Jawaban singkat ayah semakin membuat dadaku bergemuruh, kesal. Aku tak bisa berbuat apa-apa dimusim seperti ini, musim pencalonan. Teman-teman di komunitas peduli lingkungan juga cuma koar-koar tanpa hasil di depan kantor DPRD. Hasilnya nol. Tak digubris soal penggantian kayu perancah ke besi. Mereka bilang, ini omong kosong. Tidak mungkin bisa dilakukan. Kalau besi, anggaran akan bertambah. Duit negara yang keluar akan semakin banyak. Meski diterima untuk berdialog, tapi ujung-ujungnya, tidak ada penyelesaian, tidak ada aksi nyata. Nol.
Arrrrgggghh…Apapun itu, aku tak perduli. Ini pembantaian hutan. Penggundulan sadis yang dilegalkan secara diam-diam. Hutan gundul adalah mata rantai bencana. Untuk memutusnya, seluruh elemen masyarakat berhenti menebangi pohon. Semua harus paham bahwa pembabatan dan penjarahan pohon merupakan perilaku buruk yang sangat merusak.
Menebang hutan berarti siap menerima malapetaka besar, siap di lahap bencana. Bukankah sudah banyak musibah yang terjadi karena hutan gundul? Kita selalu mengalami bencana rutin disebabkan pengrusakan hutan besar-besaran. Meski sering di bilang “sedikit”, tetap saja memiliki kontribusi terhadap bencana alam.
Para pemangku kekuasaan, hendaklah membuat undang-undang atau aturan tentang larangan dan sanksi penggunaan kayu perancah dari jenis apapun untuk spanduk/publikasi dalam pemilihan umum dan untuk kegiatan apapun. Titik. Dengan begitu, hutan terjaga, hutan resapan air ada. Bencana banjir dan tanah longsor akan berkurang. Jika tidak, bersiaplah di dera bencana sepanjang tahun.
*
Ayah masih tidur ketika telepon selulernya bergetar keras diatas meja. Bergegas aku mengangkat. Sebuah pesan masuk dari om Billy tertulis, “Leo, ke kantor, ya. Udah cair.”
Tanganku lincah menghapus pesan. Telepon kumatikan. Beeeeep. Bunyinya terdengar pelan. Biar saja ayah tidak datang mengambil uangnya. Aku masih kesal. Aku masih marah karena pesta meriah pengundang bencana ini akan terus kita adakan entah sampai kapan.
Suatu hari nanti kita akan sampai di masa ketika pohon tidak ada lagi yang bisa ditebang. Suhu udara yang tinggi bisa untuk menggoreng telur di jalan-jalan kota. Burung-burung yang tersisa mengalami autis berat. Berjalan sendiri, asyik sendiri, tak lagi bergerombol karena tak ada kawan, tak ada sarang untuk berkembang biak. Anak-anak kita, memiliki kebiasaan baru, bermain dengan dada telanjang karena tak tahan panas. Mereka tidak akan mengenal hutan, tidak mengenal kayu-kayuan Indonesia. Kelak, hutan menjadi kata yang asing bagi siapapun, termasuk aku.
-o0o-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H