THE RICH
"Sudahlah, Loatheus, tidak perlu lagi kau pusingkan kebun anggur Namot itu. Bukankah kau sudah memiliki sepuluh kebun anggur di seluruh Yerusalem ini? Tidakkah itu cukup bagimu?"
Aku hanya tersenyum, lalu memandang wajah Hansel, "Kebun anggur Namot itu memiliki jenis anggur yang hanya tumbuh sekali dalam sepuluh tahun. Kau tahu apa namanya? Anggur Sirah, jika kau tidak tahu dengan apa ia disebut."
Hansel menggeleng, "Tapi kau juga memiliki kebun anggur terluas di Yerusalem ini. Siapa yang tidak mengenal Kebun Anggur Rehobot? Bahkan orang -- orang Persia dan Mesir datang dari tanahnya ke Yerusalem ini hanya untuk mengunjungi kebun anggur itu. Aku tahu kau mengerup banyak keuntungan dari kebun anggur ini, Loatheus."
Senyum Loatheus mengembang, "Maka bukan dosa, bukan, jika aku menginginkan satu kebun anggur lagi? Lagi pula Namot sudah tua dan tidak punya keturunan."
Sahabatnya menyerah, "Terserahmulah. Yang penting aku tidak mau konflik pembelian kebun itu menjadi penghalang bagi kita berpesiar di Danau Galilea esok hari. Matahari musim panas sedang bagus -- bagusnya."
"Iya, iya, aku paham. Lagipula aku tidak ingin mengganggu rencana berkencanmu dengan Thalia si gadis manis itu. Thalia, dan kawan -- kawan wanita dari mazhab Farisi itu, bukan?"
Hansel menyenggolku, "Padahal aku sudah berusaha untuk menyembunyikan keberadaan mereka. Akan ada Luminere juga di sana. Aku tahu, ia adalah pujaanmu, bukan?"
"Aku tidak pernah berkata seperti itu."
"Tidak perlu bertele -- tele, Loatheus. Aku paham bagaimana kau memandangnya."
"Ayahnya hanya duduk di baris ketiga di Bait Suci. Kami tidak sepadan."
"Ah, kau ini." ujar Hansel, lalu melanjutkan, "Jika aku menjadi dirimu, aku akan mengencaninya sepuas hatiku. Ia adalah wanita tercantik yang pernah kulihat."
Aku tidak menanggapi pernyataan Hansel. Sejak awal pun selera kami sudah berbeda. Ia menyukai wanita berwajah cantik, sedangkan aku lebih menyukai wanita dengan latar belakang yang mumpuni. Selain itu, aku menyukai wanita pintar. Omong -- omong orang pintar, sekarang di hadapan kami muncul orang -- orang dari Front Rakyat Yudea. Ya, orang -- orang menyebalkan yang mengaku sudah mendalami kitab Taurat hingga seribu tahun yang lalu. Bahkan Musa pun belum lahir pada saat itu.
"Tidak perlu kau tunjukkan senyum menyebalkan itu, Jonos. Kami sudah tahu kau akan menguji kami, begitu kau memunculkan batang hidungmu di balik jalan." ujarku.
"Ah, kalau begitu tidak perlu berlama -- lama. Akan sangat menyenangkan bila dua orang yang berada tingkat kepintaran tertinggi gagal dengan pertanyaanku."
Aku sedikit melirik kepada Hansel, dan ia juga menampilkan wajah kesal dan sudah akan murka, namun aku mencubit lengannya untuk menahannya.
"Kalian pasti terkejut dengan pertanyaan ini karena fakta ini tidak ditemukan di seluruh kitab Taurat. Siapakah suami dari nabiah Debora?"
Aku hanya menghela napas. "Kukira pertanyaan seperti apa. Sejujurnya aku mengharapkan sebuah pertanyaan ideologi atau silogisme, Jonos. Tapi aku paham dengan kualitas kepintaran Front Rakyat Yudea. Mereka menjemukkan."
"Aku belum mendengar jawabannya, Loatheus." Jonos masih menampilkan senyum liciknya.
"Lapidot, artinya semangat yang berapi -- api."
Percakapan itu diakhiri oleh anggukkan dengki dan langkah -- langkah kaki yang berisik meninggalkan kami. Setelah seluruhnya pergi, aku dan Hansel hanya tertawa -- tawa. Namun tawa kami tidak berlangsung lama. Jauh di depan kami, bagaikan nyamuk yang mengaung, kumpulan massa datang berduyun -- duyun di jalanan utama. Di bagian depan, kami bisa melihat sekilas, seorang berbaju putih berjalan perlahan dikelilingi oleh orang -- orang Yudea yang familiar. Aku tahu siapa diri -- Nya.
"Yesus. Orang itu mengaku sebagai guru dan datang untuk menyampaikan kehendak Bapa yang di surga." ujarku kepada Hansel.
"Ya, ya, aku tahu siapa diri -- Nya, Loatheus. Aku pernah mengikuti salah satu khotbah -- Nya dan ia benar -- benar mengatakan kebenaran. Ia adalah sosok yang pintar. Seharusnya Front Rakyat Yudea menguji diri -- Nya, bukan kita."
Aku tertawa, "Tidakkah kau tahu beberapa kali muka mereka tercoreng oleh ucapan orang ini? Bahkan tidak tanggung -- tanggung, tingkat tertinggi dari pemegang hukum Yahudi, para mazhab Farisi, juga tidak berkutik di hadapan -- Nya."
Hansel tiba -- tiba tersenyum picik, "Aku tahu, Loatheus, bagaimana jika kita melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh Front Rakyat Yahudi kepada kita? Kita uji orang bernama Yesus ini, apakah kau setuju?"
Tidak, aku tidak setuju. "Orang ini berbeda, Hansel. Ia benar -- benar memiliki hikmat dari surga. Jangan mempermalukan dirimu sendiri. Aku takut orang Yudea akan menganggapmu rendah dan berpengaruh pada nama baikmu kelak."
"Ah, kau ini. Apa artinya peringkat tertinggi yang kau sandang? Jangan takut, aku yakin kepintaran kita masih di atas -- Nya."
Aku masih ingin menyanggah temanku itu, tapi ia sudah setengah berlari mendatangi kerumunan. Melihat Hansel mendekat, orang bernama Yesus itu berhenti dan menunggu. Wajahnya menampilkan sebuah senyum menenangkan. Aku berada di belakang Hansel ketika ia bertanya kepada Yesus.
"Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Jawab Yesus, "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yan baik selain dari pada Allah saja. Engkau mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayah dan ibumu!"
Hansel membalasnya, "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata, "Hanya satu lagi kekuranganmu. Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang -- orang misikin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku."
Mendengar perkataan itu, Hansel menjadi kecewa, lalu mengundurkan diri meninggalkan kerumunan. Aku paham ini karena ia memiliki banyak harta, sama sepertiku. Aku pun dikecewakan dengan jawaban Yesus, tapi aku ingin mendengar kelanjutannya.
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah."
Aku terkejut, begitu pula orang -- orang di sekitar -- Nya. Tetapi Yesus menyambung lagi, "Anak -- anak -- Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
Orang -- orang semakin gempar dan berkata seorang kepada yang lain, "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?"
Yesus memandang mereka dan berkata, "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah."
Yesus mengakhiri ucapan -- Nya, mengangguk padaku, dan berjalan bersama kerumunan meneruskan penelusuran jalan Yudea. Aku terdiam di pinggir jalan, terpaku seakan petir menyambarku di siang bolong.
Ucapan -- Nya sungguh menusuk ke dalam hatiku. Selama aku pun berpikiran sama dengan Hansel. Dengan seluruh perbuatanku, dengan kepintaranku, aku merasa sudah menggenggam tiket surgawi. Nyatanya tidak. Perbuatan kita tidak berpengaruh, begitu pula dengan kekayaan kita, dan aku setuju dengan silogisme itu. Aku pernah mendengar orang yang sama berkata bahwa segala sesuatu harus ditinggalkan untuk mengikuti -- Nya. Apakah aku bisa meninggalkan kekayaanku?
Aku pun meninggalkan jalanan dengan hati gusar. Apakah itu artinya aku tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah? Apa artinya aku mempelajari seluruh hukum Taurat? Aku mendesah dan menghela napas dengan semua pemikiran ini, dan sepertinya aku sudah tidak begitu peduli lagi dengan kebun anggur Namot. Sepertinya akan kulepas saja transaksi itu, dan esok pun aku tidak berminat lagi untuk berpesiar di Danau Galilea. Aku hanya ingin melakukan sebuah kontemplasi diri.
Kata -- kata terakhir Yesuslah yang menghiburku.
"Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah."
Cerita lain dapat disaksikan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H