Lift dan Air Mineral
Peristiwa yang terjadi di pintu lift hotel itu menunjukkan betapa bencinya Adi terhadap Adul. Kebencian yang dari hari ke hari semakin memuncak. Seperti gunung berapi yang siap memuntahkan magmanya membanjiri siapa saja yang ada di dekatnya. Adi dan Adul berprofesi sama sebagai guru, juga bekerja di tempat yang sama.
Adi seorang yang sangat perfect. Ia selalu tampil rapi. Pakaian dan rambutnya selalu licin, tak pernah kelihatan kusut. Kalau berbicara apa perlunya saja. Ia beranggapan bicara terlalu banyak itu tak penting. Buang-buang energi saja katanya.Â
Sedangkan Adul yang bertubuh kekar itu suka bercanda. Ia tak terlalu serius menghadapi masalah kehidupan ini. Apa pun yang dilihatnya bisa dijadikan bahan candaan.
Kalau ada Adul di mana pun akan terjadi kegaduhan. Karena dialah pemancing keributan yang ulung. Suasana menjadi ramai dengan dihiasi tawa renyah teman-temannya, kalau dirinya mulai beraksi. Kantor serasa sepi tanpa kicauan dari mulutnya.
Siang itu udara sangat panas. Kegiatan yang padat membuat para guru kelelahan. Berawal  dari candaan Adul yang kelewatan di telinga Adi saat istirahat siang. Adul memanggil Adi seolah memanggil adiknya sendiri.
"Di, tugasmu sudah selesai?"
Adi yang saat itu dalam suasana hati yang tidak nyaman merasa tersinggung. Ia tidak terima namanya disebut dengan tidak hormat.
"Emang lo siapa, nanya-nanya tugas. Kepala sekolah juga bukan!"
"Oh, maaf hanya sekedar bertanya saja."
"Gak perlu nanya-nanya!"
Teman-temannya sekantor sejenak tertawa mendengar pembicaraan mereka berdua. Tetapi detik berikutnya mereka pasang muka serius, demi melihat Adi marah. Adi tak suka dengan pertanyaan Adul. Pertanyaan yang "biasa" itu ternyata menjadikan hal yang luar biasa.Â
Hal yang tak pernah disadari oleh Adul. Ia menyesal telah membuat Adi marah. Ia berusaha meminta maaf  kepada Adi, tetapi apa daya permintaan maaf itu tak pernah digubrisnya.Â
Bahkan ketika Adul mau membantu Adi dengan tulus pun tak diterimanya. Seakan Adi sudah mencanangkan bahwa ia akan membenci Adul sampai 7 turunan.
Adi dan Adul menginap di hotel yang sama. Acara dari kantornya membuat mereka berdua di tempat yang bersamaan. Sesuatu yang tidak diinginkan terutama oleh Adi. Ia sangat membenci Adul lelaki paruh baya yang menjadi rekan kantornya.
Kamar Adi dan Adul sama-sama di lantai 4. Hanyalah nomor kamar yang membedakannya. Adi sampai di pintu lift lebih dulu daripada Adul. Ia memang sengaja melakukan hal itu. Hatinya tak sudi melihat Adul, apalagi hanya berdua di lift yang sempit, pantang baginya. Seolah tahu tentang hal itu, maka Adul mundur beberapa langkah  bahkan berlindung di belokan lorong agar tak terlihat oleh Adi.
Adi mencoba membuka pintu lift dengan memencet nomor 4. Ia menunggu beberapa detik, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Ia memencet lagi tetapi tak ada hasil. Adi mulai curiga, jangan-jangan lift ini rusak. Sekali lagi ia memastikan, dan tenyata lift tak mau terbuka.Â
Adul yang berada di belokan lorong, mengintip keadaan Adi. Ia curiga karena sudah beberapa menit Adi masih berada di tempat yang sama. Nalurinya membawa ia melangkah akan membantu Adi membuka pintu lift. Maka dengan yakin ia menuju ke sana. Menyadari kedatangan Adul, Adi menjadi salah tingkah. Ia tak mau melihat Adul. Maka ia berlari sebelum Adul sampai di tempat itu.
"Naik tangga sajalah. Liftnya gak mau terbuka," begitu gumamnya.
Adi segera berlari menuju tangga naik, sebelum matanya beradu pandang dengan Adul. Adi berlari secepat yang ia bisa, meskipun ia tahu  pasti akan ngos-ngosan naik tangga sambil berlari sampai lantai 4. Tetapi Adi tetap melakukannya. Ia merasa lebih baik capek badan daripada capek pikiran dan perasaan.
Adul mencoba membuka pintu lift. Dengan menempelkan cardlock, pintu itu terbuka. Rupanya Adi tidak tahu cara membukanya. Ia tak membaca petunjuk yang ada di situ.
 Anehnya ia tak mau bertanya, apalagi menerima bantuan dari orang lain. Gengsinya terlalu tinggi, tak mau mengakui kelemahannya. Ia memendam hal yang tidak baik di dalam dirinya. Bukankah memendam dendam itu merupakan hal yang tidak baik? Seperti menyimpan kotoran di dalam tubuh yang menyebabkan penyakit baru timbul di dalam dirinya. Hal yang tidak disadari oleh Adi.
Adul tersenyum sendiri di dalam lift. Ia merenungkan hal yang baru saja dialaminya. Ia mau berbuat baik tetapi tidak diterima. Bahkan keberadaannya tak dianggap sama sekali.
Sebenarnya ia berhak sakit hati. Tetapi itu tak dilakukannya. Ia berusaha mawas diri, melihat ke dalam. Tak semua perbuatan baiknya diterima oleh orang lain.Â
Ia pun tak berhak memaksa orang lain menerima perbuatan baiknya. Ia juga menyadari dirinya  tak selalu baik dan benar.  Namun ia bertekad untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun. Ia akan melakukan kebaikan setiap saat sampai ia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sampai di kamar hotel Adul meletakkan ranselnya di meja. Ia teguk segelas air mineral yang tersedia di sana. Dinginnya menyejukkan tenggorokan dan hatinya. Ia ingin seperti air itu. menyejukkan bagi setiap orang tanpa membedakan. Air tak pernah memilih siapa yang akan meminumnya, juga tak memaksa orang untuk meminumnya. Tetapi kesejukan tetaplah dibawanya di mana pun berada.
 Jambi, 31 Oktober 2020
Theresia Sumiyati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H