"Tapi, daerah -- daerah terluar dan terjauh kerajaan adalah daerah dengan kebudayaan berbeda. Meski beragama sama, namun rakyatnya enggan menyerahkan upeti atau pajak kepada istana Palembang. Kita yang berada di Pulau Sumatera sulit untuk mendengar berita mengenai mereka karena terpisah lautan. Kita tidak tahu apa yang benar -- benar terjadi di sana. Kukatakan kepadamu, pintu laut akan menjadi sangat berharga."
Udayaditya menundukkan kepala, "Cukuplah penderitaan ini bagi kami penduduk istana Palembang. Biarlah persoalan ini dipecahkan oleh paman Balaputradewa."
"Kau sendiri mendengar perkataan raja, bukan, wahai Udayaditya? Ada kemungkinan Balaputradewa tidak akan kembali dan menginjakkan kaki di tanah Palembang. Serta ada satu masalah lagi yang perlu kau waspadai."
Udayaditya menatap Rupacitra dengan lemas. Apa lagi, wahai nirwana?
"Kau paham, kau ini bukanlah keturunan langsung dari Samagrawira. Nenekmu adalah anak kedua Dharanindra, setelah Samagrawira. Dharanindra memiliki lima orang anak, Samagrawira dan keempat orang adik perempuannya. Aku mengerti raja melakukan percobaan dengan menarikmu sebagai calon pewaris takhta. Tidak ada yang berani menentang kehendaknya. Keputusannya mutlak."
"Raja sekarang terbaring lemah. Aku tidak menginginkannya mati, namun nampaknya itu akan menjadi kenyataan. Balaputradewa tidak jelas kabarnya. Kemungkinan kau menjadi raja cukup besar."
"Yang menjadi masalah adalah darah ningratmu berasal dari pihak ibu. Nenekmu hanya menghasilkan anak perempuan. Sedangkan adik nenekmu memiliki beberapa anak lelaki."
"Aku tidak peduli, paman." Udayaditya berkata lirih.
Rupacitra seakan tidak mendengar dan meneruskan, "Aku adalah anak terakhir dari adik ketiga Samagrawira. Aku dan kakakku bukanlah orang -- orang yang haus kekuasaan. Kami tidak menentang keputusan Raja Samagrawira yang memilihmu menjadi pewaris takhta."
"Yang perlu kau waspadai adalah pamanmu yang sekarang menjadi Bupati Siak Utara, anak dari adik kedua Samagrawira. Aku paham niatnya. Ia ingin mendudukkan anaknya di istana Palembang. Ia tidak ikut menyerang ke tanah Jawa. Kau bisa pahami, ia sedang mencari kesempatan."
Udayaditya tertunduk pilu. Sekali lagi ia berkata, "Aku tidak peduli, paman."