Kini pikirannya melayang memikirkan salah seorang pemilik nama Sanjaya: Rakai Pikatan. Ia mengenang waktu saat menyampaikan keinginannya dahulu kepada ayahnya. Samaratungga sebenarnya tidak takut kepada istrinya, tetapi setelah ia mengetahui bahwa Rakai Pikatan berasal dari keturunan Sanjaya, ia dengan cepat menyetujui sebagai mantunya. Relasi darah akan sangat berguna saat seseorang kesulitan, Pramodawardhani mengingat perkataan ayahnya saat itu.
Lalu dimana mereka sekarang? Baik Kerajaan Sunda maupun Galuh sama sekali tidak mengirimkan bantuan baik materi maupun prajurit ke tanah Prambanan. Alasan mereka adalah tidak ingin mencampuri urusan keluarga. Konyol. Aku memahami Rakai Pikatan adalah keturunan kesekian dari Sanjaya, namun tampaknya nyawa mereka lebih berharga dari hubungan darah.
Sudahlah, Pramodawardhani. Jangan siksa dirimu.
Berpikir mengenai dinasti, bukankah ada satu dinasti lagi, yaitu dinasti Sailen...
Lamunan Pramoda terhenti oleh langkah -- langkah di belakangnya. Dua orang mendekati Pramoda sambil berbincang -- bincang. Mereka adalah Rakai Pikatan dan seorang muda yang tidak dikenalnya. Ia mengenakan pakaian kulit dan berumuran sebaya dengan Rakai Pikatan dan Pramoda.
"Selamat pagi, tuan putri. Perkenalkan, ini adalah Bupati Bhargawanta. Galih Subrata."
Galih Subrata menghaturkan salam, "Selamat pagi, tuan putri, dharma Sang Buddha menyertaimu."
"Selamat pagi bupati, dharma Buddha besertamu juga. Kau beragama Buddha?"
Galih Subrata mengangguk dan membalas perkataan Pramoda, "Ya, aku beraliran Mahayana. Hamba hendak memohon ampun kepada nirwana pada saat ini, karena hamba sedang menatap kebaikan langit yang memberikan kecantikan begitu rupa pada seorang wanita. Hamba pun yakin tata krama tuan putri tidak jauh berbeda dengan penduduk kahyangan."
Pramodawardhani tersenyum sipu.
"Terima kasih atas pujian yang kau berikan. Aku harap kita dapat mengenal lebih jauh, tuan bupati."