Mohon tunggu...
Enrique Justine Sun
Enrique Justine Sun Mohon Tunggu... Freelancer - Technical Information Student • Psychology and Philosophy Enthusiast • Organizational Activists

Jendela Pendidikan Merubah Masa Depan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kupas Tuntas Korupsi: Warisan Budaya atau Penyakit Politik???

15 Agustus 2024   16:21 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat sendiri menggunakan DALL-E

Para pelaku korupsi pada masa itu seringkali memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Proyek-proyek besar pemerintah menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Tender proyek seringkali dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki kedekatan dengan penguasa, dengan harga yang jauh di atas harga pasar. Selisih harga tersebut kemudian menjadi keuntungan pribadi bagi para pelaku korupsi. Selain itu, mereka juga melakukan manipulasi data dan laporan keuangan untuk menyembunyikan jejak korupsi.

Modus operandi korupsi pada masa Orde Baru sangat beragam dan terus berkembang seiring dengan semakin canggihnya teknik-teknik kejahatan. Penyalahgunaan wewenang, penggelapan uang negara, pencucian uang, hingga suap menjadi praktik yang lumrah. Korupsi yang merajalela tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghambat pembangunan nasional. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru mengalir ke kantong-kantong para koruptor. Akibatnya, infrastruktur negara menjadi terbengkalai, pelayanan publik menjadi buruk, dan kesenjangan sosial semakin melebar.

Lebih jauh lagi, korupsi pada masa Orde Baru telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rakyat kehilangan harapan akan adanya pemerintahan yang bersih dan melayani. Sikap apatis dan sinis terhadap politik menjadi salah satu dampak dari maraknya korupsi. Korupsi juga telah mengikis nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Faktor-faktor yang menyebabkan maraknya korupsi pada masa Orde Baru sangat kompleks. Selain faktor struktural seperti sistem politik yang sentralistik dan lemahnya pengawasan, faktor kultural juga turut berperan. Budaya patronase, nepotisme, dan kolusi menjadi norma yang sulit diubah. Selain itu, ketiadaan sistem hukum yang independen dan penegakan hukum yang lemah juga menjadi pemicu maraknya korupsi.

Korupsi Pasca-Orde Baru

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, harapan besar tertuju pada era reformasi untuk memberantas praktik korupsi yang telah mengakar selama tiga dekade. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa korupsi pasca-Orde Baru tidak serta-merta lenyap. Justru, bentuk dan modus operandi korupsi mengalami evolusi yang semakin kompleks dan sulit dilacak.

Perubahan Bentuk dan Modus Operandi Korupsi

  • Korupsi Sistemik: Jika pada masa Orde Baru korupsi lebih terpusat pada lingkaran kekuasaan Soeharto, maka pasca-Orde Baru korupsi menjadi lebih sistemik dan melibatkan berbagai level pemerintahan. Korupsi tidak hanya terjadi pada proyek-proyek besar, tetapi juga merambah ke sektor-sektor yang lebih kecil, seperti pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah.
  • Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang Lebih Halus: Praktik KKN pasca-Orde Baru cenderung lebih halus dan sulit dideteksi. Penggunaan perusahaan cangkang, transfer pricing, dan aliran dana yang kompleks menjadi ciri khas modus operandi korupsi modern.
  • Korupsi di Sektor Swasta: Korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik, tetapi juga merambah ke sektor swasta. Praktik suap, penggelapan, dan manipulasi data keuangan sering terjadi dalam dunia usaha, terutama dalam kaitannya dengan perizinan dan tender proyek.
  • Korupsi Berbasis Teknologi: Perkembangan teknologi informasi telah dimanfaatkan oleh para koruptor untuk melakukan tindak pidana korupsi secara lebih canggih. Penggunaan internet, e-commerce, dan cryptocurrency memudahkan pencucian uang dan transfer dana secara ilegal.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi Pasca-Orde Baru

  • Lemahnya Pengawasan: Meskipun telah ada lembaga antikorupsi seperti KPK, namun pengawasan terhadap praktik korupsi masih belum optimal. Lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan kurangnya sumber daya manusia yang profesional menjadi kendala utama.
  • Tingginya Tingkat Korupsi: Tingginya tingkat korupsi telah menjadi budaya yang sulit diubah. Banyak pihak yang masih memandang korupsi sebagai cara yang wajar untuk mendapatkan keuntungan.
  • Kompleksitas Regulasi: Semakin kompleksnya regulasi di berbagai sektor membuka peluang bagi terjadinya penyimpangan dan korupsi. Celah-celah dalam peraturan perundang-undangan seringkali dimanfaatkan oleh para koruptor.
  • Keterlibatan Politisi: Politisi masih memiliki pengaruh yang besar dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam hal penganggaran dan proyek-proyek pemerintah. Keterlibatan politisi dalam praktik korupsi menjadi salah satu tantangan dalam pemberantasan korupsi.

Kasus-Kasus Korupsi Besar Pasca-Reformasi

Kasus-kasus korupsi besar pasca-Reformasi menunjukkan bahwa masalah ini bukan semata-mata warisan dari rezim Orde Baru, melainkan terus bermutasi dan berkembang dalam sistem politik yang baru. Meskipun telah terjadi pergantian kepemimpinan dan reformasi birokrasi, praktik korupsi masih saja merajalela. Beberapa kasus besar yang menghebohkan publik antara lain kasus korupsi proyek pembangunan infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, hingga kasus suap menyuap yang melibatkan pejabat tinggi negara. Modus operandinya pun semakin beragam dan kompleks, melibatkan jaringan yang luas dan melibatkan berbagai pihak.

Yang menarik perhatian adalah, banyak kasus korupsi pasca-Reformasi melibatkan tokoh-tokoh politik yang pernah menyuarakan anti-korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap pemberantasan korupsi seringkali hanya sebatas retorika politik. Selain itu, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum juga menjadi faktor yang memperparah masalah korupsi. Koruptor seringkali dapat lolos dari jerat hukum karena adanya perlindungan dari kelompoknya atau karena kurangnya bukti yang kuat.

Budaya dan Tradisi Korupsi

Pernyataan bahwa ada "budaya dan tradisi korupsi" di Indonesia seringkali digunakan untuk menjelaskan mengapa praktik korupsi begitu sulit diberantas. Namun, anggapan ini perlu dikritisi secara mendalam. Korupsi bukanlah budaya, melainkan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur yang ada dalam berbagai agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun