"Tutup mulutmu, begundal! Yang kita hajar ini adalah komandan Inggris yang mau melucuti senjata nipon!"
Si kancil terkejut. Memang di berita samar - samar akan ada delegasi Inggris yang mau mengambil tawanan dan senjata nipon yang kalah perang. Ia tak menyangka bahwa orang - orang inilah mereka.
"Pak bos! Bagaimana jika Inggris membalas perlakuan ini? Kita akan diserang!"
"Majulah, kami tentara republik tidak takut! Merdeka atau mati!"
Maka terjadilah. Malam harinya berduyun - duyun pesawat tempur mondar - mandir di langit gelap. Pelor di mana - mana. Orang - orang kesusahan untuk melihat. Seluruhnya ketakutan, segera mengungsi ke dusun.
Di kamp tentara, gerimis mulai turun. Radio berkumandang, setiap kanal ada suara pejuang yang berseru untuk mengalahkan kompeni dan anteknya. Termasuk kesatuan si Kancil. Pak bos mengatakan, besok akan ada pertempuran besar di kota. Kompeni berusaha menguasai pusat kota dan akan mengibarkan bendera merah putih biru.
Namun tugas si Kancil bukanlah bertempur. Ia tahu ototnya terlalu kecil untuk itu. Ia ditugaskan untuk berlari. Untuk menyelamatkan mereka yang tertinggal, terutama anak - anak dan orang jompo. Si Kancil memahami. Kakinya esok lebih berguna daripada senjata di tangan.
Memasuki subuh, seorang pejuang berteriak dengan lantang di sebuah kanal radio untuk republik. Merdeka atau mati! Itu kata - katanya. Diulang - ulang terus kini di kamp. Semangat para angkatan bersenjata berkobar. Kompeni tidak boleh lagi menguasai tanah air.
Maka ketika matahari meninggi, kota menjadi medan pertempuran. Peluru berterbangan, orang berjatuhan. Pesawat mondar - mandir di atas, entah apa yang dilakukan. Seharusnya kota kosong, namun kadangkala terdengar suara teriakan minta tolong.
Si Kancil mengendap - mengendap di balik tembok, berusaha mencari sumber suara. Satu dua kali, ia berhasil mendapatkan mereka yang merintih, dan menolong dengan bantuan serdadu lain. Namun semakin merangsek ke kota, semakin sedikit serdadu yang ada. Jadi ketika ada seorang tua yang merintih karena dadanya tertohok peluru, si Kancil hanya bias membantu dalam doa.
Sampai di dalam sebuah katedral. Katedral ini dibangun oleh kompeni, untuk beribadah umat Katolik. Di dalam, ada dua orang anak kecil yang meringkuk ketakutan. Atap sudah berasap, tanda pesawat sudah memborbardir katedral sebagian. Puing - puing mulai runtuh. Si Kancil merangsek melalui pintu belakang, berharap ruangan kosong. Ternyata sebaliknya, di samping mimbarlah anak - anak itu berada. Dengan sigap ia merangkul mereka. Namun pada saat itulah pintu depan didobrak.