KEKALAHAN SI KANCIL
 Tersebutlah seorang serdadu bernama si Kancil. Badannya kecil, langkahnya gesit, dan wataknya periang. Peringkatnya hanya tamtama. Tapi karena keuletannya di medan perang, sersan - sersan senang kepada dirinya. Si Kancil selalu jadi rebutan kalau tentara revolusi hendak melaju ke medan perang.
Lawannya? Tentu saja kompeni sialan itu. Sudah beratus - ratus tahun mereka menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Awal mulanya berdagang. Lama - lama membawa senapan dan pedang. Lama - lama memperbudak. Lama - lama tanah untuk bercocok tanam hilang.
Sudah dilakukan negosiasi di meja hijau. Angkatan bersenjata tahu itu. Tapi kompeni nakal. Mereka membobol perjanjian meja hijau. Dua minggu yang lalu, kapal terbang Inggris melaju di langit dan membawa banner "Menyerah atau mati." Jenderal besar melawan. Walaupun penyakitan, ia memerintahkan para serdadu kembali masuk ke hutan untuk bergerilya.
Si kancil senang bergerilya. Kecepatannya adalah kekuatannya. Bendera kompeni yang berkibar di markas sekutu dirobeknya tengah malam, walau dijaga orang. Radio dicurinya. Kalau kesatuannya butuh pemantauan lansekap, kakinya akan cepat berlari ke tempat tujuan. Menjadi mata - mata pun dijalaninya. Kesuksesan demi kesuksesan selalu dikantongi.
Suatu kali pak bos memerintahkan kesatuannya bahwa mereka akan menyerang kompeni yang akan melintasi jembatan merah. Penyerangan ini adalah sebuah penyergapan.Â
Betapa senangnya si Kancil. Ia senang dengan taktik penyergapan. Pikirnya, ia akan menyaksikan banyak wajah serdadu asing ketakutan mendapatkan ajal mereka.
Si Kancil bersiap di sisi kanan jembatan. Ia berlari naik, sesuai dengan instruksi pak bos, bersama kawan - kawan menyerang kendaraan yang melintas di atas jembatan. Namun si Kancil kecewa. Sesuai bayangannya, wajah musuhnya akan ketakutan. Tapi ini hanya mobil jeep biasa. Isinya memang orang asing, dan mereka sudah mati sekarang. Tapi tidak ada serdadu.
Pak bos muncul dan berseru kesenangan. Katanya, "Kita sudah membunuh Inggris! Kita sudah membunuh Inggris!"
Si Kancil melabrak pak bos, "Musuh bagaimana, sersan? Ini hanya orang asing biasa?"
"Tutup mulutmu, begundal! Yang kita hajar ini adalah komandan Inggris yang mau melucuti senjata nipon!"
Si kancil terkejut. Memang di berita samar - samar akan ada delegasi Inggris yang mau mengambil tawanan dan senjata nipon yang kalah perang. Ia tak menyangka bahwa orang - orang inilah mereka.
"Pak bos! Bagaimana jika Inggris membalas perlakuan ini? Kita akan diserang!"
"Majulah, kami tentara republik tidak takut! Merdeka atau mati!"
Maka terjadilah. Malam harinya berduyun - duyun pesawat tempur mondar - mandir di langit gelap. Pelor di mana - mana. Orang - orang kesusahan untuk melihat. Seluruhnya ketakutan, segera mengungsi ke dusun.
Di kamp tentara, gerimis mulai turun. Radio berkumandang, setiap kanal ada suara pejuang yang berseru untuk mengalahkan kompeni dan anteknya. Termasuk kesatuan si Kancil. Pak bos mengatakan, besok akan ada pertempuran besar di kota. Kompeni berusaha menguasai pusat kota dan akan mengibarkan bendera merah putih biru.
Namun tugas si Kancil bukanlah bertempur. Ia tahu ototnya terlalu kecil untuk itu. Ia ditugaskan untuk berlari. Untuk menyelamatkan mereka yang tertinggal, terutama anak - anak dan orang jompo. Si Kancil memahami. Kakinya esok lebih berguna daripada senjata di tangan.
Memasuki subuh, seorang pejuang berteriak dengan lantang di sebuah kanal radio untuk republik. Merdeka atau mati! Itu kata - katanya. Diulang - ulang terus kini di kamp. Semangat para angkatan bersenjata berkobar. Kompeni tidak boleh lagi menguasai tanah air.
Maka ketika matahari meninggi, kota menjadi medan pertempuran. Peluru berterbangan, orang berjatuhan. Pesawat mondar - mandir di atas, entah apa yang dilakukan. Seharusnya kota kosong, namun kadangkala terdengar suara teriakan minta tolong.
Si Kancil mengendap - mengendap di balik tembok, berusaha mencari sumber suara. Satu dua kali, ia berhasil mendapatkan mereka yang merintih, dan menolong dengan bantuan serdadu lain. Namun semakin merangsek ke kota, semakin sedikit serdadu yang ada. Jadi ketika ada seorang tua yang merintih karena dadanya tertohok peluru, si Kancil hanya bias membantu dalam doa.
Sampai di dalam sebuah katedral. Katedral ini dibangun oleh kompeni, untuk beribadah umat Katolik. Di dalam, ada dua orang anak kecil yang meringkuk ketakutan. Atap sudah berasap, tanda pesawat sudah memborbardir katedral sebagian. Puing - puing mulai runtuh. Si Kancil merangsek melalui pintu belakang, berharap ruangan kosong. Ternyata sebaliknya, di samping mimbarlah anak - anak itu berada. Dengan sigap ia merangkul mereka. Namun pada saat itulah pintu depan didobrak.
Si Kancil paham ia tidak akan bisa melawan selusin tentara bersenapan. Dengan membuat tubuhnya sebagai perisai, ia berbisik agar anak - anak lari. Peluru demi peluru menyobek tubuhnya. Sampai di pintu belakang, ia meminta agar anak - anak menyelamatkan diri. Sebelum menghembuskan napas terakhir, si Kancil memegang lengan sang anak.
"Merdeka atau mati! Hidup Indonesia Raya!"
Kisah lain dapat dilihat di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H