Raja membuka matanya tiba -- tiba, ekspresi kemarahan terpancar dari raut wajahnya yang sayu.
"Apa sebab?"
"Pasukan Kerajaan Galuh membantu pasukan Kerajaan Medang untuk melawan pasukan kita. Paman Balaputradewa hendak bertukar pendapat dengan Raja Manarah mengapa mereka melibatkan diri."
Raja kembali menutup matanya.
"Seperti inilah langit menghukumku. Kudungga datang menyerang, aku terkena panah beracun, Gunung Merapi memuntahkan debu -- debu dan lahar panas, lalu Galuh datang membantu Medang. Akulah yang bersalah, wahai cucuku, akulah yang bertanggung jawab atas kerusakan ini. Dan penerusku tidak jelas nasibnya."
Udayaditya membenamkan kepalanya di sisi tempat tidur sang raja. Tangis terus mengalir dari matanya.
"Kau harus tetap tegar, Udayaditya. Bangkitlah, ucapkan salam perpisahan bagi panglima Kerajaan Sriwijaya yang berbaring di sampingku."
Udayaditya tersentak. Ia mendongakkan kepalanya dan menyadari bahwa orang -- orang juga mengelilingi tempat tidur di samping raja. Kerumunan membuatnya tidak mengetahui pada awalnya bahwa seseorang juga terbaring di tempat itu.Â
Sembari sesenggukan, ia melangkah pelan menuju tempat tidur di samping Samagrawira. Pikirannya berusaha untuk menahan segala kenyataan buruk yang mungkin terjadi. Semoga raja hanya bercanda, wahai Buddha.
Vijayasastra terbaring tanpa nyawa di atas pembaringan. Matanya tertutup, kulitnya membiru keputih -- putihan, tubuhnya dipenuhi luka lebam. Para dayang sedang menyiapkan kain sari kuning untuk menutupi tubuhnya. Udayaditya tersentak, ia menangis sekencang -- kencangnya. Terduduk dan menutup wajah, meraung -- raung di tengah kedukaan.Â
Untuk sesaat ia merasakan waktu berhenti dan dunia tidak bergerak. Ia ingin mengulang waktu di pagi kemarin dan mengatakan semuanya akan berakhir menjadi buruk. Udayaditya berharap tidak ada yang memerhatikannya menangis sesenggukan di lantai seperti seorang anak kecil. Tuhan menyanggupi permintaannya, karena seluruh manusia di dalam ruangan itu tenggelam dalam kesedihannya masing -- masing.