Tiba - tiba aku ingat akan janjiku. Aku terbangun begitu saja. Pandanganku beradu dengan tembok itu. Samar - samar aku melihat sebuah wajah di balik tembok itu. Wajah itu tercetak kian pasti. Aku menerka - nerka pada mulanya. Namun sosoknya menyeruak dari sana. Lasciani !
Wajah gadis berparas ayu itu persis ada di depanku. Rambutnya yang panjang sebahu hitam legam. Kedua bola matanya sendu. Sama seperti saat terakhir aku meninggalkannya. Di sini, di kamar ini, beberapa tahun yang lalu.Â
Aku pun terduduk. Wajah polosnya mengingatkanku pada sesuatu yang mengerikan. Sedih, takut, dan luka menganga yang mengalir dalam tetesan demi tetesan keringat dingin.Â
Keadaanku begitu berbeda dengannya. Aku pandai bersolek. Rambutku menjuntai lurus sebahu, tapi berwarna pirang. Kedua bola mataku terbingkai kaca mata bermerk dan sorot mataku tegas. Tidak seperti miliknya yang ... Ahhh ... lugu.Â
"Pergilah, Lasciani !" Hardikku sambil mengenyahkannya.Â
Ia tetap bergeming.Â
Bulir - bulir kristal melaju turun membentuk anakan sungai di kedua pipinya.Â
"Aku sudah melupakanmu." Bantahku.
Suaraku bergema ke seluruh ruangan.
"Pergi ! Aku tak mau melihatmu !" Teriakku.Â
Tiba - tiba aku melihatnya tersenyum.Â