Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Motel Berdarah [Detektif Kilesa]

19 September 2020   14:47 Diperbarui: 19 September 2020   14:53 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS MOTEL BERDARAH

Pk. 09.35.

"Kau bisa tenang sekarang, Kilesa, tidak ada lagi kasus aneh seperti petir yang menyambar atau nenek yang menghilang. Kasus ini normal, hanya sebuah pembunuhan di dalam motel saja. Ah, jangan cepat -- cepat, kawan. Sudah kubilang, ini kasus normal."

Aku menatap Charles dan menggeleng, sembari tetap meneruskan langkah. "Di mana -- mana, tidak ada sebuah kasus pembunuhan yang dianggap normal, Charles. Kau ini ada -- ada saja."

"Well, bayangkan kasus -- kasus yang kita dapatkan belakangan ini. Kelinci pembunuh. Lalu, jika kemarin bos bank itu tidak kepeleset bicara, kita tidak akan tahu siapa yang menghilangkan uang miliaran serta mayat. Ini hanya sebuah pembunuhan normal saja. Di dalam sebuah motel."

"Lebih baik kau diam, Charles."

Charles menganggukkan bahu dan kami berjalan cepat menuju sebuah motel, sudah terlihat dalam pandangan mata. Mahmud sudah berada di sana terlebih dahulu, ia juga yang menginformasikan kepada kami tentang kasus ini. Sebenarnya, Charles betul. Kasus ini hanyalah pembunuhan biasa. Lewat telepon, Mahmud memberitahu bahwa pembunuhan dilakukan dengan sebuah benda tumpul yang berada di dalam kamar motel. Benda itu, sebuah pipa besi, masih berada di samping tubuh korban ketika mayat ditemukan. Jadi, bisa dibilang, pembunuhan ini sama sekali tidak direncanakan. Jika Mahmud sudah menutup komplek motel, ada kemungkinan pembunuhnya masih terperangkap di dalam.

Kami akhirnya memasuki gerbang motel. Motel itu memiliki halaman luas di tengah -- tengah, dengan bangunan kamar yang berbentuk L di belakang. Motel itu hanya terdiri dari satu tingkat, sehingga kami dengan mudah langsung menghitung jumlah kamar, yaitu sembilan. Di samping pintu gerbang, terdapat ruangan resepsionis, dan di terasnyalah Mahmud berada. Nampaknya ia sudah menunggu kami.

"Korban berada di dalam kamar nomor lima, artinya tepat di pojokan. Tim forensikku masih meneliti di dalam kamar. Seorang wanita tiga puluhan. Namanya Rasmi. Pegawai swasta. Nampaknya ia sedang melakukan perjalanan dinas. Kita akan mendapatkan keterangan yang lebih jelas kelak setelah anak buahku memeriksa identitasnya lebih lanjut."

Aku tidak ingin berlama -- lama. "Waktu kematian?"

"Masih hangat, Kilesa.  Hanya berjarak sejam dari sekarang."

Aku mengernyit menatap Mahmud, "Kau yakin?"

Mahmud mengangguk. "99%, Kilesa. Jangan hina aku lagi. Aku tahu aku sudah menimbulkan banyak kekecewaan bagimu. Tapi, itu dulu."

"Bukan itu, Mahmud. Aku tahu kau sudah memasang garis kuning di depan. Artinya, tidak ada yang keluar masuk."

Mahmud tersenyum. "Even better, Kilesa. Mari masuk ke dalam. Akan kujelaskan."

Aku dan Charles masuk ke dalam ruangan resepsionis dan mendapatkan seorang wanita berseragam berusia dua puluhan. Walau kami belum melakukan apa -- apa, wanita ini nampak cemas. Entahlah, di negeri ini banyak yang takut tanpa alasan jika melihat polisi.

"Ia Yulina, resepsionis motel ini untuk shift hari ini. Di motel ini hanya ada satu akses, yaitu gerbang depan ini. Hanya ada satu cctv, yang melihat langsung ke gerbang. Lebih baik lagi, setiap tamu yang ingin masuk atau keluar motel, harus dicatat di logbook ini."

Ia menampilkan sebuah logbook yang menampilkan data layar tamu check ini dan check out. Charles langsung skeptis. "Ini cuma menampilkan data check in dan check out, bukan yang masuk keluar gerbang."

"Lihat baik -- baik, Charles." gerutu Mahmud.

Mahmud benar. Catatan logbook ini bagus. Data ini bukan hanya check ini dan check out, tapi setiap orang yang melangkah keluar gerbang dicatat waktunya. Pada saat ini ada lima kamar yang terisi. Nomor dua, tiga, tujuh, delapan, dan sembilan. Penghuni nomor satu sedang keluar sedari malam kemarin. Kelima kamar yang terisi ini belum keluar sedari pagi. Itu artinya...

"Artinya kelima penghuni kamar ini adalah tersangka dalam kasus ini. Bukankah begitu, Mahmud?"

Mahmud mengangguk. Aku menggertakkan tangan. Kasus ini akan menjadi mudah. "Kami perlu melihat kondisi mayat di nomor lima terlebih dahulu. Kau masih meninggalkannya seperti ia ditemukan, bukan? Ngomong -- ngomong, siapa yang melaporkan?"

Mahmud menunjuk ke pojokan di mana seorang pegawai janitor mengangkat tangan. Tidak perlu keterangan lebih lanjut. Tampangnya polos dan lugu, tapi sesuai prinsip kepolisian, semua yang berada di dalam motel ini pada waktu kejadian akan menjadi tersangka. Kubilang akan menjadi mudah karena lingkup tersangkanya jelas.

Kami melangkah keluar dan berjalan memasuki kamar nomor lima. Kamar itu gelap, sengaja dibiarkan sebagaimana korban ditemukan. Tim forensik sedang mengecek dinding dengan sinar UV, juga mengecek pojok -- pojokan. Tetapi menurut dugaanku, mereka tidak akan menemukan apa pun. Kamar itu terlalu sederhana. Hanya ada koper baju dan berkas -- berkas kantor di atas meja. Selebihnya, ada pipa yang masih basah oleh darah, di samping korban. Adalah benar bahwa pembunuhan ini sama sekali tidak direncanakan. Mungkin hanya berdasarkan emosi sesaat.

Tapi siapa yang ingin membunuh seorang asing di dalam sebuah motel? Motel bukanlah kos -- kosan. Orang hanya tinggal sehari dua hari. Sulit untuk mengenal siapa yang menjadi tetanggamu. Aku tercenung. Ada kemungkinan salah satu dari kelima orang ini sengaja mengikuti korban untuk melakukan pembunuhan di motel. Artinya ini pembunuhan terencana.

Hmm, pikiranku membuatku bingung sendiri. Seperti biasa, hahaha.

Aku yakin bahwa masih ada sidik jari pembunuhnya menempel di batang pipa, tapi aku dan Mahmud tahu bahwa itu membutuhkan waktu lama. Kami sepakat bahwa pipa itu akan menjadi rencana cadangan, namun kami tetap harus memeriksa kelima penghuni kamar yang berada di dalam sekarang. Mereka sudah diinformasikan polisi bahwa telah terjadi pembunuhan, diharapkan untuk tetap tenang, dan sekarang sedang menunggu panggilan interogasi.

Aku dan Mahmud hendak melangkah keluar ketika Charles memanggil kami. Ia sedang menatap berkas -- berkas di atas meja.

"Tidak ada yang aneh, Charles. Hanya berkas hukum dan administrasi biasa."

Ia tidak menjawabku dan hanya menunjuk ujung berkas. Tanggal 30 September 2037. Bulu kudukku mulai merinding. Ini akan menjadi kasus yang aneh lagi.

Hari ini adalah tanggal 15 Agustus 2037. Artinya berkas -- berkas itu tidak seharusnya ada di permukaan bumi.

***

Orang pertama yang kami interogasi di ruangan resepsionis adalah penghuni kamar nomor dua. Seorang pegawai kepolisian juga, hanya di bidang lalu lintas. Ia sedang berliburan bersama istrinya. Keduanya mengaku berada di dalam kamar sedari pagi.

"Aku hanya keluar kamar untuk menikmati udara pagi, sob. Duduk di teras depan, sambil berselancar di dunia online. Biasanya aku mumet dengan kasus tilang yang tidak ada habisnya, tidak bolehkah aku menikmati momen ini? Ah, ternyata Tuhan berkehendak lain. Ke mana aku melangkah, kasus tetap mengikuti."

Aku tersenyum mendengar Endang berbicara. Kami tidak mengenal satu sama lain, namun profesi polisi sudah membuat kami seperti saudara.

"Saya mohon maaf, pak, karena bapak dijadikan tersangka. Ada sebuah pembunuhan yang terjadi pagi tadi, paling pagi jam delapan, di kamar nomor lima. Namanya Rasmi, seorang pegawai swasta."

"Tidak mengapa, tidak mengapa. Keadilan sosial bagi seluruh penduduk negeri. Tetap harus dijalankan. Lagipula, jika aku tidak bersalah, mengapa harus takut?"

"Baiklah, bapak bilang bahwa bapak bersantai di teras pagi hari. Jam berapa itu? Apakah bapak melihat seseorang memasuki kamar nomor lima di pojokan?"

Endang membuang napas dan terlihat kecewa. "Sayang sekali, sobatku yang terkasih. Aku adalah seorang pegawai lalu lintas, terbiasa untuk bangun pagi sebelum bertugas. Kata pagi di sini adalah jam enam sampai jam tujuh. Lalu aku masuk ke dalam untuk bersiap -- siap pergi ke tempat wisata bersama istriku. Ia sedang menonton televisi di kamar. Tidak, aku tidak melihat apa pun atau siapa pun memasuki kamar nomor lima. Tetapi..."

Aku, Charles, dan Mahmud menyimak dengan seksama, "Ada seseorang bertubuh gendut yang bolak -- balik keluar masuk pintu. Maksudku, hanya kepalanya saja yang keluar. Ia celinguk -- celinguk, lalu masuk lagi. Kalau tidak salah, kamar nomor tujuh. Ya, aku yakin kamar itu. Ia berada di seberang. Kalian bisa menanyainya nanti."

Kami mencatat semua keterangan yang diperlukan. Endang dan istrinya dipersilakan untuk kembali. Kamar nomor tiga adalah seorang wanita karir yang nampaknya juga sedang melakukan perjalanan bisnis. Dari gayanya, kami menebak bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah perusahaan multinasional. Namanya Vanessa.

Dengan adanya cincin kawin di jari tengah, aku menyebutnya nyonya. "Nyonya Vanessa, kami mohon maaf karena harus menunda bisnis Anda. Apakah ini tidak apa -- apa?"

Ia setengah membentak, "Tentu saja ini merugikan! Tapi akan lebih merugikan jika namaku tersangkut paut sebuah kasus pembunuhan. Jadi, menurutku, tuan detektif yang terhormat, selesaikan kasus ini secepat mungkin sebelum merebak menuju media massa. Apa kau ingin aku dan perusahaanku menjadi pergunjingan netizen?"

"Baik, baik. Kami ingin langsung cepat saja. Pembunuhan terjadi sekitar pukul delapan, di kamar nomor lima, dengan korban bernama Rasmi, seorang pegawai swasta. Apakah ibu mengenal orang ini?"

Kebisuannya dan tampangnya yang jutek membuat kami yakin jawabannya adalah tidak. Aku melanjutkan, "Apa yang ibu lakukan sekitar jam delapan? Singkatnya, siapa yang bisa membuktikan alibi ibu pada pukul itu?"

Tampangnya masih jutek, tapi ia menjawab, "Tidak ada. Aku sedang menonton berita pagi hari ini. Tidak ada yang bisa membuktikan bahwa diriku berada di dalam kamar, karena aku sendirian di dalam sana. Sudahlah, pak polisi, aku tidak peduli hal -- hal yang begituan."

"Ya, karena jika hanya ibu yang tidak memiliki alibi, maka ibulah yang berada dalam daftar teratas."

Ancamanku membuatnya sedikit goyah. "Baiklah, aku sedikit melakukan percakapan messaging di handphone dengan temanku pada pukul segitu. Apakah itu bisa menjadi bukti? Lagipula aku bisa menyebutkan channel dan berita yang kutonton selama setengah jam. Puas, tuan detektif?"

Aku mengangguk dan meminta Charles untuk mengecek handphonenya. Ia mengangguk kepadaku setelah mengonfirmasi kebenarannya. Aku melanjutkan, "Dengan begitu, apakah ibu mendengar atau mendapatkan sesuatu yang aneh di kamar nomor lima?"

Perkataannya sinis. "Tidakkah bapak polisi paham apa yang aku lakukan sepanjang jam delapan? Membuka handphone dan percakapan bisnis dengan temanku. Mana sempat aku memerhatikan kamar nomor lima? Lagipula aku harus keluar kamar. Huh, merepotkan saja."

Aku menahan napas, menahan sedikit rasa kesal. Akhirnya setelah tidak ada yang diperlukan lagi, aku memersilakannya keluar. Sembari menunggu orang ketiga, Charles menunjukkan sebuah fakta penting. Orang ketiga ini adalah kamar nomor tujuh. Artinya dua kamar dari nomor lima. Begitu juga sebelumnya kamar nomor tiga.

"Wajar jika tidak ada yang mendengar sesuatu yang ganjil dari kamar nomor lima. Tidak ada yang tinggal di kamar sampingnya. Aku yakin penduduk kamar nomor tujuh akan berkata sama."

Aku langsung bertanya tentang hal itu kepada orang ketiga, atau kamar nomor tujuh. Ia adalah seorang bapak -- bapak muda, sedang berliburan bersama keluarga kecilnya. Di belakangnya ada istri dan dua anak perempuan berusia tujuh dan enam tahun. Karena tidak ingin mengganggu kenyamanan, kami memersilakan mereka menunggu di luar.

"Tidak, aku tidak mendengar apa pun pada jam delapan. Kami menyalakan televisi dengan suara keras, karena si kecil suka menonton kartun kesayangannya pagi hari. Lagipula aku pada jam segitu sedang berada di dalam kamar mandi. Kami sedang bersiap menuju tempat wisata. Aku mohon maaf atas peristiwa duka yang terjadi."

Aku mengernyit. "Pak Anton, menurut Pak Endang di kamar nomor dua, pak Anton bolak -- balik celinguk dari dalam pintu sekitar jam tujuh. Apakah itu benar? Ada apa, pak?"

Ia sedikit kelimpungan, "Ah, iya, pak. Aku sedang mengecek ke arah resepsionis, siapa tahu mereka sudah menyiapkan sarapan. Ternyata belum."

"Bukankah motel tidak pernah menyiapkan sarapan? Mengapa bapak tidak bertanya saja?"

"Ah, iya, iya, pak. Baru kepikiran sekarang. Ya, seperti itu."

Tingkahnya yang aneh membuatku curiga. Namun seperti prinsip kepolisian, bukan gelagat, melainkan bukti ucapan dan alat. Sejauh ini alibi kamar nomor tujuh semuanya aman, keempat orang itu saling menguatkan, juga mereka tidak menemukan keanehan di nomor lima pada pukul delapan. Maka kami memersilakan mereka kembali. Kami memanggil kamar sebelahnya, kamar nomor delapan. Ia adalah seorang ibu -- ibu tua, berusia sekitar tujuh atau delapan puluhan. Melihatnya membuat kami yakin ia bukan pembunuhnya, karena tidak mungkin seorang nenek -- nenek memukul dengan pipa besi. Namun....

"Aku...aku...melihat sesuatu, pak. Mataku sudah buram, jadi semua seperti bayangan. Aku berada di luar teras sepanjang jam tujuh dan delapan. Ingin menikmati udara segar, sebelum nanti jam sembilan pergi ke kota ke tempat anakku, lalu menengok cucu. Juga ada kotak jahitan, juga aku sedang menyiapkan sandwich untuk cucu tersayang, lalu aku ingin..."

"Nek, tolong, kami tidak berlama -- lama, apa yang nenek lihat?"

"Aku melihat seseorang berjalan ke arah pojokan. Ya, kamar nomor lima. Dari arah sana."

Ia menunjuk barisan kamar barat, kamar nomor satu hingga lama. Lebih jelasnya, ia menunjuk kamar nomor dua. Tapi, kondisi matanya yang mengalami katarak menjadi kendala bagi kami. Ia tidak mungkin bisa dijadikan saksi mata. Begitu pula dengan pendengarannya.

"Aku mendengar sebuah teriakan kencang dari kamar nomor lima. Jam delapan, pak polisi. Tepat ketika terjadinya pembunuhan, menurut pak polisi. Bukankah begitu?"

Charles menunduk dan mendesah, "Ibu yakin suara itu tidak berasal dari dalam kamar ibu sendiri? Seperti suara televisi, misalnya?"

Sang nenek tersenyum seperti malaikat dan berkata, "Ah, iya, aku lupa. Aku menyalakan televisi pada jam segitu. Jam setengah delapan pagi aku harus berada di depan televisi, karena ada tayangan ulang telenovela Angelita, tayangan kesayanganku."

Karena kami yakin bahwa sebenarnya sang nenek hanya mencari -- cari sensasi akibat keterangannya banyak yang bertolak belakang, kami memersilakannya untuk kembali. Kini adalah saksi terakhir dari kamar nomor sembilan. Karena ia berada di paling ujung, kami pesimis ia akan memberikan keterangan yang membantu. Terlebih ia adalah seorang politisi, terbiasa untuk berkelit. Ia berkilah hendak mengikuti kegiatan partai siang itu.

"Selamat pagi, pak polisi, adakah yang bisa kubantu?" ujarnya sambil memasang senyum polos.

"Ada, pak Benny, saya langsung saja. Apa yang bapak lakukan pada pukul delapan? Singkatnya siapa yang bisa membuktikan alibi bapak pada waktu itu?"

"Ada. Saya memanggil janitor sekitar jam delapan karena saya menumpahkan kopi ketika menonton berita di televisi. Dan ketika janitor itu tidak datang -- datang, saya langsung datangi ke sebelah. Untungnya kamar ini hanya beberapa langkah dari resepsionis. Saya hampir marah di sana, pak, karena dua orang itu, resepsionis dan janitor, terlihat tidak siap."

Ini fakta baru bagi kami. Kami hampir saja melupakan Yulina, sang resepsionis, dan janitor yang bekerja. Tapi kami tetap memfokuskan diri pada Benny.

"Nanti kami akan memastikan alibi bapak pada Yulina dan janitor yang bertugas. Kini saya ingin memastikan. Apakah bapak kenal dengan korban?" ujarku sembari menyodorkan identitas korban.

"Tidak, sama sekali tidak. Kamar nomor lima? Saya bahkan tidak mendengar apa pun dari kamar itu. Mungkin karena saya menyalakan televisi untuk menonton berita pagi, saya harus memantau kegiatan partai. Saya mohon maaf, pak, bukannya saya mengerdilkan kepolisian, tapi posisi saya cukup penting di partai. Saya tidak bisa absen di kegiatan syukuran siang nanti."

Aku mengangguk -- angguk. Jika kelak alibinya bisa dipastikan, sebenarnya orang bernama Benny ini cukup aman. Kami memersilakannya pergi, namun aku meminta batas yaitu pukul sebelas siang untuk kepastian keamanan. Kami berusaha melakukan semuanya secepat mungkin. Terakhir, kami memersilakan masuk Yulina dan janitor. Kami sepakat melakukan interogasi berdua agar hal -- hal yang kontradiksi dapat diketahui langsung.

