Kini baik Rakai Pikatan dan Galih Subrata ikut termenung. Sang bupati membuka mulutnya ingin berbicara, namun ia mengurungkan niatnya. Pada akhirnya Rakai Pikatanlah yang berbicara.
"Kau tidak hadir di ruang pertemuan. Jika kau hadir disana maka kau akan yakin kita pasti menang."
Kata -- kata penghibur yang buruk, Rakai Pikatan.
Galih Subrata menambahkan, "Kebajikan dan kebaikan selalu kita lakukan, tuan putri. Kaidah agama mengajarkan kita jika kita menuai apa yang kita tanam. Biar langit yang menentukan. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Satu hal yang pasti setelah peperangan usai, kita akan berada di tempat yang lebih baik, dan hamba akan bersyukur jika itu adalah nirwana."
Pramodawardhani menatap Galih Subrata. Secara tidak sadar air matanya mengalir. Rakai Pikatan merangkulnya. Kini isak tangis hadir dari wajah salah seorang pewaris negeri di tanah Prambanan. Salah seorang pewaris negeri lainnya memeluknya. Ketidakpastian masa depan membuat mereka berpegangan dengan erat.
Hari depan tidak dapat dipastikan. Apakah Yang Maha Esa bersama kami? Ataukah alam maut membuka pintunya tiga bulan lagi?
Hapus tangismu itu, Pramodawardhani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H