Sebuah sorakan keras. Namun aku tidak bisa melihatnya langsung. Sayang sekali.
Mata sang putri tertuju pada seekor ikan koi di kolam Taman Anyelir. Berenang kesana kemari, gerakannya tidak berbeda dari ikan koi lainnya di kolam itu. Corak berwarna merah keemasanlah yang membuat ikan itu menonjol. Pramodawardhani mengingat sebuah legenda ikan dewa dari tanah barat Pulau Jawa. Mpu Galuh yang menceritakannya.
Alkisah ada seorang raja dari tanah barat Pulau Jawa bernama Jayasingawarman. Beliau hendak melakukan serangan kepada dataran selatan Pulau Sumatera. Waktu menunjukkan bulan purnama, posisi air laut sedang tinggi -- tingginya. Para prajurit berusaha untuk mengubah pemikiran sang raja untuk menunda penyerangan, karena kapal mereka tidak dapat melihat karang -- karang besar di selat antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Namun perangai raja yang buruk membuatnya menghukum para prajurit yang membangkang dengan cara melemparkan mereka ke Selat Sunda. Sang raja kemudian terbelalak ketika melihat para prajurit tidak tenggelam melainkan berubah bentuk menjadi ikan -- ikan besar berwarna hitam. Legenda kemudian menamakan ikan -- ikan tersebut ikan dewa, karena menganggap mukjizat para dewa terjadi di Selat Sunda. Barangsiapa yang melihat ikan tersebut dan kemudian menciumnya akan dihinggapi keberuntungan.
Ada -- ada saja legenda ini. Siapa juga yang mau mencium ikan? Konyol.
Ingatan sang putri kemudian melayang kepada salah satu kejadian penting di tanah barat Pulau Jawa. Ini bukanlah legenda, melainkan kejadian nyata. Ajaran Mpu Galuh telah membekas pada ingatannya. Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan Hindu terbesar pada saat itu. Kekuasaannya terbentang antara Selat Sunda hingga Sungai Citarum. Raja terakhir Kerajaan Tarumanegara tidak mempunyai anak lelaki, sehingga harus menyerahkan kekuasaan kepada menantu pertamanya, Tarusbawa. Tarusbawa kemudian mengubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.
Kondisi yang sama sepertiku. Setidaknya kutahu Rakai Pikatan adalah manusia yang baik hati.
Kerajaan Kendan yang merupakan bawahan Kerajaan Tarumanegara sebelumnya, dipimpin oleh Wretikandayun melihat kesempatan untuk memerdekakan diri. Wretikandayun kemudian mendirikan kerajaan dengan nama baru, Kerajaan Galuh yang berlokasi di sebelah timur Sungai Citarum.
Tarusbawa melihat bawa pamor Kerajaan Tarumanegara saat itu sangat lemah, sehingga ia mengijinkan Wretikadayun untuk mendirikan kerajaan tersendiri. Terlebih, mereka adalah teman baik sehingga dalam pemikirannya kesempatan untuk berperang sangatlah kecil. Kerajaan Sunda dan Galuh pun hidup tenteram beriringan. Mereka berdua hingga saat ini dikenal sebagai pendiri masing -- masing kerajaan yang masih berdiri di tanah barat Pulau Jawa.
Wretikadanyun memiliki tiga orang anak: Sempakwaja, Jantaka, dan Mandiminyak. Dua anak pertama Wretikadanyun memiliki cacat sehingga menurut tradisi tidak mungkin untuk menjadi ahli waris, sehingga yang menjadi raja muda adalah Mandiminyak. Nama Mandiminyak sendiri disebabkan kulitnya yang selalu bergelimang cahaya, layaknya dibasahi oleh minyak.
Sempakwaja memiliki istri bernama Pohaci Rababu. Pada suatu ketika Wretikadanyun mengadakan pesta para pembesar negeri. Sempakwaja tidak bisa hadir karena sedang sakit. Ia dirawat oleh anak -- anaknya yang bernama Purbasora dan Demunawan. Pohaci Rababu memilih untuk datang sendiri ke pesta itu, sebagai wakil dari keluarga Sempakwaja.
