Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tak Peduli] BBM Turun Lagi

5 Januari 2016   17:07 Diperbarui: 5 Januari 2016   17:07 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana sebuah warung kopi,

 

"Mbok, kopi pahitnya satu ya."

"Iya, Mas, seperti biasa to !"

Aku tersenyum sambil mengangguk - anggukkan kepala ke arah Si Mbok. 

Ritual minum kopi di warung kopi ini awalnya biasa saja. Sama sekali tak ada yang istimewa. Ketika pagi itu, aku bertemu dengan Pak Tua. Nah, beliau ini lah yang menjadikan ritual ini menjadi terasa hangat dan mesra.

Hmmm ... aku lelaki tulen lho, hihihiihii ... kalau pun tadi aku bilang mesra, bukan berarti aku ada "sesuatu" sama Pak Tua itu. 

Setidaknya, aku nyaris tak pernah menemukan figur seseorang yang sama seperti Pak Tua. Matanya yang teduh, menghanyutkan seorang lelaki muda sepertiku, seakan ia menembus ke dalam semangat jiwa mudaku yang berapi - api. Ia mampu meredam setiap kata - kata penuh amarah yang kuhentakkan saat aku merasa gelisah.

Garis - garis tipis di dahinya, pertanda kesan wibawa yang sarat makna. Meski, kadang Ia memilih diam ketika aku membakar suasana hatinya dengan berita - berita baru yang kusampaikan padanya.

Pak Tua adalah figur di mana kedewasaan ditempa oleh waktu dan jiwa yang besar. Darinya aku belajar banyak hal, termasuk belajar mengenal diriku sendiri, yang memang masih bersembunyi di balik ego kelelakian mudaku.

"Ini, kopinya, Mas." Suara Si Mbok mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku tentang sosok sahabat yang kurindukan setiap hari. Ya, perbedaan umur kami memang cukup jauh berbeda. Tetapi soal menikmati kopi di warung ini, kami masih mempunyai selera yang sama. Dan dari obrolan tentang kopi inilah, akhirnya aku mengenal lebih banyak tentangnya.

Tanganku masih enggan meraih bibir gelas kopi ini. Ahh, ke mana saja Pak Tua ini. Ingin sekali rasanya ku awali ritual ini bersamanya. 

Kulirik lagi jam tangan kulit yang menempel di tanganku. Satu - satunya peninggalan almarhum ayahku. Pukul 06.20 wib. Masih ada waktu sebelum aku beranjak dari tempat ini.

Entah mengapa, hatiku menahan seluruh tubuh ini untuk segera beranjak dari warung kopi. Sampai akhirnya, tepukan halus di pundakku, mengguncang senyum di bibirku.

Pak Tua t'lah tiba. Si Mbok dengan sigap mengaduk - aduk kopi milik Pak Tua yang bahkan belum dipesannya. Pak Tua meraih bibir gelasnya, perlahan ia menghangatkan tubuhnya dengan meniup - niup kopi yang ada di hadapannya.

Aku mengamat - amati Pak Tua dengan tidak sabar. Ia terkekeh melihat gelagatku, seperti biasanya. 

"Berita apa yang kau bawa hari ini, Hanif !"

Suaranya yang tegas, memecah rasa di dalam dadaku, yang sedari tadi ingin menyeruak.

"BBM turun lagi, Pak Tua." Jawabku lantang.

"Lantas .... ?" Tanyanya singkat

Aku bingung, belum siap dengan jawaban dari pertanyaannya itu. 

Ia menyeruput kopinya, menghirup aroma kopi itu dalam - dalam. 

"Hanif ... Hanif ... Beberapa hari yang lalu, aku masih ingat, kau berjalan tergesa - gesa ke warung kopi ini untuk menemuiku."

Aku menunduk malu. Tatapan matanya semakin menajam. Sorot matanya yang teduh itu, menyelisik ke dalam hatiku seolah - olah bermain - main dengan kemudaanku. 

"Kau bilang waktu itu, pemerintah sudah kalah. Minta disubsidi oleh rakyat. Bahkan pemerintah akan menetapkan Dana Ketahanan Energi yang dipungut dari rakyat yang membeli BBM."

"Kau lupa Hanif ... Kau lupa tampaknya." Ia menghela nafasnya di sela - sela kegiatan meniup kopi di hadapannya.

Aku mengumpulkan segenap keberanianku, dan entah bagaimana aku memulainya, aku menjawab, "Kali ini tidak, Pak Tua, berita hari ini, pemerintah akan menurunkan tarif BBM dan produk - produk lain dari Pertamina." Besarannya pun berbeda - beda untuk BBM jenis premium dan solar, bahkan pertalite dan harga gas pun turun." Ujarku pada Pak Tua.

Kali ini, Ia menyimpan gelas kopinya di atas alas gelas dan menutupnya rapat - rapat. 

"Hanif, sebenarnya bukan aku tak peduli dengan penurunan BBM ini. Kau tahu Hanif, untuk orang - orang semacam kita, penurunan harga BBM itu tak seberapa artinya, dibandingkan penurunan harga sembako."

"Kau lihat, orang - orang di kampung ini. Hanya beberapa saja yang mempunyai kendaraan bermotor. Perkara memasak, mereka pun menggunakan kayu bakar. Lantas, apa dampaknya bila harga BBM turun ?"

Pak Tua menegakkan posisi duduknya. Lalu ia lanjut bercerita. "Hanif, ketika harga BBM naik, seperti berita yang kau beritahukan waktu itu, kita memang merasakan dampaknya. Kau tahu Hanif ?" Ia memandangku lekat - lekat.

"Si Mbok dengan tega menaikkan harga segelas kopi di warung ini. Dari yang tadinya Rp 3.000,00 menjadi Rp 5.000,00. Dan harga pisang goreng yang semula Rp 500,00 menjadi Rp 700,00."

Si Mbok melirik ke arah kami sambil tersenyum malu. Namun, Si Mbok hanya terdiam. Merasa hanya tamatan SR, Si Mbok tak mampu ikut - ikutan berdiskusi dengan kami. Yang Si Mbok pikirkan adalah anak semata wayangnya, si Tinah. Sudah belasan tahun daftar jadi TKW, tak pernah kirim uang, kirim kabar pun tak pernah. Selain itu, pekerjaannya hanyalah mengurus warung kopi miliknya yang sudah semakin reyot.

"Ayo, minum kopimu, Hanif. Sebelum jadi dingin. Nanti tak enak." Gurau Pak Tua. 

Tanpa diperintah dua kali, aku menghabiskan kopi di gelasku. Hangat sekali, terasa melewati kerongkonganku. Ahh, lumayan untuk menembus pagi yang agak lembab ini. 

Senada denganku, Pak Tua pun menghabiskan kopi di gelasnya. Ia tersenyum nikmat. Kami melanjutkan obrolan. 

"Hanif, pemerintah sudah memikirkan yang terbaik untuk rakyatnya. Ketika aku seumuran dengan Kau, Hanif, aku gemar berkumpul dengan kawan - kawanku. Kami bertukar berita baru dan membahasnya dalam acara - acara tidak resmi, seperti di warung kopi ini. Itulah sebabnya, aku selalu senang minum kopi di warung kopi. Aku juga senang bertemu denganmu, Hanif. Bertemu dengan seorang anak muda dari kampung yang tidak ketinggalan informasi terbaru dan bijak mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. 

Aku menghela nafas dalam - dalam, sambil menahan malu. Rasa penasaran mendorongku memutus pembicaraannya, "Pak Tua, kenapa pemerintah itu seperti belum matang dalam menentukan keputusan - keputusan yang menyangkut banyak orang ?" Tanyaku.

"Mungkin maksudmu, pemberitaan terkait naik turunnya harga BBM dan Dana Ketahanan Energi yang akhirnya tidak jadi diterapkan ?" Tanya Pak Tua.

"Iya, Pak Tua. Menurutku, masyarakat mungkin saja menilai bahwa pemerintah itu tergesa - gesa atau belum matang dalam menetapkan suatu kebijakan. Rakyat sudah terlanjut tahu, terlanjur kecewa, dan mencibir pemerintah. Tiba - tiba, diumumkan lagi kalau ternyata kebijakan itu tidak akan diterapkan."

Pak Tua melihat ke arah jalan raya. Tatapannya seakan - akan kosong. Ia tampak mengambil sesuatu dari saku bagian dalam mantelnya. Sebuah sapu tangan berwarna jingga.

"Coba kau lihat sapu tangan ini, Hanif. Katakan padaku, apa yang kau lihat !" Katanya. "Sapu tangan itu indah Pak Tua, sayang ada noda tinta di tengahnya." Jawabku setelah beberapa saat mengamati sapu tangan itu.

"Kau harus belajar lagi, Hanif. Pikiranmu sama dengan kebanyakan orang yang pernah kutanya." Pak Tua memandangku dengan iba. Aku membayangkan, berapa banyak orang yang pernah bertemu dengan Pak Tua dan melihat sapu tangannya ini. "Hanif, lihatlah di tengah - tengah sapu tangan ini ada sulaman burung kecil yang bertengger di sebuah dahan kecil. Sulamannya terbuat dari benang emas dan perak. Itulah yang membuat sapu tangan ini indah. Ungkap Pak Tua. Jari - jarinya yang keriput, sibuk menyelusuri jalan sulaman benang - benang itu.

"Inilah yang disebut dengan pro dan kontra dalam kehidupan. Seindah apapun kehidupan, pasti ada orang yang menilainya berbeda. Seperti kebijakan yang telah diambil pemerintah, akan selalu ada pro dan kontra. Bayangkan jutaan kepala manusia yang ada di Indonesia ini, mempunyai pendapat yang berbeda - beda. Tidak bisa kita paksakan pada mereka untuk menyukai atau membenci sesuatu."

"Tapi untukmu, Hanif. Aku yakin kau bisa lebih bijak daripada umurmu yang muda itu. Jangan mudah mengumbar amarah, apalagi sampai mengeluarkan sumpah serapah. Terlebih untuk pemerintahmu sendiri. Namun, doakanlah para pemimpinmu itu, agar luhur budinya, amanah dalam tugasnya, dan menjadi suri tauladan bagi generasi muda sepertimu."

Pak Tua memeluk pundakku. Ia hendak beranjak dari kursinya. Ia mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan membayar kopi kami berdua. "Terima kasih, Pak Tua. Sampai ketemu esok lagi." Ujarku setengah berbisik di dekat telinganya. Ia mengangguk sambil tersenyum. "Hanif, lekaslah beranjak. Koran - koran pagi itu, nanti tak enak lagi." Guraunya. 

Aku mengangkat setumpuk koran pagi ini yang belum laku kujual. Mudah - mudahan berita esok hari akan lebih berpihak pada masyarakat kecil seperti kami ya, Tuhan. Amin.

 

 

 Ilustrasi :http://jabar.tribunnews.com/2016/01/05/sudah-tahu-harga-bbm-turun-ini-dia-daftar-lengkap-harga-terbaru?page=2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun