Sexy Killers - Monopoli, dan Hegemoni Korporasi
Ekspetasi saya ketika menonton official Trailer Sexy Killers (bahkan saat tayang perdana saya sempat mengirim link ke grup kawan-kawan mahasiswa S2), ternyata benar-benar edan. Tanpa menunggu lama, beberapa publikasi acara nonton bareng dan diskusi digelar di kampus.
Di media sosial juga saya melihat adanya acara serupa di berbagai titik, bahkan ada yang sempat dihentikan paksa. Pemutarannya sempat diberitakan di beberapa media massa, dan paling menarik, saya ingat betul jumlah subscriber WatchDoc sebelumnya hanya berjumlah 58K, malam ini saya lihat sudah mencapai 138K.
Secara singkat, film ini ingin menceritakan tentang akibat overdosis penggunaan sumber daya listrik bagi kehidupan sehari-hari di masyarakat perkotaan.
Salah satu yang dapat dilihat dalam film adalah eksploitasi sumber daya alam guna membuka lahan tambang batu bara dan pembangkit listrik.
Hal ini mengakibatkan konflik sosial, perebutan lahan, dan isu kesehatan. Film ini berusaha menggambarkan perilaku "pembunuhan" yang terkadang tidak disadari oleh orang kebanyakan.
Jika ditarik kedalam lingkup yang lebih luas, model pembunuhan ala sexy killers sebenarnya dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Di Jogja misalnya, banyak kasus yang sebenarnya berhubungan, misal masifnya pembangunan hotel dan apartemen di Jogja, pendirian Yogyakarta International Airport, dan masih banyak lainnya. Bagi saya, problem dimulai dari beralihnya lahan publik ke lahan privat.
Yang saya amati sendiri adalah perubahan alih fungsi lahan di daerah Babarsari terdapat lahan kosong yang dimanfaatkan untuk bermain voli. Hampir setiap sore, warga dan para mahasiswa berkumpul di lahan tersebut. Tidak jarang pula diadakan kompetisi voli disana.
Dua-tiga bulan kemudian, keramaian itu hilang. Lapangan voli ditutup oleh seng pembatas yang cukup tinggi, hanya pekerja dan truk-truk pengangkut pasir yang keluar masuk. Hari ini, seng pembatas dibuka kembali. Areal lahan kosong bekas lapangan voli berubah jadi warung kopi. Lahan publik yang diprivatisasi.
Di satu sisi saya sedih, jika membayangkan minimnya lahan untuk kepentingan publik yang memiliki banyak manfaat sosial. Namun disisi lain, saya juga tidak bisa apa-apa, karena sah-sah saja membeli lahan seseorang untuk keperluan pembangunan, asal ada duitnya.
Sexy Killers dan Simbol Kekinian