"Tidak, pak, saya tidak bisa. Saya memiliki janji kepada orang tua saya, juga kepada Sang Khalik, untuk menjaga kesucian diri saya. Saya tidak bisa menerima tawaran bapak. Saya mohon maaf, pak."
Wajah pak bos berubah masam. Bibirnya sedikit mengucap sumpah serapah, walaupun tidak jelas tertangkap di telinga Dina. Akhirnya ia berseru, "Ya, sudah, kamu bereskan pekerjaan - pekerjaan itu. Ingat, harus selesai malam ini! Jika tidak, kamu akan saya berhentikan. Ingat itu!"
Dengan berat hati, Dina mengangguk, "Baik, pak. Saya akan selesaikan malam ini."
Dina mengambil berkas - berkas itu dan mohon diri. Walaupun tubuhnya lelah, namun Dina merasa bahwa langkah - langkahnya mantap. Entah dari mana kekuatan itu berasal. Setibanya di ruangan, Renny terkejut melihatnya membawa banyak berkas.
"Kamu tidak menerima tawarannya? Kamu benar - benar gila, Dina!"
Giliran Dina yang terkejut. "Apa maksudmu, Renny?"
Renny menaikkan alis, "Semua orang di kantor ini juga sudah tahu. Ini adalah rahasia perusahaan. Apa kamu tidak curiga waktu aku tiba - tiba pulang hari Senin lalu?"
Dina terkejut. "Kamu menerima tawarannya?"
"Tentu saja. Siapa yang mau berurusan dengan data - data bodoh ini, sis. Apalagi rumah pak bos ternyata besar, isinya membuat kamu nyaman dan lupa daratan. Tapi..."
"Tapi apa?"
Renny menengok memandangi Dina dan menunjukkan wajah menyesal, "Kejadian di malam itu terngiang - ngiang, sis, selalu terbayang di setiap malam setiap aku mau tidur. Aku tidak bisa bilang di sini, karena aku takut percakapan kita ada yang dengar, tapi aku berani bilang bahwa kamu membuat keputusan yang tepat. Kamu benar dalam mempertahankan harga dirimu, sis."