Dia menanyakan padaku apakah aku sudah membaca tulisan darinya, dan tiba tiba ia menatapku, “apakah kamu masih ingat dengan moment indah pernikahan kita?” sungguh aku tak dapat berkata dan hanya menjawab dengan nada sayu,“tentu aku masih mengingatnya.”
Kuberitahukan pada Alice bahwa aku sudah membuat kesepakatan tentang perceraian pernikahanku dan Alice hanya tertawa terbahak bahak di hadapanku. Ia sangat senang karena dapat segera memiliku. Tapi tak dapat kupungkiri aku terus memikirkan istri dan anakku. Namun disisi lain aku juga seakan sudah tersihir akan kata manis yang keluar dari bibir Alice.
Minggu minggu terakhir menuju perceraianku membuatku gelisah. Di pertengahan bulan, aku semakin memperhatikan istriku. Ia begitu menyayangi anak semata wayang dari pernikahan yang telah kita bina. Ia begitu sabar menyiapkan sarapan dan tetap mengantar buah hatiku ke sekolah seolah olah tidak ada kekacauan dalam keluarga kami.
“ayah, malam ini aku ingin tidur bersama kalian,” sentak perkataan itu menusuk relung hatiku. “aku ingin berada di tengah lalu di peluk oleh kedua super hero kesayanganku.” Kata polosnya menjelang perceraianku benar benar membuat hatiku menangis. Apakah aku akan benar benar menghancurkan keluarga kecilku nan bahagia ini demi wanita yang lebih cantik dan lebih muda dari istriku? Aku terus memikirkan hal ini semalaman.
Semakin dalam aku menatap istriku, aura kesempurnaannya benar benar terlihat. Ia begitu sempurna sebagai istri sekaligus sebagai ibu dari anakku. Aku juga tidak akan tahu apakah Alice akan lebih sempurna darinya, yang jelas istriku telah menjadi seseorang yang begitu sempurna sekarang. Aku terus memenuhi pikiranku dengan pertanyaan pertanyaan itu. Diminggu terakhir menuju perceraianku, aku sudah tidak tahan lagi. Pagi itu aku duduk dimeja makan saat ia sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk kami. Ketika ia menaruh makanan di hadapanku, ku pegang tangannya. Sontak ia terkejut.
“aku telah melakukan kesalahan besar akhir akhir ini, maaf. Aku sadar, engkau adalah ratuku yang begitu sempurna.”
“apa maksudmu?”
“aku sungguh telah dibutakan oleh cinta sesaat,”
“lalu?”
“aku tak ingin mengakhiri pernikahan kita. Aku sudah memiliki segalanya. Dunia, istri, pekerjaan, anak, keluarga, kebahagiaan. Hidup kita begitu sederhana, kau tak pernah banyak menuntut padaku. Aku tak ingin merusak janji suci kita.”
“sungguh?”