Aku memulai dengan tegas. "Pak Juju, pak Benny di kamar nomor sembilan mengatakan bahwa bapak jam delapan datang ke kamarnya untuk bersih -- bersih tumpahan kopi. Benar?"

Pak Juju sebagai janitor terlihat gagap dan sedikit cemas ketika menjawab, "Benar, benar, pak. Saya ke kamar sembilan jam delapan pagi."

"Lalu mengapa pak Benny mengatakan bahwa kalian terlihat belum siap, padahal sudah dipanggil sebelumnya?"

"Bukan tidak siap, pak, tapi pagi tadi ada telepon customer yang marah -- marah akibat sudah booking tapi tidak bisa check in. Itu hanya sebuah kesalahpahaman. Namun karena suaranya yang menggelegar, Pak Juju yang disebelahku juga jadi kena imbasnya." ujar Yulina menengahi, walaupun ia juga terlihat sedikit ketakutan.

Aku mengalihkan pertanyaanku pada Yulina. "Ruang resepsionis ini adalah ruang yang paling terbuka di seluruh motel ini. Kalian bisa melihat ke seantero pojok motel. Semua kamar. Kalian harusnya bisa melihat siapa yang terlihat mencurigakan. Jadi, aku bertanya sekali lagi. Adakah orang yang bertindak di luar kebiasaan, pada pukul delapan pagi?"

Yulina sedikit berpikir sebelum menjawab. "Shift saya memang dimulai pada pukul enam pagi, pak, begitu pula dengan Pak Juju. Dari sini memang semua kamar terlihat, tetapi sayangnya saya tidak terlalu memerhatikan mereka. Hal itu karena adanya logbook ini, semua yang masuk atau keluar motel harus melalui logbook. Saya tidak mengira akan terjadi pembunuhan, pak. Saya, tidak, kami berdua mohon maaf jika tidak banyak membantu."

Masuk akal. "Lalu apa yang kalian kerjakan pada pukul delapan pagi?"

"Pak Juju dipanggil ke kamar nomor sembilan, lalu saya..." ia terdiam sejenak sembari berpikir, "usai menangani customer di telepon, saya bermain dengan handphone, juga menyalakan televisi. Itulah mengapa saya tidak terlalu memerhatikan kamar -- kamar tamu, pak. Saya mohon maaf. Tolong jangan sampaikan kepada atasan saya bahwa kami telah lalai, pak. Kami mohon beribu mohon. Jangan sampai kami dipecat karena kasus ini...."

Tatapan ketakutan berubah menjadi tatapan memelas, dilakukan oleh resepsionis dan janitor. Aku bertatap -- tatapan dengan Charles dan Mahmud. Kami memersilakan keduanya keluar. Pada akhirnya, tinggal kami bertiga mendiskusikan kasus di ruang resepsionis.

"Tidak ada satu pun keterangan yang mengarah pada pelaku. Tidak ada yang melihat pelaku, kecuali nenek di kamar no delapan yang sudah pasti berbohong.  Kasus ini menjadi rumit, Kilesa, karena semua kamar ternyata memiliki alibi yang bisa dipastikan kebenarannya. Lalu siapa yang membunuh Rasmi?" tanya Charles.

Aku merenung dan berpikir. "Sebenarnya ada satu hal yang ganjil di kasus ini. Namun aku belum ingin memastikan hal itu. Petunjuknya masih kurang."

Mahmud yang bersender di pojokan tersenyum misterius. "Sepertinya kita memikirkan keganjilan yang sama, Kilesa. Tapi, kau benar. Kita masih kurang petunjuk. Kusarankan, adakah baiknya kita mengecek cctv?"

Charles berkilah, "Bukankah cctv itu hanya mengarah ke gerbang, bukannya ke arah kamar -- kamar, Mahmud? Jadi sama sekali tidak membantu."

Keduanya menatapku meminta persetujuan. Aku menganggukkan bahu tanda setuju. Tidak ada salahnya juga, toh. Kami sedang menemui jalan buntu. Seorang staf kepolisian lalu menyediakan kami rekaman yang sudah diekstrak dari cctv. Rekaman itu memang hanya mengarah ke gerbang motel. Tujuannya untuk memantau orang datang atau pergi.

Pada rentang jam delapan, sesekali terlihat mobil atau motor lewat di jalan depan gerbang. Juga pejalan kaki. Namun tidak ada satu pun memasuki lingkungan motel. Tidak ada yang menarik dari rekaman cctv ini, hingga Charles menukil sesuatu.

"Di pojokan ini, gubuk kayu ini, bukankah itu adalah sebuah warung bakso? Terlihat seperti gudang kosong, tapi ada yang keluar masuk. Ya, kacanya memang tidak beraturan, tapi dari sudut pandangnya sepertinya ia bisa melihat ke dalam motel."

Aku menatap Charles tidak percaya. Titahku berikutnya adalah meminta Charles untuk memanggil tukang bakso ini. Ia kembali dengan seseorang yang memakai topi bundar dan bertampang lugu. Tanpa mengetahui duduk persoalan, tanpa memberitahunya bahwa telah terjadi kasus pembunuhan, kami langsung bertanya hal yang penting.

"Selamat pagi, Pak Rojak, bukankah itu tulisan di depan warung bapak? Bakso Pak Rojak."

"Ya, betul, pak. Ada apa ini, pak?"

"Bukan, pak. Kami hanya ingin bertanya. Apakah dari warung bakso bapak, halaman hotel ini terlihat cukup jelas?"

Rojak mengangguk. Lalu aku bertanya kembali, "Jam delapan tadi pagi, pak, apakah bapak sedang melihat motel ini, pak?"

"Setiap saya membersihkan meja, saya pasti melihat motel ini, pak. Ada apa? Ada sesuatu yang terjadi?"

"Apa yang bapak lihat pagi tadi?"

Ia mengernyit, berusaha mengingat -- ingat, "Ah, biasa saja, tidak ada yang aneh. Orang keluar masuk kamar, berjalan di depan, ya, hal -- hal seperti itu. Bahkan kalau saya tidak salah lihat beberapa orang kumpul -- kumpul di pojokan. Tidak ada yang aneh, pak. Memangnya ada apa?"

Keluar masuk kamar? Berjalan di depan? Bahkan kumpul -- kumpul di pojokan? Bukankah hampir semua saksi mata mengatakan bahwa mereka berada di dalam kamar dan bersiap -- siap? Keterangan ini bertolak belakang dengan semuanya. Saking uniknya keterangan Rojak, aku jadi tercenung. Kedua rekan detektifku menyadari hal itu sehingga mengambil alih pertanyaan. Aku bahkan tidak lagi memerhatikan pertanyaan yang dilontarkan keduanya. Ketika Rojak dipersilakan pergi, Mahmud menegurku.

"Kau pasti sedang memikirkan keterangan yang bertolak belakang itu, bukan?"

Aku menatap Mahmud. "Benar, Mahmud, dan sebenarnya jika dipikir -- pikir, keterangan itu cocok dengan keganjilan yang kupikirkan. Bagaimana, menurutmu? Haruskah kita melabrak orang ini untuk membuatnya mengakui kesalahannya?"

"Itu pula yang kupikirkan, Kilesa. Sepertinya tidak ada jalan lain. Daripada harus menunggu tim forensik mengidentifikasi sidik jari, akan memakan waktu lama."

"Hei, apa maksud kalian? Pembunuhnya sudah ketahuan?" tanya Charles.

"Sepertinya kita harus bertindak cepat, Charles. Jika tidak, mungkin pelaku bisa melarikan diri. Mari sob, kita bereskan kasus ini."

Charles hanya geleng -- geleng kepala melihatku dan Mahmud berjalan keluar dengan langkah pasti.

***

***

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun