Seperti yang sudah saya sampaikan, banyak fenomena yang menarik sekaligus meresahkan yang berseliweran di media sosial saya. Paling banyak saya lihat di beberapa post story instagram milik kawan-kawan. Hal yang paling meresahkan adalah film ini jadi simbol "keren-kerenan" setelah posting di media sosial.
Alih-alih mensikapi dengan perubahan sikap dan perspektif terhadap lingkungan dan sosial. Postingan story dan konten hanya dijadikan tanda; pemberitahuan bahwa "saya telah menonton dan saya menjadi bagian dari perjuangan isu agraria, lingkungan, dan sosial"Â padahal dirinya sendiri masih gegabah dalam menyikapi perubahan lingkungan, sembarangan dalam penggunaan listrik, atau buang sampah sembarangan.
Atau yang paling menyedihkan beberapa adegan dalam film dipotong dan diklaim untuk kepentingan politik jelang pemilu tahun 2019.
Film ini, akan jauh lebih seksi jika kawan-kawan ikut menyimak Seri Dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru yang lain seperti Samin vs Semen, Kala Benoa, Asimetris, dan The Mahujez.
Lebih seksi lagi jika kita sebagai penonton film tidak terjebak pada subjek korporat yang terlibat. Tidak lagi penting menyalahkan, yang lebih penting adalah menjawab pertanyaan yang menggelisahkan; apa yang bisa kita lakukan hari ini, esok, dan seterusnya? Kita harus sadar betul, bahwa melawan korporasi tidak mudah. Tapi mengatur diri sendiri untuk sadar dan memahami masalah di lingkungan sekitar adalah metode paling efektif.Â
"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati"
Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H