“Ya. Sungguh. Aku ingin selalu bersamamu, seperti janji kita. Pernikahan kita tak kan berakhir walaupun kecantikan telah tertutup uban dan keperkasaan telah berganti dengan ketidak berdayaan.”
Dia hanya terdiam. Mungkin di dalam hatinya begitu bergejolak.
“jika kau masih mau memaafkanku, mari kita mulai kehidupan baru. Kehidupan yang penuh dengan kasih sayang. Aku juga tidak ingin anak kita menjadi korban keegoisanku.”
“jika benar itu maumu, aku tidak keberatan. Tapi dengan satu syarat, kau tak boleh lagi membutakan dirimu demi pekerjaan dan jabatan.”Sebuah syarat yang sederhana namun sekaligus sulit darinya.
Kupeluk erat istriku. Tak kuasa aku menahan air mata. Pagi itu benar benar menjadi pagi yang haru diantara kita. Sungguh aku adalah lelaki yang sangat beruntung, ia mau memaafkan kesalahanku yang menurutku sendiri saja sudah tidak mungkin lagi dapat dimaafkan. Hatinya begitu mulia, bidadari mana yang dapat menandingi istriku ini.
Perasaanku masih berkecamuk, bagaimana aku mengatakannya pada Alice. Disela pikiran yang juga masih membingungkan tiba tiba Alice memasuki ruanganku. Ceria dan enerjik menjadi ciri khasnya saat memasuki ruanganku. Dia bercerita tentang hubungan kerja sama diantara kita, namun saat ia sudah mulai membicarakan tentang hubungan kita dan perceraianku, aku beranikan diri memotong pembicaraannya.
“maaf Lice, aku tidak bisa.”
“Apa?”
“ya, aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita.”
“apa yang kamu lakukan padaku?”
“seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang sudah kamu perbuat pada keluargaku? Kau hampir menghancurkan kebahagiaan yang selama ini aku bangun,”