Pk 14.30.
Aku dan Charles turun di depan sebuah rumah yang tidak besar -- besar amat, namun memiliki suasana tenang karena berada di dalam sebuah komplek. Sedari awal kami mendengar latar belakang kasus ini di kantor ini tadi, kami yakin bahwa kasus ini sebenarnya tidak ditujukan untuk divisi detektif. Namun Mahmud sebagai ketua tim forensik bersikeras agar aku dan Charles datang ke lokasi TKP. Karena kami pun sedang lowong, maka aku menyanggupi. Dan orang yang meminta sudah menunggu di depan rumah.
"Selamat siang, Mahmud, semoga kau tidak menyusahkan kami dengan kasus yang aneh -- aneh lagi." ujarku menyapa sang ketua forensik.
Mahmud hanya menyunggingkan senyum, "Bukan salahku, Kilesa, jika kasus aneh selalu mengejarmu. Salahkanlah semesta ini. Tapi, kau benar. Kau tentu sudah mendapat briefing dari kantor polisi. Tidak ada yang aneh dari kasus ini. Korban bernama Thomas Wijaya, seorang kakek berusia 70 tahun, meninggal karena sakit jantung koroner yang sudah dideritanya selama setahun ini. Menurut pemeriksaanku, ia meninggal dengan tenang tadi malam di tempat tidur tanpa adanya faktor dari luar, seperti kolesterol, obat, stress, dan lain -- lain."
"Lalu?"
Lagi -- lagi Mahmud menyunggingkan senyum. "Tunggu sampai kita masuk ke dalam. Inilah mengapa aku membutuhkanmu untuk mengetahui apakah kasus ini layak ditangani detektif atau tidak. Kalian pasti suka mendengarnya."
Aku bertatap -- tatapan dengan Charles ketika Mahmud menuntun kami masuk ke dalam rumah. Ia berbisik, "Kasus aneh lagi, Kilesa. Bersiap -- siaplah."
"Aku tidak suka ini."
Kami memasuki pekarangan rumah yang ternyata cukup luas di dalam pagar. Halaman yang lebih besar daripada rumah yang mungil di tengah -- tengah membuat keseluruhannya terasa lowong dan lega. Dibalik kasus yang akan kami hadapi, kalau boleh jujur aku menyukai rumah seperti ini. Namun ketika membuka pintu, suara orang berteriak memecah ketenangan dan kedamaian yang kami rasakan.