Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Cripple [Cerpen Rohani]

5 Mei 2021   10:21 Diperbarui: 5 Mei 2021   10:47 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via churchofjesuschrist.org

THE CRIPPLE (SI LUMPUH)

Tidak ada yang hendak menurunkan aku menuju kolam ini.

Aku mendesah dan menunduk. Mungkin ini memang sudah menjadi nasibku. Di hadapanku terbentang sebuah kolam. Sebuah kolam ajaib, sebuah kolam penuh kesembuhan. Suatu waktu, malaikat Tuhan akan turun dan menggoncang kolam ini. Nama kolam ini adalah Bethesda. Saat malaikat Tuhan datang, semua orang sakit akan berebut memasuki kolam. Apa pun penyakit mereka: buta, lumpuh, bisu, kusta, akan menjadi sembuh. Namun hanya untuk yang pertama memasuki kolam.

Tidak ada yang hendak menurunkan aku menuju kolam ini.

Sudah tiga puluh delapan tahun aku berada di tempat ini. Tiga puluh delapan tahun aku menunggu akan adanya kesembuhan. Namun aku selalu keduluan, lumpuhku ini menjadi penyebab aku selalu terlambat. Tidak ada yang peduli padaku. Tidak ada yang membantuku menunggu lawatan malaikat, lalu menurunkan menuju kolam. Mungkin itu pula adalah ganjaran akan dosa -- dosaku dahulu. Dulu, aku sering mengejek mereka yang beribadah dengan tekun kepada Tuhan. Aku tidak pernah peduli kepada orang, bahkan aku tidak peduli pada keluarga sendiri. Kini, giliranku yang tidak pernah dipedulikan oleh orang lain.

Tapi, tiga puluh delapan tahun.

Selama tiga puluh delapan tahun itu aku melihat orang -- orang disembuhkan oleh karya nyata Allah. Selama tiga puluh delapan tahun itu aku menyaksikan keluarga dan saudara berpesta ria karena sanak mereka telah disembuhkan. Tiga puluh delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Bukan waktu yang singkat untuk menerima tatapan -- tatapan jijik dari orang -- orang sehat. Bukan waktu yang singkat untuk menerima selentingan -- selentingan hinaan, seperti "dosamu terlalu berat untuk diampuni", atau "sudahlah, Allah tidak peduli lagi padamu".

Aku kembali mendesah. Pagi yang dingin ini akan menjadi sama. Entah berapa lama lagi aku harus tinggal di tempat ini, di kolam berserambi lima ini. Aku hanya bisa terdiam di pojokan, tidak berdaya, berusaha menghangatkan diri dengan kain linen pemberian tuan bermuka ramah yang tadi lewat bersama murid -- muridnya. Kakiku sudah mati rasa, dan aku tidak peduli lagi.

Tiba -- tiba sebuah bayangan menudungiku. Aku mendongak. Tuan bermuka ramah itu datang lagi ke hadapanku. Ia tersenyum. Di belakangnya ada murid -- muridnya. Ia hanya mengatakan satu kalimat.

"Maukah engkau sembuh?"

Aku tertawa dalam hati. Apakah orang ini gila? Memangnya siapa dia? Lagipula mengapa ia peduli padaku?

"Tuan, tidak ada yang orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku."

Tuan itu menjawab, "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah."

Tiba -- tiba sebuah kekuatan muncul di kakiku. Aku bisa berdiri! Mukjizat macam apa ini? Luar biasa! Tanpa kusadari aku melonjak kegirangan, dan tanpa kusadari lagi, aku sudah berlari mengelilingi kolam, membuat keributan. Namun aku tidak peduli. Kakiku sudah bisa berjalan lagi! Bahkan berlari.

Dengan sumringah aku terus berlari mengelilingi kolam. Beberapa orang yang mengenaliku melihat dengan tatapan tidak percaya, karena memang tidak ada goncangan di pagi itu. Pada akhirnya aku diberhentikan oleh sekumpulan orang -- orang tua berjanggut tebal dan berjubah panjang. Aku kenal mereka, merekalah yang dulu melemparkan tatapan -- tatapan jijik itu kepadaku dulu. Mereka adalah para ahli agama.

"Sekarang adalah hari Sabat dan engkau tidak boleh memikul tilammu."

Aku menahan kesal dalam hati. Walaupun aku sudah mendapatkan mukjizat kesembuhan, mereka selalu mencari celah untuk kesalahanku. Dasar orang -- orang sirik. Tiba - tiba aku teringat sesuatu. Mataku mencari sang penyembuh, namun ia dan murid -- muridnya sudah tidak ada.

"Orang yang telah menyembuhkan aku, Dia yang mengatakan kepadaku: angkatlah tilammu dan berjalanlah."

"Siapa orang itu?"

Mataku masih mencari, namun karena sekarang hari Sabat dan orang -- orang berkumpul di Bait Allah, keadaan kolam menjadi lebih ramai. Akhirnya aku pun dilepaskan oleh para ahli agama, namun mereka masih mengancam agar memberitahukan identitas sang penyembuh.

Aku mendesah. Namun desahan ini bukanlah sebuah keputusasaan. Desahan ini adalah sebuah kelegaan. Aku duduk di salah satu serambi, menatap kolam Betesda dengan perasaan senang. Seluruh bebanku telah diangkat. Penyembuhku itu luar biasa. Ia memahami penderitaanku walaupun aku belum pernah memberitahunya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengucap syukur kepada Tuhan.

Dengan langkah ringan dan tegap, aku berjalan menuju Bait Allah. Aku berbaris di antara orang-orang, menunggu giliran untuk beribadah dan mengucap syukur. Dan saat itulah, aku bertemu lagi dengan penyembuhku. Ia menghampiri dan berkata padaku.

"Engkau telah sembuh, jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk."

Aku mengangguk dan berterima kasih. Tiba -- tiba aku teringat sesuatu. Aku sering mendengar cerita, ketika orang berkumpul di sampingku dulu ketika aku masih lumpuh, bahwa ada seorang nabi yang diutus oleh Allah ke tengah -- tengah kami, melakukan mukjizat penyembuhan di mana -- mana, dan sangat populer di mata masyarakat. Aku tahu orang ini. Aku bahkan mengenal namanya. Selalu disebutkan di kolam Betesda setiap hari. Kini adalah saatnya aku berterima kasih.

Aku berlari keluar dan berhenti di pintu gerbang Bait Allah. Semoga suaraku ini terdengar ke seluruh penjuru, menjadi kesaksian bagi semua orang.

"Yesus, sang Anak Allah, telah menyembuhkan aku! Baginyalah segala kemuliaan dan kehormatan! Terpujilah Allah selama -- lamanya!"

Cerita lain dapat disaksikan di sini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun