"Kau ini lucu sekali. Di luar sana orang -- orang berebut untuk menjadi pemilik puncak kekuasan. Kau memang bukan keturunanku. Kau tidak berhak atas singgasana Kerajaan Sriwijaya. Namun aku telah menyaksikanmu. Cintamu kepada kerajaan ini sama dengan diriku dan Balaputradewa. Kuatkanlah hatimu. Bawa Sriwijaya menjadi besar. Seandainya Balaputradewa kembali dengan selamat dan menjadi raja, suatu saat pun kau akan duduk di tahta kebesaran. Jangan kecewakan kami yang menyaksikan dari langit."
Udayaditya menunduk mendengar penjelasan Samagrawira. Tidak kusangka akan secepat ini. Aku ingin mengatakannya di depan wajahmu, kek, mengapa aku enggan menjadi raja. Aku melihatnya sebagai beban, bukan kesenangan. Namun, semua itu akan kusimpan sekarang.
"Baiklah, kek, aku akan berupaya untuk menjalankan amanahmu. Aku akan rajin -- rajin memahami budi pekerti Sang Buddha. Kau tenangkan dirimu, Sriwijaya akan baik -- baik saja."
Samagrawira mengangguk. Kini wajahnya terlihat tenang. Aku berhasil mendamaikannya dengan nasib buruk. Terima kasih, wahai Sang Pencipta.
"Satu hal lagi, cucuku tercinta. Aku memiliki jimat kalung yang kutitipkan pada Sanggabuana. Aku ingin kau memilikinya. Selain itu, aku ingin kau segera memiliki keturunan. Aku tidak ingin kau berakhir seperti Balaputradewa yang memilih jalan selibat. Aku memikirkan kerajaan ini. Berakhir tanpa keturunan akan membuat kita menderita. Berita kegagalan kita di tanah Jawa akan menyebar dengan cepat. Akan ada banyak wilayah yang ingin memisahkan diri. Oleh karena itu, dengarkan pesan terakhirku ini."
Raja menatap dalam -- dalam Udayaditya.
"Jangan biarkan sebuah wilayahpun lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Jika kau kuat, kerajaan ini akan menjadi kuat dan besar. Aku percaya padamu. Penuhilah keinginan Dharanindra. Kuasailah nusantara!"
Udayaditya mengangguk pelan.
"Baiklah, Udayaditya, aminkan pesan -- pesanku tadi. Aku ingin menikmati waktu -- waktu terakhirku ini seorang diri. Tinggalkan aku, wahai kalian semua. Biarkan hanya tabib yang menemaniku. Ia akan mengabarkan jika aku sudah meninggalkan raga ini."
Isak tangis yang lebih kencang hadir dari seluruh insan di dalam ruangan perawatan. Udayaditya tidak ingin berlama -- lama terlarut pada kesedihan yang terjadi. Ia melangkah menuju teras luar ruang perawatan. Matanya masih memerah. Langit berwarna jingga, menandakan waktu sudah mencapai sore hari. Kali ini ia dapat menentukan waktu, berbeda ketika berada di tanah Jawa.
Seluruh nasib buruk ini akan berakhir. Dunia akan berputar kembali esok hari.