Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengampunan

3 Oktober 2020   09:51 Diperbarui: 3 Oktober 2020   10:00 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENGAMPUNAN

Dina sedang memerhatikan laporan neraca keuangan perusahaan ketika muncul pesan di message box di kiri bawah layar. Pak bos ingin bertemu dengannya. Ia lalu berbicara kepada Renny yang berada di sebelahnya.

"Pak bos ingin bertemu denganku, entah apa yang ingin ia bicarakan. Padahal, laporan penjualan saham sudah kubereskan sore tadi."

Renny hanya mendesah. "Ya, mau bagaimana lagi, sis. Kita sedang peak season, ada banyak order yang sedang ditangani perusahaan. Divisi finance juga kelimpungan. Mana Mba Harum sedang cuti hamil lagi. Ya, terpaksa kita yang menangani ini semua. Bertahan, sis. Keep fighting!"

Dina mengambil napas panjang dan mendesah. Ia mengambil dokumen - dokumen portfolio yang dibutuhkan, lalu berjalan keluar ruangan menuju tempat pak bos. Bos ini bernama Yudha Ambar, seorang berusia enam puluhan, terkenal dengan kedisiplinan dan wataknya yang keras. Sebenarnya itulah mengapa Dina mengeluh ketika pak bos memanggilnya. Sudah berada di jam lembur, tugasnya yang sekarang juga belum selesai, Dina paham ia akan diberikan tugas lanjutan ketika tiba di ruangan itu kelak.

Akhirnya ia tiba di depan dan membuka pintu. Yudha mengangguk dan mempersilakan Dina duduk di hadapannya. Wajahnya terlihat semwrawut, ia sedang memerhatikan dokumen - dokumen di hadapannya.

"Laporan kamu ini, apakah sudah benar dicatat sebagaimana seharusnya?"

"Sudah, pak." jawab Dina singkat.

"Lalu di mana investasi dari Pak Suherman, dari PT Anexa Keronde? Kok tidak ada di chart ini?"

Dina tercekat. Pak Suherman adalah investor terbesar dari perusahaan Pelat Jaya Mulia, tempatnya bekerja. Namanya yang menghilang tentu adalah sebuah kealpaan besar. Pak bos lalu melempar berkas - berkas ke hadapan Dina, dan ketika Dina melihatnya, nama Pak Suherman memang tidak ada.

"Perbaiki!"

Merasa bersalah, Dina menunduk dan mengangguk, "Baik, pak." Ia lalu berdiri dan mohon diri. Namun ternyata pak bos belum selesai.

"Saya belum selesai. Masih ada yang ingin saya bicarakan. Duduk, Dina."

Pak bos bangkit dan berjalan ke kiri, membuka filling cabinet dan mengambil satu dokumen. Dokumen itu tebal dan dipenuhi berkas - berkas. Ia berkata.

"Ini adalah berkas - berkas dari tahun 2019 hingga 2020. Semua investor yang pernah menanam modalnya di perusahaan ini, baik perorangan juga perseroan. Kamu bisa untuk analisis semuanya ini malam ini, bukan?"

Kali ini Dina merasa tak sanggup. Ia berkata terbata - bata. "Tap, tapi, pak, tugas saya untuk membuat laporan neraca keuangan belumlah selesai, juga perbaikan tugas ini. Saya..."

Pak bos memotong, "Tidak sanggup? Ya sudah, kalau tidak sanggup, kamu berhenti saja. Mudah, bukan?"

Dina terdiam dan menunduk. Ia tahu ia tidak bisa berkutik. Namun ia mencoba memberikan alasan.

"Saat ini Mba Harum sedang cuti, workload sedang tinggi - tingginya, pak. Jika saya tidak ada, tentu Renny akan kelimpungan. Bapak membutuhkan saya."

Pak bos tertawa culas. "Apakah kamu tidak tahu bahwa HRD setiap hari memberikan rekomendasi kepada saya untuk rekrutan baru? Sudah banyak yang ingin mengantri di perusahaan ini. Jangan coba - coba melunjak, Dina."

Dina semakin menunduk dan gelisah. Ia menengok ke arah jam dinding. Pukul delapan malam. Mengerjakan tugas dari pak bos akan membuatnya di sini sepanjang malam. Ia tidak bisa berbuat apa - apa selain menuruti kehendak pak bos.

"Baik, pak. Baik. Saya akan coba selesaikan ini semua hari ini."

Pak bos mengangguk. Namun ia ternyata belum selesai. Dari bawah laci mejanya, ia kembali menaikkan sebuah dokumen.

"Ini adalah entry -- entry yang akan dikerjakan oleh subkon - subkon kita. Tidak banyak, kok. Hanya empat puluh lima subkon. Tiap subkonnya ada seratus list entry. Kamu bisa masukkan ke dalam daftar tunggu, bukan?"

Hati Dina mencelos. Berat rasanya mendengar perkataan pak bos. Sepertinya ia akan pingsan sebentar lagi. Wajahnya bergetar. Ia menyadari bahwa air matanya sudah tumpah ke pipinya.

"Pak, tolonglah. Saya tidak sanggup lagi, pak. Saya tidak sanggup mengerjakan semua tugas ini. Ini terlalu banyak. Saya sudah lelah."

Pak bos mengangguk. Ia menyingkirkan semua berkas yang berada di hadapannya. "Saya akan memberikan kamu kebebasan, jika dan hanya jika, kamu menemani saya di rumah pada malam ini."

Dina terdiam. Kini seluruh tubuhnya bergetar. Ternyata semua ini hanyalah plot yang dibuat oleh pak bos. Ia sudah berencana untuk menodainya, menjadikannya seorang selingkuhan. Dina tahu pak bos sudah beristri dan beranak tiga. Oleh karena itu, ia menolaknya sekuat tenaga.

"Tidak, pak, tidak bisa. Saya tahu bapak sudah beristri dan beranak. Saya tidak bisa menemani bapak."

"Istri saya sedang berada di rumah kakaknya, juga anak -- anak saya. Mereka sedang liburan. Bagaimana, Dina? Saya tahu kamu tinggal di kosan sendiri. Bukankah lebih baik jika ada yang menemani? Tentang pekerjaan ini, bisa dilanjutkan besok."

"Tidak, pak. Saya tidak bisa. Apa maksud bapak dengan menemani?"

Pak bos tertawa basa - basi mendengar pertanyaan Dina. "Apakah kamu berpikir bahwa saya ingin berhubungan intim denganmu? Hahaha. Tentu saja tidak, Dina. Saya hanya sedikit kesepian. Kamu bisa menemani saya dinner malam ini, tentunya dengan menu terkenal ala chef Parisien. Lalu kita bisa bersantai di sofa dan menonton netflix, atau minum wine di teras dan memandangi bintang malam. Setelahnya kamu boleh pulang. Dan kamu tahu apa? Besok saya sebenarnya mempertimbangkan untuk menaikkan gaji kamu. Bagaimana, Dina, tertarik?"

Sebenarnya tidak ada yang salah untuk menikmati tawaran pak bos. Semuanya menyenangkan. Dina bisa bersantai dan merelaksasikan diri. Otot -- ototnya sudah lelah, ia butuh peregangan. Apalagi pak bos berjanji bahwa Dina boleh pulang malam itu juga. Ia juga berjanji tidak akan macam -- macam. Di dalam hati, Dina sudah membayangkan mungkin pak bos memiliki bath tub besar yang diisi oleh busa dan air panas, sehingga ia bisa bersantai di dalamnya. Tapi...

"Tidak, pak, saya tidak bisa. Saya memiliki janji kepada orang tua saya, juga kepada Sang Khalik, untuk menjaga kesucian diri saya. Saya tidak bisa menerima tawaran bapak. Saya mohon maaf, pak."

Wajah pak bos berubah masam. Bibirnya sedikit mengucap sumpah serapah, walaupun tidak jelas tertangkap di telinga Dina. Akhirnya ia berseru, "Ya, sudah, kamu bereskan pekerjaan - pekerjaan itu. Ingat, harus selesai malam ini! Jika tidak, kamu akan saya berhentikan. Ingat itu!"

Dengan berat hati, Dina mengangguk, "Baik, pak. Saya akan selesaikan malam ini."

Dina mengambil berkas - berkas itu dan mohon diri. Walaupun tubuhnya lelah, namun Dina merasa bahwa langkah - langkahnya mantap. Entah dari mana kekuatan itu berasal. Setibanya di ruangan, Renny terkejut melihatnya membawa banyak berkas.

"Kamu tidak menerima tawarannya? Kamu benar - benar gila, Dina!"

Giliran Dina yang terkejut. "Apa maksudmu, Renny?"

Renny menaikkan alis, "Semua orang di kantor ini juga sudah tahu. Ini adalah rahasia perusahaan. Apa kamu tidak curiga waktu aku tiba - tiba pulang hari Senin lalu?"

Dina terkejut. "Kamu menerima tawarannya?"

"Tentu saja. Siapa yang mau berurusan dengan data - data bodoh ini, sis. Apalagi rumah pak bos ternyata besar, isinya membuat kamu nyaman dan lupa daratan. Tapi..."

"Tapi apa?"

Renny menengok memandangi Dina dan menunjukkan wajah menyesal, "Kejadian di malam itu terngiang - ngiang, sis, selalu terbayang di setiap malam setiap aku mau tidur. Aku tidak bisa bilang di sini, karena aku takut percakapan kita ada yang dengar, tapi aku berani bilang bahwa kamu membuat keputusan yang tepat. Kamu benar dalam mempertahankan harga dirimu, sis."

Dina masih memasang wajah cemas, "Apakah kita perlu lapor polisi?"

Renny mendesah, "Tidak perlu. Aku butuh kerjaan ini, Din. Mamaku sedang dirawat di rumah sakit, lalu Guntur sedang butuh untuk keprofesiannya. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Menyakitkan, memang, tapi begitulah kenyataannya."

Dina mendesah dan menunduk. Lalu pandangannya beralih menuju layar komputer, bolak - balik menuju berkas - berkas di sebelah kirinya. Tatapannya sedih. Mulutnya menggumamkan sesuatu.

"Tidak adakah yang bisa kita lakukan?"

***

Cerita lain dapat disaksikan di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun