Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tak Peduli] BBM Turun Lagi

5 Januari 2016   17:07 Diperbarui: 5 Januari 2016   17:07 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo, minum kopimu, Hanif. Sebelum jadi dingin. Nanti tak enak." Gurau Pak Tua. 

Tanpa diperintah dua kali, aku menghabiskan kopi di gelasku. Hangat sekali, terasa melewati kerongkonganku. Ahh, lumayan untuk menembus pagi yang agak lembab ini. 

Senada denganku, Pak Tua pun menghabiskan kopi di gelasnya. Ia tersenyum nikmat. Kami melanjutkan obrolan. 

"Hanif, pemerintah sudah memikirkan yang terbaik untuk rakyatnya. Ketika aku seumuran dengan Kau, Hanif, aku gemar berkumpul dengan kawan - kawanku. Kami bertukar berita baru dan membahasnya dalam acara - acara tidak resmi, seperti di warung kopi ini. Itulah sebabnya, aku selalu senang minum kopi di warung kopi. Aku juga senang bertemu denganmu, Hanif. Bertemu dengan seorang anak muda dari kampung yang tidak ketinggalan informasi terbaru dan bijak mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. 

Aku menghela nafas dalam - dalam, sambil menahan malu. Rasa penasaran mendorongku memutus pembicaraannya, "Pak Tua, kenapa pemerintah itu seperti belum matang dalam menentukan keputusan - keputusan yang menyangkut banyak orang ?" Tanyaku.

"Mungkin maksudmu, pemberitaan terkait naik turunnya harga BBM dan Dana Ketahanan Energi yang akhirnya tidak jadi diterapkan ?" Tanya Pak Tua.

"Iya, Pak Tua. Menurutku, masyarakat mungkin saja menilai bahwa pemerintah itu tergesa - gesa atau belum matang dalam menetapkan suatu kebijakan. Rakyat sudah terlanjut tahu, terlanjur kecewa, dan mencibir pemerintah. Tiba - tiba, diumumkan lagi kalau ternyata kebijakan itu tidak akan diterapkan."

Pak Tua melihat ke arah jalan raya. Tatapannya seakan - akan kosong. Ia tampak mengambil sesuatu dari saku bagian dalam mantelnya. Sebuah sapu tangan berwarna jingga.

"Coba kau lihat sapu tangan ini, Hanif. Katakan padaku, apa yang kau lihat !" Katanya. "Sapu tangan itu indah Pak Tua, sayang ada noda tinta di tengahnya." Jawabku setelah beberapa saat mengamati sapu tangan itu.

"Kau harus belajar lagi, Hanif. Pikiranmu sama dengan kebanyakan orang yang pernah kutanya." Pak Tua memandangku dengan iba. Aku membayangkan, berapa banyak orang yang pernah bertemu dengan Pak Tua dan melihat sapu tangannya ini. "Hanif, lihatlah di tengah - tengah sapu tangan ini ada sulaman burung kecil yang bertengger di sebuah dahan kecil. Sulamannya terbuat dari benang emas dan perak. Itulah yang membuat sapu tangan ini indah. Ungkap Pak Tua. Jari - jarinya yang keriput, sibuk menyelusuri jalan sulaman benang - benang itu.

"Inilah yang disebut dengan pro dan kontra dalam kehidupan. Seindah apapun kehidupan, pasti ada orang yang menilainya berbeda. Seperti kebijakan yang telah diambil pemerintah, akan selalu ada pro dan kontra. Bayangkan jutaan kepala manusia yang ada di Indonesia ini, mempunyai pendapat yang berbeda - beda. Tidak bisa kita paksakan pada mereka untuk menyukai atau membenci sesuatu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun