THE CRIPPLE (SI LUMPUH)
Tidak ada yang hendak menurunkan aku menuju kolam ini.
Aku mendesah dan menunduk. Mungkin ini memang sudah menjadi nasibku. Di hadapanku terbentang sebuah kolam. Sebuah kolam ajaib, sebuah kolam penuh kesembuhan. Suatu waktu, malaikat Tuhan akan turun dan menggoncang kolam ini. Nama kolam ini adalah Bethesda. Saat malaikat Tuhan datang, semua orang sakit akan berebut memasuki kolam. Apa pun penyakit mereka: buta, lumpuh, bisu, kusta, akan menjadi sembuh. Namun hanya untuk yang pertama memasuki kolam.
Tidak ada yang hendak menurunkan aku menuju kolam ini.
Sudah tiga puluh delapan tahun aku berada di tempat ini. Tiga puluh delapan tahun aku menunggu akan adanya kesembuhan. Namun aku selalu keduluan, lumpuhku ini menjadi penyebab aku selalu terlambat. Tidak ada yang peduli padaku. Tidak ada yang membantuku menunggu lawatan malaikat, lalu menurunkan menuju kolam. Mungkin itu pula adalah ganjaran akan dosa -- dosaku dahulu. Dulu, aku sering mengejek mereka yang beribadah dengan tekun kepada Tuhan. Aku tidak pernah peduli kepada orang, bahkan aku tidak peduli pada keluarga sendiri. Kini, giliranku yang tidak pernah dipedulikan oleh orang lain.
Tapi, tiga puluh delapan tahun.
Selama tiga puluh delapan tahun itu aku melihat orang -- orang disembuhkan oleh karya nyata Allah. Selama tiga puluh delapan tahun itu aku menyaksikan keluarga dan saudara berpesta ria karena sanak mereka telah disembuhkan. Tiga puluh delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Bukan waktu yang singkat untuk menerima tatapan -- tatapan jijik dari orang -- orang sehat. Bukan waktu yang singkat untuk menerima selentingan -- selentingan hinaan, seperti "dosamu terlalu berat untuk diampuni", atau "sudahlah, Allah tidak peduli lagi padamu".
Aku kembali mendesah. Pagi yang dingin ini akan menjadi sama. Entah berapa lama lagi aku harus tinggal di tempat ini, di kolam berserambi lima ini. Aku hanya bisa terdiam di pojokan, tidak berdaya, berusaha menghangatkan diri dengan kain linen pemberian tuan bermuka ramah yang tadi lewat bersama murid -- muridnya. Kakiku sudah mati rasa, dan aku tidak peduli lagi.
Tiba -- tiba sebuah bayangan menudungiku. Aku mendongak. Tuan bermuka ramah itu datang lagi ke hadapanku. Ia tersenyum. Di belakangnya ada murid -- muridnya. Ia hanya mengatakan satu kalimat.
"Maukah engkau sembuh?"
Aku tertawa dalam hati. Apakah orang ini gila? Memangnya siapa dia? Lagipula mengapa ia peduli padaku?