Mohon tunggu...
Ruaida Halim
Ruaida Halim Mohon Tunggu... -

There is Nothing Special

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesta Meriah Pengundang Bencana

11 Maret 2016   08:58 Diperbarui: 11 Maret 2016   09:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Udara pagi di kaki Kampung Lalang kali ini berbeda dengan kemarin. Lebih menyengat dan sedikit mendung. Apalagi dipenghujung tahun seperti ini, selalu dilanda badai. Angin super kencang dari arah barat daya akan menyapu bersih semua benda yang ada di sini. Termasuk warung-warung kecil yang jaraknya puluhan meter dari jalan raya. Kios lukisan milik ayah sudah pasti porak poranda. Sangat berantakan dan kami selalu kerepotan merapikannya kembali

Dulu, kalau angin kencang datang, yang rusak tidak seberapa karena pohon pelindung masih banyak. Dinding dan jendela kios juga tidak ada yang terbongkar. Kaca nako tidak ada yang pecah. Tapi sejak sepuluh tahun terakhir, bulan Desember menjadi bulan maut, bulan mematikan. Angin kuat super dahsyat yang dibawanya sungguh menghancurkan dan membinasakan. Tunggul-tunggul kayu puspa (Schima wallichii), pelawan (Tristaniopsis merguensis) dan teruntum (Lumnitzera racemosa) kini tersimpuh luluh. Mati. Tak bisa menahan angin. Pohon meranti (Shorea roxburghii) dan ulin (Eusideroxylon zwageri) hanya  tinggal nama. Hutan kampungku  botak! Gundul! Padahal dulunya di juluki Negeri bukan Main oleh orang Belanda karena hasil alamnya yang luar biasa.

Ribuan batang perancah dari berbagai jenis  melenggang indah ke dermaga lain dari negeri ini. Ratusan kubik kayu mengisi lambung-lambung pinisi yang berlayar menuju kota-kota besar. Penuh, sesak memenuhi geladak. Ratusan ton timah berasal dari negeri ini. Jutaan kubik pasir, juga dari sini. Tapi kini negeriku bukan lagi negeri yang kaya. Hasil alamnya sudah habis terkikis. Timah, pasir, lada, habis. Pun hutan yang tak lagi lebat dan hijau. Tandus!

Bukit-bukit disini tak ubahnya caping tua di atas nampan pasir raksasa. Tampak buruk dan tidak enak dipandang mata. Gersang! Tandus karena di tandusi. Gundul karena di gunduli dengan sengaja. Terlebih lagi bulan depan ada pemilihan anggota legislatif. Ini berarti hutan akan kembali di jarah. Dibantai. Orang-orang partai berlomba-lomba menggunduli pepohonan, menelanjangi hutan dengan suka cita di kampung-kampung, di pinggiran kota, dipantai, dimana saja asalkan dapat dipakai untuk tiang penyangga spanduk. Meski tersedia di depot, tak jarang mereka menebang sendiri untuk meminimalisir pengeluaran.

Pohon-pohon muda, di babat. Tunas-tunas baru di ranting pepohonan, di tebas bersama gelak tawa. Miris! Kini dada mereka terbusung kayu-kayu perancah. Puluhan nama di sanjung tinggi tumpukan dedaunan hijau. Kampungku berpesta besar. Meriah. Setiap ruang kosong berhias spanduk pelangi dan stiker visi misi mulai dari yang paling kecil hingga yang sangat besar. Dengan alasan murah meriah, tanpa sadar, mereka telah merusak paru-paru dunia. Ah, bukan. Bukan paru-paru dunia. Tapi paru-paru kampung.

*

Ayah baru selesai mandi ketika sebuah mobil dobel kabin menikung tajam di depan kios.  Gerigi bannya menancap jelas di pasir setengah lumpur ini. Dua pria muda duduk di bak belakang sambil berpegangan erat, meringis. Mungkin takut jatuh.

“Gimana, Leo? Kau sudah siap?” teriak seorang lelaki brewok bertubuh kurus  dari dalam mobil. Ayah memang selalu dihubungi orang-orang partai untuk urusan kayu dan keluar masuk hutan. Maklum, dulu ayah lama bekerja di tambang rakyat di hutan Cangkok.

“Oke, let’s go!” kata ayah penuh semangat sambil mengancingkan jaket kulitnya dan tergesa naik ke mobil.

“Ayah pergi dulu, Mir. Mungkin pulangnya malam. Soalnya spanduk harus segera  di pasang di puluhan titik hari ini.”

“Ke hutan lagi? Menebang lagi?” rasa kesal membuat nada bicaraku tinggi. Ingin rasanya ku bocorkan keempat ban mobil mahal itu agar mereka batal masuk hutan. Ayah hanya menoleh sepintas padaku dan langsung membuang mukanya ke depan. Dingin.

“Anakmu, payah. Kalau dia terus menghalangi, kau tidak dapat uang!” kata si brewok berbisik pada ayah. Kumisnya naik turun seiring hembusan keras dari rokok kreteknya. Dasar! Dia pikir aku tidak mendengar hasutan jahatnya.

“Hanya sedikit, kok. Tidak banyak. Percayalah, Mir!”

Kata-kata ayah benar-benar membuatku marah. Sedikit? Tidak banyak? Apakah ada yang pernah menghitung? Apakah mereka pernah menanam kembali pohon-pohon yang sudah mereka tebang? Miris. Dadaku tiba-tiba sesak. Terdengar jelas kicauan burung-burung kecil, gaduh,  riuh memecah sunyi . Terbayang tupai-tupai yang berlari ketakutan mencari tempat berlindung, seperti tontonan sirkus kelas dunia. Mendebarkan. Seperti dihantam godam ratusan kilo, kepalaku pusing. Berputar-putar. Angka-angka fantastis pun menari erotis di pelupuk mata.

Pada November kali ini, ada 150 calon anggota legislatif yang maju dalam pesta demokrasi yang diusung oleh 15 partai untuk 30 desa. Setiap partai mengajukan 10 calon yang akan duduk sebagai wakil rakyat di DPRD. Untuk satu baliho membutuhkan sepuluh batang perancah, satu spanduk, tiga batang. Satu bendera, satu batang dan satu buah umbul-umbul sebanyak satu batang.

Kayu perancah yang dihabiskan oleh partai untuk baliho, spanduk, bendera dan umbul berjumlah 10.800 batang. Angka ini jumlah dari baliho 4.500 batang (10 batang x 15 partai x 30 desa), spanduk 1.350 batang (3 batang x 15 partai x 30 desa), bendera 450 batang (1 batang x 15 partai x 30 desa) dan umbul-umbul 4.500 ( 10 buah x 15 partai x 30 desa). Sedangkan untuk para caleg, kayu yang dipakai berjumlah 2.550 batang yang berasal dari baliho 1.500 batang ( 10 batang x 150 caleg ), spanduk 450 batang (3 batang x 150 caleg), bendera 300 batang (1 batang x 2 buah x 150 caleg) dan umbul-umbul 300 batang (1 batang x 2 bh x 150 caleg). Total kayu yang terpakai adalah 13.350 batang.

Wow, inikah yang sedikit? Inikah yang namanya tidak banyak? Dalam kurun waktu 5 tahun, 13.350 batang kayu di tebang, dibinasakan secara “legal”. Ini belum seberapa. Angka yang di dapat hanya dari pemilihan caleg. Bagaimana jika ditambah dengan pemilihan bupati, gubernur bahkan sampai pemilihan presiden yang tentu saja memiliki jadwal yang berdekatan. Bahkan, yang lebih gila dan mencengangkan adalah pemilihan-pemilihan tersebut berada dalam kurun waktu 5 tahun itu. Kapankah pembantaian ini berakhir? Bilakah kekejaman terhadap alam ini berhenti? Apakah yang terjadi dengan hutan dan pantai kita jika ini dibiarkan terus menerus? Gersang dan tandus, ya! Langganan bencana, ya. Padahal setiap pohon membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh sempurna. Belum sempat besar, dibabat. Belum sempat tinggi, ditebang. Lalu, hutan yang menjadi bagian paru-paru bumi, paru-paru kehidupan dunia, hutan yang mana? Hutan maya?

Setelah pesta berakhir, rongsokan kayu tak berguna ini melapuk buruk di mamah waktu. Sebagian masyarakat meminta untuk dijadikan kayu bakar. Selebihnya terbuang sia-sia. Tak bisa dijadikan pagar karena pendek, tak dapat digunakan sebagai bahan bangunan sebab sudah terpotong-potong.

Kemudian bencana datang tanpa memberi salam. Banjir bandang menyapu rata material yang menghadang. Yang mati, banyak. Manusia, hewan ternak dan tanaman tumpas. Rumah, sekolah, kantor dan tempat ibadah rusak parah. Semua mengalami kerugian yang sangat besar.

Diskusi saling menyalahkan pun menjamur di radio, di televisi, di warung kopi, di halte-halte, di kantor-kantor pemerintah, di lorong-lorong jembatan hingga di komplek perumahan elit. Ketika bencana sudah dialami, saat musibah sudah di telapak tangan, semua langsung sepakat jika penggundulan hutan harus dihentikan. Lho, aksi demonstrasi kemarin itu panggung komedikah? Cuma lucu-lucuan? Protes keras di radio apakah hanya seperti lagu lawas yang membosankan? Spanduk-spanduk itu, apakah serupa surat cinta anak pubertas? Tak bermakna? Tak berarti?

*

Jam sudah menunjuk ke angka sembilan dan ayah belum pulang. Was-was pun  menjalari lekuk alam pikirku. Jangan-jangan ayah mabuk lagi bersama si gendut itu. Pastilah ayah berjudi di rumah Ko Atiam. Ah, semoga saja tidak. Baru saja aku menutup jendela depan yang kacanya pecah dihantam badai kemarin, bunyi nyaring klakson terdengar dua kali.

“Terimakasih, Bill. Besok kita lanjut lagi.” kata ayah sambil tersenyum dan menutup pintu mobil.

“Sama-sama, Leo.”

Brummm. Brummmm. Deru mesin perlahan menghilang tersapu angin. Aku yang memang sudah mengantuk, memilih diam ketika ayah memintaku membuatkan kopi untuknya. Dia terlihat lelah.

“Jangan manis.” katanya pendek.

“Diganti besi saja atau pakai tali. Hutan tidak rusak, alam terjaga.” kataku menimpali.

“Besi mahal!”

“Lho. Bukankah yang mencalonkan diri adalah orang berduit?” balasku sengit.

“Tidak semua berduit. Sebagian besar malah ngutang sana-sini.” kata ayah.

“Aku tidak perduli.Yang aku tahu, jangan pakai kayu perancah. Jika anggaran terbatas, ya secukupnya. Lagian, rakyat lebih mengenal mereka dari karya. Udah pernah berbuat apa. Kalau mau dipilih, ya harus sadar diri. Kita tidak harus menunggu jadi orang besar agar bisa melakukan sesuatu yang besar. Jangan hanya ketika ingin mencalonkan diri saja baru muncul. Dasar aneh!”

“Entahlah…”

Kopi yang masih setengah gelas, diminumnya cepat dan bangkit menuju kamar mandi. Braakk. Pintu tertutup rapat. Obrolan selesai.

Jawaban singkat ayah semakin membuat dadaku bergemuruh, kesal. Aku tak bisa berbuat apa-apa dimusim seperti ini, musim pencalonan. Teman-teman di komunitas peduli lingkungan juga cuma koar-koar tanpa hasil di depan kantor DPRD. Hasilnya nol. Tak digubris soal penggantian kayu perancah ke besi. Mereka bilang, ini omong kosong. Tidak mungkin bisa dilakukan. Kalau besi, anggaran akan bertambah. Duit negara yang keluar akan semakin banyak. Meski diterima untuk  berdialog, tapi ujung-ujungnya, tidak ada penyelesaian, tidak ada aksi nyata. Nol.

Arrrrgggghh…Apapun itu, aku tak perduli. Ini pembantaian hutan. Penggundulan sadis yang dilegalkan secara diam-diam. Hutan gundul adalah mata rantai bencana. Untuk memutusnya, seluruh elemen masyarakat berhenti menebangi pohon. Semua harus paham bahwa pembabatan dan penjarahan pohon merupakan perilaku buruk yang sangat merusak.

Menebang hutan berarti siap menerima malapetaka besar, siap di lahap bencana. Bukankah sudah banyak musibah yang terjadi karena hutan gundul? Kita selalu mengalami bencana rutin disebabkan pengrusakan hutan besar-besaran. Meski sering di bilang “sedikit”, tetap saja memiliki kontribusi terhadap bencana alam.

Para pemangku kekuasaan, hendaklah membuat undang-undang atau aturan tentang larangan dan sanksi penggunaan kayu perancah dari jenis apapun untuk spanduk/publikasi dalam pemilihan umum dan untuk kegiatan apapun. Titik. Dengan begitu, hutan terjaga, hutan resapan air ada. Bencana banjir dan tanah longsor akan berkurang. Jika tidak, bersiaplah di dera bencana sepanjang tahun.

*

Ayah masih tidur ketika telepon selulernya bergetar keras diatas meja. Bergegas aku mengangkat. Sebuah pesan masuk dari om Billy tertulis, “Leo, ke kantor, ya. Udah cair.”

Tanganku lincah menghapus pesan. Telepon kumatikan. Beeeeep. Bunyinya terdengar pelan. Biar saja ayah tidak datang mengambil uangnya. Aku masih kesal. Aku masih marah karena  pesta meriah pengundang bencana ini akan terus kita adakan entah sampai kapan.

Suatu hari nanti kita akan sampai di masa ketika pohon tidak ada lagi yang bisa ditebang. Suhu udara yang tinggi bisa untuk menggoreng telur di jalan-jalan kota. Burung-burung yang tersisa mengalami autis berat. Berjalan sendiri, asyik sendiri,  tak lagi bergerombol karena tak ada kawan, tak ada sarang untuk berkembang biak. Anak-anak kita, memiliki kebiasaan baru, bermain dengan dada telanjang karena tak tahan panas. Mereka tidak akan mengenal hutan, tidak mengenal kayu-kayuan Indonesia. Kelak, hutan menjadi kata yang asing bagi siapapun, termasuk aku.

-o0o-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun