“Terimakasih, Bill. Besok kita lanjut lagi.” kata ayah sambil tersenyum dan menutup pintu mobil.
“Sama-sama, Leo.”
Brummm. Brummmm. Deru mesin perlahan menghilang tersapu angin. Aku yang memang sudah mengantuk, memilih diam ketika ayah memintaku membuatkan kopi untuknya. Dia terlihat lelah.
“Jangan manis.” katanya pendek.
“Diganti besi saja atau pakai tali. Hutan tidak rusak, alam terjaga.” kataku menimpali.
“Besi mahal!”
“Lho. Bukankah yang mencalonkan diri adalah orang berduit?” balasku sengit.
“Tidak semua berduit. Sebagian besar malah ngutang sana-sini.” kata ayah.
“Aku tidak perduli.Yang aku tahu, jangan pakai kayu perancah. Jika anggaran terbatas, ya secukupnya. Lagian, rakyat lebih mengenal mereka dari karya. Udah pernah berbuat apa. Kalau mau dipilih, ya harus sadar diri. Kita tidak harus menunggu jadi orang besar agar bisa melakukan sesuatu yang besar. Jangan hanya ketika ingin mencalonkan diri saja baru muncul. Dasar aneh!”
“Entahlah…”
Kopi yang masih setengah gelas, diminumnya cepat dan bangkit menuju kamar mandi. Braakk. Pintu tertutup rapat. Obrolan selesai.