Langit dan bumi.
Sebuah kereta kuda melaju di atas jalan kecil. Joko Tingkir memandang keluar sembari mengulum jerami di mulutnya. Ia menyukai hawa segar ini.
"Pemandangan yang bagus bukan, wahai anak muda, pertama kalinya dalam seminggu terakhir ini."
Joko Tingkir tidak mengalihkan pandangannya kepada si pembicara. Matanya terus -- menerus menatap ladang padi yang berwarna kehijauan di sebelah kiri kereta kuda.
"Mungkin kau bosan dengan keadaan ini, makanya engkau hendak pergi ke pulau seberang, bukan?"
Sang pemuda tersenyum. Ia menghentikan tatapannya dan mengalihkan perhatian kepada lawan bicara di hadapannya.
"Lebih tepatnya bosan dengan tantangan -- tantangan orang -- orang di sekelilingku, paman."
Lawan bicaranya tersenyum, "Sejak aku, I Putu Wikarna, seorang pedagang kain dari Pulau Bali, menginjakkan kakiku di tanah Jawa, kau adalah orang yang paling menarik di antara semuanya. Sang legenda, mereka menyebutnya."
 Joko Tingkir geleng -- geleng. Jeraminya masih tetap berada di dalam mulut.
"Mereka hanya melebih -- lebihkan, paman. Aku hanya sedikit lebih pintar."
"Kau merendahkan dirimu. Aku telah melihatmu bermain. Cukuplah, di tanah Jawa ini siapa yang tidak mendengar tentang Joko Tingkir?"