"Siapa itu?" tanya Cornelis.
"Janciels, seorang petugas kebersihan kapal." jawab Keyser.
"Skorbut?"
"Ya, benar. Penyakit pembunuh. Bukankah kau pula terkena penyakit terkutuk itu? Minumlah yang banyak, kawanku."
"Sudah berapa banyak yang mati?"
"Tiga puluh dari 248 orang. Kukatakan sekali lagi, tiga puluh dari 248 orang, Houtman. Kita bahkan baru saja melewati Pulau Kenari, baru sebulan berangkat dari Amsterdam. Perjalanan menuju Timur membutuhkan waktu dua tahun. Kau tahu, Houtman? Jumlah kita akan habis sebelum kita mencapai pulau -- pulau timur yang terkutuk itu!"
"Diamlah, Keyser!"
"Oh, ya? Aku tidak akan berhenti bersuara. Dari awal memang perjalanan ini hanyalah sebuah ambisi tanpa perencanaan yang baik. Kumpulan pedagang -- pedagang itu hanya mengumpulkan uang, lalu mengantar kita ke neraka, tanpa memikirkan nasib awak kapal yang terombang -- ambing di atas kapal ini. Lihatlah ke sekeliling kita ini. Hanya biru, biru dan biru. Juga langit yang membakar. Tidak ada angin. Penyakit menyebar dengan cepat. Makanan mulai membusuk. Air bersih mulai habis."
"Diamlah, Keyser, dan kerjakanlah tugasmu sebagai navigator kapal ini! Lakukan saja itu!"
Keyser terdiam. Secara sarkas ia membungkuk dan mengucapkan salam, dan berjalan menjauh. Namun perkataan terakhir yang diucapkan oleh sang navigator mengganjal pemikiran sang petinggi dewan.
"Keyser! Apa maksudmu dengan makanan membusuk dan air bersih mulai habis? Bukankah kita baru saja menstok pasokan makanan di Pulau Kenari?"