Udayaditya mulai merasa akrab dengan Rakai Pikatan. Ia merasa Rakai Pikatan dapat mengimbangi ucapan -- ucapan sindiran dari dirinya. Selain itu mereka berdua adalah calon pewaris putra mahkota. Sama nasib, pikirnya.
Rakai Pikatan mengalihkan ke pokok pembicaraan lain, "Aku dengar kau tertarik dengan peran lakon. Peran lakon apa yang biasa engkau tampilkan?"
Kali ini Udayaditya bersemangat, "Tentu saja, kawan. Ramasinta dan Mahabharata adalah permainan populer di tanah Palembang, walaupun mayoritas penduduk beragama Buddha. Aku terbiasa berlatih dengan kelompokku. Tiga bulan sekali kami tampil di atas panggung, di depan khalayak umum."
Rakai Pikatan tersenyum, "Tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui kisah Mahabharata di tanah Medang ini. Akupun menyukainya. Katakanlah, siapa tokoh yang menjadi panutanmu?"
Lagi -- lagi ini. Pertanyaan ini berulang kali ditanyakan jika Mahabharata dibahas. Tidak adakah pertanyaan lain?
"Tentu saja Yudhistira, kawan. Putra sulung Pandawa yang mengajarkan kebajikan dan jalan kebenaran. Bagaimana denganmu?"
Rakai Pikatan menjawab seolah sudah menantikan pertanyaan ini, "Aku menyukai Destarata, teman."
Si Raja Buta. Nampaknya kawan baruku ini senang berfilosofi. Jawabannya diluar kebiasaan umum.
"Mengapa kau menyukainya? Mungkin dari semua orang yang kutanya hanya kau yang memberikan jawaban berbeda."
"Ia adalah tokoh kunci dalam Mahabharata. Seandainya ia bisa menahan kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya, perang dapat dicegah. Keteguhan hati seorang ayah diuji dengan sangat benar dalam kisah ini."
Udayaditya manggut -- manggut. Ia mulai membosankan.