Mohon tunggu...
Theresia Sumiyati
Theresia Sumiyati Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/theresiasumiyati8117

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak laki-laki. Senang membaca, menulis, dan bermain musik. Hidup terasa lebih indah dengan adanya bacaan, tulisan, dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lift dan Air Mineral

10 November 2020   08:52 Diperbarui: 10 November 2020   08:55 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Teman-temannya sekantor sejenak tertawa mendengar pembicaraan mereka berdua. Tetapi detik berikutnya mereka pasang muka serius, demi melihat Adi marah. Adi tak suka dengan pertanyaan Adul. Pertanyaan yang "biasa" itu ternyata menjadikan hal yang luar biasa. 

Hal yang tak pernah disadari oleh Adul. Ia menyesal telah membuat Adi marah. Ia berusaha meminta maaf  kepada Adi, tetapi apa daya permintaan maaf itu tak pernah digubrisnya. 

Bahkan ketika Adul mau membantu Adi dengan tulus pun tak diterimanya. Seakan Adi sudah mencanangkan bahwa ia akan membenci Adul sampai 7 turunan.

Adi dan Adul menginap di hotel yang sama. Acara dari kantornya membuat mereka berdua di tempat yang bersamaan. Sesuatu yang tidak diinginkan terutama oleh Adi. Ia sangat membenci Adul lelaki paruh baya yang menjadi rekan kantornya.

Kamar Adi dan Adul sama-sama di lantai 4. Hanyalah nomor kamar yang membedakannya. Adi sampai di pintu lift lebih dulu daripada Adul. Ia memang sengaja melakukan hal itu. Hatinya tak sudi melihat Adul, apalagi hanya berdua di lift yang sempit, pantang baginya. Seolah tahu tentang hal itu, maka Adul mundur beberapa langkah  bahkan berlindung di belokan lorong agar tak terlihat oleh Adi.

Adi mencoba membuka pintu lift dengan memencet nomor 4. Ia menunggu beberapa detik, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Ia memencet lagi tetapi tak ada hasil. Adi mulai curiga, jangan-jangan lift ini rusak. Sekali lagi ia memastikan, dan tenyata lift tak mau terbuka. 

Adul yang berada di belokan lorong, mengintip keadaan Adi. Ia curiga karena sudah beberapa menit Adi masih berada di tempat yang sama. Nalurinya membawa ia melangkah akan membantu Adi membuka pintu lift. Maka dengan yakin ia menuju ke sana. Menyadari kedatangan Adul, Adi menjadi salah tingkah. Ia tak mau melihat Adul. Maka ia berlari sebelum Adul sampai di tempat itu.

"Naik tangga sajalah. Liftnya gak mau terbuka," begitu gumamnya.

Adi segera berlari menuju tangga naik, sebelum matanya beradu pandang dengan Adul. Adi berlari secepat yang ia bisa, meskipun ia tahu  pasti akan ngos-ngosan naik tangga sambil berlari sampai lantai 4. Tetapi Adi tetap melakukannya. Ia merasa lebih baik capek badan daripada capek pikiran dan perasaan.

Adul mencoba membuka pintu lift. Dengan menempelkan cardlock, pintu itu terbuka. Rupanya Adi tidak tahu cara membukanya. Ia tak membaca petunjuk yang ada di situ.

 Anehnya ia tak mau bertanya, apalagi menerima bantuan dari orang lain. Gengsinya terlalu tinggi, tak mau mengakui kelemahannya. Ia memendam hal yang tidak baik di dalam dirinya. Bukankah memendam dendam itu merupakan hal yang tidak baik? Seperti menyimpan kotoran di dalam tubuh yang menyebabkan penyakit baru timbul di dalam dirinya. Hal yang tidak disadari oleh Adi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun