Mohon tunggu...
Theresia Evi Kusuma Dewi
Theresia Evi Kusuma Dewi Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Stella Duce 2

menyanyi, nonton drakor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janur

9 Juni 2022   12:57 Diperbarui: 9 Juni 2022   13:03 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Segerombolan bocah kecil berlarian di tengah rinai hujan yang jatuh membasahi bumi. Ada yang hanya memakai celana saja, adapula yang bertelanjang dada tak memakai secuil kain pun di tubuh mereka. Wajah ceria terpancar dari mereka yang tengah asyik menikmati keseruan ini. Sesekali, mereka menceburkan diri ke dalam kubangan yang telah penuh dengan air. Berguling kesana-kemari dan mengeluarkan suara-suara terbaik melebihi pengeras suara.

            “Sudah ahhh! Aku sudah kedinginan!” Seru Gending dengan suara gemetar menahan tubuhnya yang tak kuat lagi.

Prabawati menoleh ke temannya dan berlarian kecil menghampirinya.

            “Kalau aku sih sudah bosan. Kira-kira sudah 2 jam kita main air ya? Lagipula, hujan telah berhenti. Hufttttt sudah ga asyik. Kita sudahi saja, segera pulang, lalu berganti pakaian. Terus nanti jam 5 sore, kita kumpul lagi, ya,”ujar Prabawati sambil celingukan dan memanggil teman-temannya yang lain. “Bintang, Kinan, Kiran ayo pulang! Jam 4 kumpul lagi ya di rumah Mbok Yem!” sembari memakai sandal jepit berwarna pink bergambar batik yang telah usang.

            “Oh iya, Praba, nanti aku saja yang bilang sama Mbok Yem kalau kita mau kesana,” celetuk Gending sambil berlalu.

            Adapun Mbok Yem perempuan tua yang sudah lama hidup sendiri. Suaminya telah lama berpulang karena sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka tak punya keturunan. Sanak saudara pun tidak ada. Rasa kesepian yang melanda Mbok Yem telah ia singkirkan dengan menghibur diri bersama anak-anak. Mbok Yem sering menemani anak-anak untuk sekadar bermain ataupun belajar hal-hal yang berbau tradisional. Sifatnya yang penyabar, lemah lembut, penuh keibuan, dan penyayang lah yang membuat anak-anak betah berlama-lama di sana.

Sore pun tiba, anak-anak mulai berdatangan dan berkumpul di halaman rumah Mbok Yem.

            “Mbok Yem! Mbok Yem!” panggil Gending dengan suara khasnya yang melengking.

Mbok Yem terlihat sedang duduk bersantai di balai-balai seraya memberikan senyum terbaiknya untuk anak-anak.

            “Sedang apa Mbok disini?”Lanjut Gending yang mendadak bersuara nan lembut dan bermanja-manja pada Mbok Yem.

            “Ini Nding, Mbok Yem memilah-milah janur yang tadi baru Mbok ambil dari kebun di belakang rumah,”jawab Mbok Yem seraya menunjuk kebun yang luasnya tak seberapa tetapi penuh dengan tanaman yang berjubel disana.

            “Ohhh…..Lalu mau dibuat apa Mbok? Ada acara? Terus mau kami bantu gak?”Dasar Gending, rasa ingin tahunya melebihi teman-teman yang lainnya, yang hanya bengong mengerubungi Mbok Yem seperti sekelompok lalat.

            “Mau dibawa ke pasar, untuk dijual, Mbok Yem mau membuat lepet.”

Anak-anak mulai mengangguk dan segera berebut janur. Tanpa diberikan instruksi, dengan cekatan mereka mulai asyik membuat lepet.

Anak-anak di Desa Sendang Mulyo ini sudah terbiasa berkreasi dengan janur. Maklum, sebagian besar orang tua mereka mengandalkan hidupnya dengan bergantung kepada janur.

            “Mbok! Mbok! Janurnya banyak yang rusak!”Seru Gendis.

Mbok Yem yang semula berada di dapur menyincing jariknya dengan tergopoh-gopoh menuju ke depan. “Kenapa?” Mbok Yem mulai mengernyitkan dahi.

            “Anu, Mbok…..Anu….Kami tidak sengaja dan kurang berhati-hati,” sambung Kinan tertunduk sedih.

            “Aduh, bagaimana ya? Paling tidak, Mbok Yem harus membuat sekitar 100 lepet, 75 di antaranya sudah pesanan je. Sedangkan di kebun sudah tidak ada lagi,” Mbok Yem mulai menunjukkan kecemasan.

            “Bintang, Kiran, Kinan, Praba, coba kalian hitung lepet yang sudah jadi!” Seru Gending.

Gending kemudian mencoba berusaha menenangkan Mbok Yem.

            “Semuanya 80, Nding. Kurang 20 ini, bagaimana ya? Atau…aku manjat kelapa milik simbahku saja. Tak berangkat sekarang!” Bintang hampir beranjak dari duduknya, tapi sudah dicegah.

            “Eitsssss, jangan, ndak usah Bin! Kamu gimana sih, kan habis hujan. Licin tau!” Seru Kinan.

            “Sudah, sudah. Sepertinya kalau tidak salah lihat, tadi di dapur ibuku masih ada janur yang menganggur. Coba tak ambilkan. Tunggu dulu, Mbok Yem ga perlu cemas lagi ya!” Sahut Gending lalu berlari kencang menghilang di balik semak belukar.

            Menjelang maghrib, anak-anak baru menyelesaikan tugasnya membantu Mbok Yem. Mbok Yem merasa lega karena masalah janur sudah teratasi berkat bantuan anak-anak. Tak lupa, Mbok Yem membuatkan minuman dan makanan ringan sebagai rasa terima kasih. Maghrib pun berkumandang dengan syahdu. Memberikan isyarat bagi para pemeluk untuk tak meninggalkan shalat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun