Seluruh rakyat Israel menyahut dan menyetujui usul Elia. Ia lalu berpaling kepada kami dan mempersilakan kami untuk memilih salah satu lembu, lalu memanggil nama Baal untuk menurunkan api.
Jadi inikah tantangan itu? Mudah, sangat mudah sekali bagi Baal kami.
Aku yang ditunjuk sebagai pemimpin sementara para nabi segera membentuk barisan, sementara dua hingga tiga kolega kuminta untuk mengambil lembu dan meletakannya di atas kayu api. Mengumandangkan pujian bagi Baal secara rapi sudah biasa kulakukan di mezbah kuil, dan saudara -- saudaraku sepenanggungan. Ketika barisan sudah terbentuk, nabi di ujung barisan mulai bersuara, diikuti dengan nabi di sebelahnya, bersahut -- sahutan. Terakhir, aku mengambil suara utama.
Logikanya, hati Baal akan tersenangkan, dan ia akan mengirimkan api atau petir untuk menghanguskan lembu konyol ini.
Namun, tidak ada jawaban dari langit.
Mungkin, bukan kidung yang ini yang disenangi Baal. Aku pun mengganti kidung yang disambut oleh para sahabat nabi.
Tetap tidak ada jawaban.
Mungkin, kita perlu menari di sekeliling kayu api sehingga Baal menyenangi perbuatan kita. Kami pun bersegera berjingkat dan menari di sekeliling kayu api, sembari bersenandung kidung pujian kepada Baal.
Langit terdiam, dan hanya matahari yang bertambah tinggi. Kini posisinya tepat di atas kami. Sudah setengah hari kami memuji Baal, namun ia masih belum berkenan kepada kami. Sementara itu Elia mulai mengejek kami.
"Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian. Barangkali ia tidur dan belum terjaga."
Ucapannya itu menyakitkan bagi kami. Benarkah Baal tidak ada di atas sana? Di mana dirinya? Bukankah kami selalu melakukan yang baik bagi junjungan kami itu? Apakah ia tidak melihat kami? Bagi seorang dewa cuaca, mengirimkan api adalah persoalan mudah.