Pohaci Rababu sendiri adalah sosok wanita yang cantik dan memesona. Kedatangannya sendirian ke pesat menggoda Mandiminyak. Sudah lama ia mengincar Pohaci Rababu. Dengan godaan sedemikian rupa, akhirnya Pohaci Rababu jatuh ke pangkuan Mandiminyak. Dari hubungan terlarang itu hadir sebuah keturunan bernama Bratasenawa, atau lebih dikenal dengan nama Sena.
Kehadiran bayi bernama Sena membuat pihak istana geger. Namun Sempakwaja memilih bersikap lapang dada. Ia tidak menghendaki adanya perselisihan, dan membiarkan Sena tumbuh dewasa. Namun, Purbasora sudah memendam dengki kepada Sena sejak awal kelahirannya. Ketika Wretikadanyun wafat, Mandiminyak pun menjadi raja.
Ia kemudian memperistri Parwati, anak Ratu Shima dari Kalingga, sebagai istri yang sah. Tujuannya adalah sebagai perlindungan dari sebuah kerajaan besar, juga mempertegas posisinya di lingkungan istana. Dari pawiwahaan itu lahirlah putri bernama Sanaha.
Bratasenawa adalah raja ketiga Kerajaan Galuh. Ia menyadari bahwa dirinya lahir dari hubungan tidak sah, juga tidak berposisi kuat. Oleh karena itu, Ratu Shima memberikan cucunya sendiri yaitu Sanaha menjadi istri Sena. Pawiwahaan ini adalah pawiwahaan manu, karena Sena dan Sanaha merupakan saudara seayah. Dari pawiwahaan ini lahirlah seorang putera bernama Sanjaya.
Ya, Sanjaya yang terkenal itu. Hingga diabadikan namanya menjadi Dinasti Sanjaya.
Namun semuanya itu tidak cukup memadamkan dengki yang dimiliki Purbasora. Ia melakukan kudeta kepada Sena. Turut hadir pula sebagai pemimpin pasukan adalah Balagantrang, anak dari Jantaka, adik Sempakwaja. Sena kemudian kabur menuju Kalingga, berlindung di bawah Ratu Shima. Galuh pun takluk kepada Purbasora. Sena kemudian memilih sikap ikhlas. Ia tidak menginginkan tahta Galuh kembali. Berbeda dengan Sanjaya. Dendam menguasai dirinya. ia kemudian berpesan -- pesanan dengan Tarusbawa, Raja Sunda, untuk menyerang Purbasora.
Sanjaya bersama Tarusbawa kemudian menghimpun kekuatan dan menyerang Purbasora. Dengan berpasukan tiga puluh ribu, Purbasora berhasil dikalahkan sehingga kekuasaan Kerajaan Galuh kembali pada tangan pewaris yang sesungguhnya, Sanjaya. Sanjaya kemudian menikahi cucu Tarusbawa yang bernama Teja Kancana sehingga dirinya menjadi ahli waris Kerajaan Sunda. Sejak saat itu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh bersatu di bawah tangan Sanjaya. Tidak hanya itu, sebagai penerus darah dari Ratu Shima ia ditawarkan juga untuk berkuasa di Kerajaan Kalingga.
Luar biasa orang ini. Dalam usia yang muda sudah mendapatkan kekuasaan yang sangat amat besar.
Cerita tidak berakhir di situ. Sanjaya dididik ayahnya untuk menghormati para pembesar Galuh. Ia menghadap Sempakwaja untuk meminta maaf dan restu. Ia memberikan usul agar Demunawan, adik Purbasora diberikan kekuasaan sebagai bupati Saung Galah. Sempakwaja menolak. Ia menaruh curiga atas kedatangan Sanjaya. Olehnya, Sanjaya diberikan tantangan: kalahkan bupati -- bupati Kuningan, Kajaron, dan Kalanggara, lalu taklukanlah Jawa Tengah, barulah restu akan diberikan.
Sanjaya menerima tantangan itu. Dirinya sendiri memang haus akan pertempuran. Namun, akibat kurang persiapan dan meremehkan lawan, ia kalah melawan ketiganya. Akibatnya ia harus menerima keputusan Ki Sempakwaja yang kini sudah menjadi pertapa. Permintaannya adalah menempatkan Permanadikusumah, cucu dari Purbasora, sebagai pemimpin Galuh. Dengan berat hati, Sanjaya menerimanya. Sanjaya kini bermukim di Kalingga, sambil mempersiapkan pasukan menaklukkan daerah -- daerah tengah Jawa, sebuah tantangan lain dari Ki Sempakwaja.
Kekosongan di Kerajaan Sunda ia serahkan pada anaknya Rahyang Tamperan, buah hati dari pernikahannya dengan Teja Kancana, ahli waris Sunda. Ia pula diminta untuk mengawasi gerak -- gerik Permanadikusumah, dengan menjadi patih Galuh. Permanadikusumah melihat pengawasan yang dilakukan Rahyang Tamperan adalah sebuah tindakan ketidakpercayaan. Merasa tidak dihargai, ia kemudian memilih untuk pergi bertapa. Ia menitipkan Kerajaan Galuh kepada Rahyang Tamperan.
Sang pangeran yang memiliki sifat berbeda dengan ayahnya melihat kesempatan untuk menguasai dua kerajaan itu kembali. Ia terjebak dalam nafsu birahi bersama Dewi Pangrenyep, istri kedua Permanadikusumah, dan menghasilkan anak bernama Sang Banga atau lebih dikenal dengan nama Hariang Banga. Tidak ingin diketahui selingkuh oleh Permanadikusumah, Tamperan mengirim orang untuk menghabisi nyawa sang pertapa.
Sang pertapa tewas. Kerajaan Galuh kembali geger. Untuk menentramkan hati para pembesar, ia kemudian mengambil istri pertama Permanadikusumah, Naganingrum, sebagai istri yang sah. Manarah, anak pertama hasil hubungan Permanadikusumah dengan Naganingrum, diambilnya sebagai anak.
Balagantrang muncul kembali. Ia keluar dari persembunyiannya. Naganingrum sendiri adalah cucunya sehingga Balagantrang tidak terima dengan perlakuan Rahyang Tamperan. Sambil menyusun kekuatan, ia berhasil membujuk Manarah yang juga dikenal dengan nama Ciung Wanara untuk mengambil kembali tampuk kekuasaan. Secara diam -- diam, Balagantrang dan Manarah berhasil menyusun kekuatan. Pada sebuah pesta sabung ayam, mereka menghujam istana. Manarah berhasil menyekap Tamperan dan Dewi Pangrenyep. Keduanya berada di sel bawah tanah istana.
Manarah memilih berlaku lunak terhadap Hariang Banga, adik tirinya itu. Namun Hariang Banga hidup dalam keputusasaan. Pada suatu ketika, ia berhasil menghubungi kedua orang tuanya di sel bawah tanah, dan membebaskannya secara diam -- diam. Ketiganya kabur dalam kegelapan. Pasukan Galuh yang tersadarkan kemudian mengejar, termasuk Manarah sendiri.
Memahami bahwa ketiganya pasti terkejar, Hariang Banga mengorbankan diri. Di bawah kilauan bintang, ia berduel dengan Manarah. Namun ia bukan tandingannya. Ia kalah, tetapi tidak ditewaskan, karena diam -- diam Manarah menyayangi adiknya itu. Sebaliknya, Rahyang Tamperan dan Dewi Pangrenyep tewas bermandikan anak panah.
Sanjaya, yang saat itu telah berhasil menjadi raja di Mataram, marah besar. Ia bersama anaknya yang lain, Rakai Panangkaran yang saat ini menjadi wakil kekuasaannya di Kalingga, menyerbu ke arah barat dengan berpuluh ribu pasukan prajurit. Manarah menyambutnya. Pertempuran besar terjadi. Namun langit bersyukur pada saat itu karena pertumpahan darah satu ibu dapat dihentikan.
Demunawan yang saat itu berusia 93 tahun dan merupakan saudara kandung dari Purbasora, turun gunung dari pertapaannya. Ia memanggil Sanjaya dan Manarah untuk berunding di istana. Tindakan Demunawan ini terkenal ke seantero dwipantara, bahkan menjadi sebuah legenda. Ia menenangkan amarah Sanjaya.
Sanjaya sendiri pun tidak berminat untuk menetap di dataran barat Pulau Jawa, sehingga ia setuju dengan hasil perundingan: Hariang Banga menjadi raja di Sunda, sedangkan Manarah menjadi raja di Galuh. Hingga saat ini kedua orang itu masih ada di atas tahtanya, sudah berusia mendekati lima puluhan.
Ciung Wanara. Itulah julukan dari Manarah, sang Raja Galuh. Mpu Galuh berkata ciung artinya adalah burung sedangkan wanara adalah monyet. Burung monyet. Lucu sekali, berani -- beraninya kau menentang Sanjaya.
Pramodawardhani terus terlarut dalam pikirannya. Cerita ini rumit, namun menarik, sehingga ia hapal setiap kejadian beserta tokoh -- tokohnya. Dan ia yakin, kekuasaan yang berlandaskan dendam akan mudah tersulut api. Akan tiba saatnya kedua kerajaan ini kembali bertarung di medan perang.
Jika dipikir -- pikir, raja pertama Kerajaan Medang bukanlah ayahku. Orang pertama yang menyatukan kerajaan -- kerajaan kecil adalah Sanjaya. Ialah raja pertama Kerajaan Mataram. Hanya saja keturunan -- keturunannya tidak mewarisi bakat ayahnya, sehingga kerajaan -- kerajaan itu lepas kembali. Aku harap ayahku bisa memegang seluruh daerah Kerajaan Medang.
Kini pikirannya melayang memikirkan salah seorang pemilik nama Sanjaya: Rakai Pikatan. Ia mengenang waktu saat menyampaikan keinginannya dahulu kepada ayahnya. Samaratungga sebenarnya tidak takut kepada istrinya, tetapi setelah ia mengetahui bahwa Rakai Pikatan berasal dari keturunan Sanjaya, ia dengan cepat menyetujui sebagai mantunya. Relasi darah akan sangat berguna saat seseorang kesulitan, Pramodawardhani mengingat perkataan ayahnya saat itu.
Lalu dimana mereka sekarang? Baik Kerajaan Sunda maupun Galuh sama sekali tidak mengirimkan bantuan baik materi maupun prajurit ke tanah Prambanan. Alasan mereka adalah tidak ingin mencampuri urusan keluarga. Konyol. Aku memahami Rakai Pikatan adalah keturunan kesekian dari Sanjaya, namun tampaknya nyawa mereka lebih berharga dari hubungan darah.
Sudahlah, Pramodawardhani. Jangan siksa dirimu.
Berpikir mengenai dinasti, bukankah ada satu dinasti lagi, yaitu dinasti Sailen...
Lamunan Pramoda terhenti oleh langkah -- langkah di belakangnya. Dua orang mendekati Pramoda sambil berbincang -- bincang. Mereka adalah Rakai Pikatan dan seorang muda yang tidak dikenalnya. Ia mengenakan pakaian kulit dan berumuran sebaya dengan Rakai Pikatan dan Pramoda.
"Selamat pagi, tuan putri. Perkenalkan, ini adalah Bupati Bhargawanta. Galih Subrata."
Galih Subrata menghaturkan salam, "Selamat pagi, tuan putri, dharma Sang Buddha menyertaimu."
"Selamat pagi bupati, dharma Buddha besertamu juga. Kau beragama Buddha?"
Galih Subrata mengangguk dan membalas perkataan Pramoda, "Ya, aku beraliran Mahayana. Hamba hendak memohon ampun kepada nirwana pada saat ini, karena hamba sedang menatap kebaikan langit yang memberikan kecantikan begitu rupa pada seorang wanita. Hamba pun yakin tata krama tuan putri tidak jauh berbeda dengan penduduk kahyangan."
Pramodawardhani tersenyum sipu.
"Terima kasih atas pujian yang kau berikan. Aku harap kita dapat mengenal lebih jauh, tuan bupati."
"Panggil saja Galih, tuan putri."
"Kami baru saja kembali dari ruang pertemuan, Pramoda. Raja baru saja mengadakan pertemuan dengan para bupati. Kini mereka sedang beristirahat di bilik pribadi."
"Apa yang mereka bicarakan?"
Galih Subrata menjawab, "Raja setuju dengan pendapat kami para bupati untuk mengijinkan rakyat mengangkat tombak. Pada awalnya ia sangat sulit untuk dibujuk."
"Betul, tuan putri, ayahmu adalah contoh dari seorang yang memegang teguh prinsipnya. Keluhan tentang air mata dan beban berat yang harus ditanggung para gadis, anak -- anak, dan orang tua terus menerus keluar dari mulut raja. Hanya saja, teman baruku ini, pada akhirnya mampu meyakinkan ayahmu untuk bertarung bersama."
 Galih Subrata tersenyum. "Aku yakin dari awalnya pun ia sudah ingin melibatkan rakyat. Namun ia masih belum membulatkan hatinya. Dan jika takdir berkenan mempertemukan, hamba mendengar ada seorang putri lain yang kecantikannya serupa denganmu, Putri Pramodawardhani. Dimanakah ia berada?"
Pramoda sedikit tercekat mendengar pertanyaan Galih Subrata. Ia terlalu asyik dalam lamunannya sehingga ia tidak sadar bahwa adiknya telah menghilang. Ia mengeluh.
"Kau mengingatkanku pada tugas awalku. Seharusnya aku memperhatikan adikku. Ia tidak ada, tuan Galih. Nampaknya ia melarikan diri."
Rakai Pikatan menatap Pramoda, bertukar pandangan. "Jika aku tidak salah maka kau akan bisa menemukan Putri Tara di tempat permainan kertas bergambar, Galih Subrata. Apakah kau ingin menemuinya sekarang?"
Sebuah tawa hadir dari mulut Galih Subrata, "Sekali ini aku bertemu dengan pihak istana dan salah satu kebiasaannya adalah bermain judi." Ia bergegas mengendalikan sikapnya, "Hamba mohon maaf, tuan putri, adalah tidak seharusnya membicarakan adikmu dengan kurang sopan."
Pramoda menatap kolam. Ia terlihat sedih, "Tidak apa, tuan Galih." Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Kadang aku iri dengan adikku sendiri. Ia menikmati setiap waktu yang diberikan oleh Yang Maha Esa. Aku tidak bisa. Bayangan buruk selalu ada di kepalaku. Kehilangan orang -- orang yang kusayang tidak kuinginkan."
Kini baik Rakai Pikatan dan Galih Subrata ikut termenung. Sang bupati membuka mulutnya ingin berbicara, namun ia mengurungkan niatnya. Pada akhirnya Rakai Pikatanlah yang berbicara.
"Kau tidak hadir di ruang pertemuan. Jika kau hadir disana maka kau akan yakin kita pasti menang."
Kata -- kata penghibur yang buruk, Rakai Pikatan.
Galih Subrata menambahkan, "Kebajikan dan kebaikan selalu kita lakukan, tuan putri. Kaidah agama mengajarkan kita jika kita menuai apa yang kita tanam. Biar langit yang menentukan. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Satu hal yang pasti setelah peperangan usai, kita akan berada di tempat yang lebih baik, dan hamba akan bersyukur jika itu adalah nirwana."
Pramodawardhani menatap Galih Subrata. Secara tidak sadar air matanya mengalir. Rakai Pikatan merangkulnya. Kini isak tangis hadir dari wajah salah seorang pewaris negeri di tanah Prambanan. Salah seorang pewaris negeri lainnya memeluknya. Ketidakpastian masa depan membuat mereka berpegangan dengan erat.
Hari depan tidak dapat dipastikan. Apakah Yang Maha Esa bersama kami? Ataukah alam maut membuka pintunya tiga bulan lagi?
Hapus tangismu itu, Pramodawardhani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H