnya hanya berjumlah 58K, malam ini saya lihat sudah mencapai 138K.

Secara singkat, film ini ingin menceritakan tentang akibat overdosis penggunaan sumber daya listrik bagi kehidupan sehari-hari di masyarakat perkotaan.

Salah satu yang dapat dilihat dalam film adalah eksploitasi sumber daya alam guna membuka lahan tambang batu bara dan pembangkit listrik.

Hal ini mengakibatkan konflik sosial, perebutan lahan, dan isu kesehatan. Film ini berusaha menggambarkan perilaku "pembunuhan" yang terkadang tidak disadari oleh orang kebanyakan.

Jika ditarik kedalam lingkup yang lebih luas, model pembunuhan ala sexy killers sebenarnya dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Di Jogja misalnya, banyak kasus yang sebenarnya berhubungan, misal masifnya pembangunan hotel dan apartemen di Jogja, pendirian Yogyakarta International Airport, dan masih banyak lainnya. Bagi saya, problem dimulai dari beralihnya lahan publik ke lahan privat.

Yang saya amati sendiri adalah perubahan alih fungsi lahan di daerah Babarsari terdapat lahan kosong yang dimanfaatkan untuk bermain voli. Hampir setiap sore, warga dan para mahasiswa berkumpul di lahan tersebut. Tidak jarang pula diadakan kompetisi voli disana.

Dua-tiga bulan kemudian, keramaian itu hilang. Lapangan voli ditutup oleh seng pembatas yang cukup tinggi, hanya pekerja dan truk-truk pengangkut pasir yang keluar masuk. Hari ini, seng pembatas dibuka kembali. Areal lahan kosong bekas lapangan voli berubah jadi warung kopi. Lahan publik yang diprivatisasi.

Di satu sisi saya sedih, jika membayangkan minimnya lahan untuk kepentingan publik yang memiliki banyak manfaat sosial. Namun disisi lain, saya juga tidak bisa apa-apa, karena sah-sah saja membeli lahan seseorang untuk keperluan pembangunan, asal ada duitnya.

Sexy Killers dan Simbol Kekinian

Seperti yang sudah saya sampaikan, banyak fenomena yang menarik sekaligus meresahkan yang berseliweran di media sosial saya. Paling banyak saya lihat di beberapa post story instagram milik kawan-kawan. Hal yang paling meresahkan adalah film ini jadi simbol "keren-kerenan" setelah posting di media sosial.

Alih-alih mensikapi dengan perubahan sikap dan perspektif terhadap lingkungan dan sosial. Postingan story dan konten hanya dijadikan tanda; pemberitahuan bahwa "saya telah menonton dan saya menjadi bagian dari perjuangan isu agraria, lingkungan, dan sosial" padahal dirinya sendiri masih gegabah dalam menyikapi perubahan lingkungan, sembarangan dalam penggunaan listrik, atau buang sampah sembarangan.

Atau yang paling menyedihkan beberapa adegan dalam film dipotong dan diklaim untuk kepentingan politik jelang pemilu tahun 2019.

Film ini, akan jauh lebih seksi jika kawan-kawan ikut menyimak Seri Dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru yang lain seperti Samin vs Semen, Kala Benoa, Asimetris, dan The Mahujez.

Lebih seksi lagi jika kita sebagai penonton film tidak terjebak pada subjek korporat yang terlibat. Tidak lagi penting menyalahkan, yang lebih penting adalah menjawab pertanyaan yang menggelisahkan; apa yang bisa kita lakukan hari ini, esok, dan seterusnya? Kita harus sadar betul, bahwa melawan korporasi tidak mudah. Tapi mengatur diri sendiri untuk sadar dan memahami masalah di lingkungan sekitar adalah metode paling efektif. 

"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati"
Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun