Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Battle of Carmel (Cerpen Rohani)

10 Oktober 2021   11:37 Diperbarui: 10 Oktober 2021   11:39 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

THE BATTLE OF CARMEL

Namaku adalah Yonan, seorang nabi Baal. Sedari kecil aku tinggal di Sidon, sebuah kerajaan kecil di utara Tirus. Secara turun -- temurun keluargaku sudah terbiasa untuk menyembah dewa junjungan kami, yaitu Baal. Maka tidak aneh jika sejak kecil aku bercita -- cita untuk hidup demi nama Baal, menjadi nabinya.

Selama hidup aku sudah sering melihat keperkasaan Baal. Ia merupakan dewa cuaca. Jika kami melakukan kesalahan, maka ia akan mengirimkan petir dan angin ribut sebagai ganjaran. Sedangkan jika kami memuji -- muji namanya, ia akan mengirimkan hujan untuk kesuburan tanah.

Ketika aku beranjak dewasa, junjungan kami yang lainnya mendapatkan kabar baik. Izebel, putri raja, dipersunting oleh Ahab, seorang raja Israel. Karena Izebel adalah seorang cantik yang taat kepada nama Baal, ia memberikan undangan kepada para nabi Baal di seluruh Sidon, untuk ikut ke selatan menuju Israel. Wilayah Israel terkenal dengan tanah Kanaannya yang subur dan makmur. Orangnya sendiri senang berganti -- ganti kepercayaan. Yang terakhir kudengar, mereka menyembah dewa bernama Yahweh, namun itu sendiri pun tidak terlalu taat.

Aku menerima undangan itu. Bersama empat ratus kolega yang lain, kami berangkat menuju Israel. Ternyata Izebel juga mengundang nabi -- nabi Asyera. Tidak apalah, toh kami adalah kerabat juga.

Israel ternyata masih dipenuhi oleh para nabi Yahweh, atau TUHAN, mereka menyebutnya. Izebel tidak menyukai ini. Begitu pula dengan diriku. Sepuluh perintah Allah bagiku adalah omong kosong, tidak mungkin seorang manusia dapat memenuhi perintah -- perintah itu. Tradisi orang Israel untuk beribadah di Bait Allah setiap hari Sabat juga sebuah kesia -- siaan. Tidak tahukah mereka bahwa mereka menyembah Tuhan yang salah?

Izebel lalu memerintahkan untuk menangkap nabi -- nabi Yahweh ini dan membunuhnya, juga menghancurkan mezbah TUHAN. Aku pernah ikut dalam sekali operasi. Lucu sekali. Nabi -- nabi itu bersembunyi di dalam tanah, atau langit -- langit rumah, untuk menghindari kami. Mana ada seorang yang mengaku nabi Tuhan ketakutan? Bukankah seharusnya Ia berkuasa menyelamatkan mereka?

Izebel memerintahkan kami untuk mendirikan mezbah Baal di daerah -- daerah Israel. Kami menyambut dengan senang hati. Begitu pula dengan orang -- orang Israel. Mereka mengikuti kami ketika kami bersujud di depan Baal. Kukira akan sulit mengajarkan mereka. Ternyata mereka tidak asing lagi dengan kegiatan kami.

Kehidupanku di sini serba enak, dan mewah. Aku tinggal di kompleks samping istana raja, di sebuah paviliun, bersama teman -- temanku. Setiap pagi aku menikmati anggur, siang hari daging kambing, dan malamnya bersekutu di kuil Baal. Pemandangan biru Laut Tengah menjadi keseharianku. Tidak ada kekhawatiran dan kegusaran.

Sampai suatu saat.

Obaja, kepala istana yang baik hati itu, datang menghadap raja Ahab dengan wajah cemas. Dari yang kudengar, seorang nabi TUHAN yang tersisa bernama Elia, memberikan peringatan kepada raja. Ia ingin bertemu dengan Ahab. Seharusnya saat itu kuberitahu saja bahwa aku bisa membunuhnya. Raja ternyata ikut -- ikutan cemas. Ia keluar istana dan menemui Elia seorang diri.

Malamnya, Ahab kembali dengan wajah yang lebih cemas lagi. Ia datang ke paviliun dan mengumpulkan para petinggi Baal dan Asyera. Elia mengirimkan tantangan kepada kami. Ia meminta kami untuk berkumpul di Gunung Karmel, termasuk seluruh rakyat Israel. Di sana kami akan bertarung untuk membuktikan siapa Tuhan yang benar.

Aku menepuk pundak Ahab. Kukatakan, tidak perlu khawatir. Baal sudah biasa ditantang seperti ini, dan kami berkali -- kali menang. Namun kedatangan Izebellah yang menenangkan hati raja. Ketika keduanya beranjak pergi, aku mengumpulkan para nabi Baal dan berdiskusi. Isinya adalah bertanya, kira -- kira apa muslihat orang bernama Elia itu? Namun diskusi itu tidak berlangsung lama, karena kami tahu itu hanyalah gertak sambal belaka. Selama ini Baal selalu menang melawan dewa -- dewa Mesopotamia. Lagipula, satu melawan empat ratus lima puluh? Bagaimana bisa?

Tidak perlu banyak berpikir.

Itulah yang kukatakan pagi itu ketika menginjak kaki Gunung Karmel dan beranjak naik bersama para kolegaku. Tidak mungkin orang itu mengumpulkan bala tentara dan akan membunuh kami. Justru kamilah yang dipagari oleh tentara -- tentara Israel. Aku menaiki kaki gunung dengan pedang mengilap di kiri kananku. Sementara itu aku melihat rakyat berkerumun naik melalui jalan lain.

Ternyata orang bernama Elia itu sudah ada lebih dulu daripada kami, duduk bersila di salah satu gundukan bukit. Penampilannya sebagai nabi Tuhan sangat kusam, berbanding terbalik dengan kami yang berbaju efod dan berkain lenan. Janggutnya putih, panjang, dan kusut, membuatku bertanya -- tanya kapan terakhir ia membilas diri. Hanya satu hal yang kusukai darinya, wajahnya memancarkan aura positif dan kepercayaan diri. Entah apa yang ada di benak orang bernama Elia itu.

Ketika seluruh rakyat Israel telah berkumpul, Elia mendekat dan berseru.

"Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau TUHAN itu Allah, ikutlah Dia, kalau Baal, ikutlah dia.

Tetapi rakyat Israel tidak menjawab sepatah kata pun. Elia pun berkata lagi.

"Hanya aku seorang diri yang tinggal sebagai nabi TUHAN, padahal nabi -- nabi Baal itu ada empat ratus lima puluh orang banyaknya. Namun, baiklah diberikan kepada kami dua ekor lembu jantan. Biarlah mereka memilih seekor lembu, memotong -- motongnya, menaruhnya ke atas kayu api, tetapi mereka tidak boleh menaruh api. Aku pun akan mengolah lembu yang seekor lagi, meletakannya ke atas kayu api dan juga tidak akan menaruh api."

"Kemudian biarlah kamu memanggil nama allahmu dan aku pun akan memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!"

Seluruh rakyat Israel menyahut dan menyetujui usul Elia. Ia lalu berpaling kepada kami dan mempersilakan kami untuk memilih salah satu lembu, lalu memanggil nama Baal untuk menurunkan api.

Jadi inikah tantangan itu? Mudah, sangat mudah sekali bagi Baal kami.

Aku yang ditunjuk sebagai pemimpin sementara para nabi segera membentuk barisan, sementara dua hingga tiga kolega kuminta untuk mengambil lembu dan meletakannya di atas kayu api. Mengumandangkan pujian bagi Baal secara rapi sudah biasa kulakukan di mezbah kuil, dan saudara -- saudaraku sepenanggungan. Ketika barisan sudah terbentuk, nabi di ujung barisan mulai bersuara, diikuti dengan nabi di sebelahnya, bersahut -- sahutan. Terakhir, aku mengambil suara utama.

Logikanya, hati Baal akan tersenangkan, dan ia akan mengirimkan api atau petir untuk menghanguskan lembu konyol ini.

Namun, tidak ada jawaban dari langit.

Mungkin, bukan kidung yang ini yang disenangi Baal. Aku pun mengganti kidung yang disambut oleh para sahabat nabi.

Tetap tidak ada jawaban.

Mungkin, kita perlu menari di sekeliling kayu api sehingga Baal menyenangi perbuatan kita. Kami pun bersegera berjingkat dan menari di sekeliling kayu api, sembari bersenandung kidung pujian kepada Baal.

Langit terdiam, dan hanya matahari yang bertambah tinggi. Kini posisinya tepat di atas kami. Sudah setengah hari kami memuji Baal, namun ia masih belum berkenan kepada kami. Sementara itu Elia mulai mengejek kami.

"Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian. Barangkali ia tidur dan belum terjaga."

Ucapannya itu menyakitkan bagi kami. Benarkah Baal tidak ada di atas sana? Di mana dirinya? Bukankah kami selalu melakukan yang baik bagi junjungan kami itu? Apakah ia tidak melihat kami? Bagi seorang dewa cuaca, mengirimkan api adalah persoalan mudah.

Aku berusaha menepis keraguan diri dengan berseru lebih keras lagi, dan diikuti oleh saudara -- saudara nabiku. Beberapa bahkan meminta pedang dan tombak kepada para pengawal dan menyayat dirinya, sehingga tubuhnya mengucurkan darah. Lainnya mulai berkata -- kata di luar pujian dan bergumam tangisan putus asa. Kuharap dengan ini Baal memberi perhatian kepada kami.

Sampai petang tidak ada suara, tidak ada jawaban, tidak ada perhatian.

Elia pun mengambil alih dan berkata kepada seluruh rakyat, "Mendekatlah kepadaku!"

Ia pun maju ke tengah -- tengah dan membangun mezbah Tuhan yang sebelumnya telah diruntuhkan oleh para nabi Baal. Sang nabi mengambil dua belas batu sebagai lambang suku keturunan Yakub, dan mendirikannya menjadi mezbah dalam nama TUHAN, lalu membuat parit yang cukup lebar di sekeliling mezbah. Ia menyusun kayu api, memotong lembu dan menaruh potongan -- potongannya di atas kayu api.

Elia meminta agar buyung -- buyung dipenuhi dengan air, kemudian dituangkan kepada korban bakaran dan kayu api. Apakah orang ini gila? Kami meminta api, namun ia malah membasahi lembu dan kayu api itu. Namun perbuatannya tidak hanya sekali. Berkali -- kali lembu itu disiram air sehingga parit di sekitar mezbah telah penuh dengan air. Ia pun berkata.

"Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak, dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang bahwa Engkaulah Allah di tengah -- tengah Israel dan bahwa aku ini hamba -- Mu dan bahwa atas firman -- Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali."

Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu, dan tanah itu, bahkan air di dalam parit pun habis dijilatnya.

Tidak mungkin.

Seluruh rakyat melihat kejadian itu, mereka bersujud dan berseru, "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!"

Elia berkata kepada mereka, "Tangkaplah nabi -- nabi Baal itu, seorang pun dari mereka tidak boleh luput."

Hanya ada satu yang ada di pikiranku ketika rakyat merangsek ke tengah -- tengah kami, para nabi Baal, dan menangkapi kami satu persatu. Apakah selama ini kami menyembah dewa yang salah? TUHAN, atau YAHWEH, Iakah Tuhan yang sesungguhnya?

Atau selama ini kami menipu diri sendiri dan menutup mata dengan kesenangan?

Seorang pemuda meninju wajahku dan menahanku di tanah sehingga aku pun meringis kesakitan. Dari sela -- sela mataku aku dapat melihat setiap saudara nabi berada di atas tanah, dan mendapat murka rakyat Israel. Mungkin inilah ganjaran yang kami dapatkan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Ketika kami meruntuhkan setiap mezbah -- Nya, mungkin Ia sedang berduka di atas sana.

Apapun itu, aku meminta maaf. Allah Israel adalah Allah yang sesungguhnya, menurut bumi dan langit.

Kisah lain dapat dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun