Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pramodawardhani 1 [Novel Nusa ANtara]

13 Desember 2018   15:45 Diperbarui: 13 Desember 2018   15:51 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sore yang cerah di Kerajaan Medang.

Pramodawardhani menyebrangi halaman istana kerajaan menuju Taman Anyelir di sebelah timur istana utama. Langkah -- langkah ringan berderap mengikuti langkah sang tuan putri. Anak -- anak berumuran kira -- kira sepuluh tahun mengiringi Pramodawardhani dari belakang. Sesampainya di Taman Anyelir sang putri berhenti sekilas untuk mengagumi keindahan taman yang dihiasi berbagai bunga. Disebut Taman Anyelir, namun berbagai jenis bunga bermekaran di tanah yang dipetak -- petakkan secara sengaja. Bunga anggrek dan melati adalah contoh bunga yang menghiasi taman tersebut. Menambah keindahan, di tengah taman terdapat kolam ikan berukuran dua kali dari besarnya pintu gerbang kerajaan. Di tengah kolam terdapat jembatan kecil untuk menikmati ikan yang berenang -- renang ringan di dalam air dan kucuran air yang mengalir dari bukit Gunung Slamet.

Pramodawardhani melangkah menuju jembatan di tengah kolam ikan. Ia bisa melihat kolam dengan air jernih dan ikan -- ikan yang berkejaran satu dengan lain. Sungguh pemandangan yang indah. Anak -- anak yang mengikuti Pramoda sudah tidak terlihat lagi. Mungkin mereka bermain englek di halaman istana.

Pramodawardhani dikejutkan dengan sapaan dari belakang tubuhnya. Bersender pada tiang jembatan, kemudian ia membalikkan badannya untuk melihat sumber suara yang berada di seberang kolam. Tara.

"Menikmati keindahan kolam, atau bosan di istana, kakakku sayang?" ujar suara tersebut.

Putri Taradyahwardhani berumur sembilan belas tahun ini. Dinamakan serupa dengan nama ibunya, wajahnya berbentuk oval dan ayu, hampir dapat disamakan dengan kecantikan putri Pramodawardhani yang berusia tiga tahun di atasnya. Rambutnya tergerai panjang, dan kemolekan tubuhnya akan membuat mata pria terpana memandangnya. Kekurangan yang dimiliki Putri Taradyahwardhani ialah isi kepalanya, yang juga merupakan kelebihan dari Pramodawardhani.

Taradyahwardhani berlari kecil menuju jembatan di tengah kolam. Terlihat dari wajahnya bahwa ia baru saja mengalami kejadian yang menyenangkan. Anak ini habis berjudi lagi, pikir Pramodawardhani. Bau pasar Kliwon yng tercium dari aroma Tara menguatkan dugaannya.

"Sekarang beritahu aku, Tara, berapa banyak cetak perak yang kau menangkan di tempat judi konyol itu?" Pramoda membuka percakapan begitu Tara berada dalam jangkauan suaranya.

Sang tuan putri terkejut. "Wah, bukan sebuah ucapan yang diharapakan ketika seorang putri kerajaan bertemu dengan adiknya tersayang". Tara mengakhiri kalimat dengan senyuman lebar.

Senyuman yang dapat meluluhkan hati pria manapun. "Aku serius, dik, berapa cetak perak yang sudah kau menangkan di tempat kertas bergambar itu? Jika kau sudah mencapai halaman tertinggi beritahu aku." jawab Pramoda.

Permainan kertas bergambar adalah salah satu wahana judi di Pasar Kliwon. Pramoda pernah sekali mencobanya. Kertas berukuran panjang dan lebar satu jengkal terdiri dari empat set, masing -- masing set berjumlah sepuluh kertas,dan setiap set kertas ditandai dengan simbol -- simbol kerajaan tanah air dan angka. Pemain dapat memilih set kerajaan yang diinginkan. Hingga saat ini tersedia sepuluh set kerajaan, diantaranya Kerajaan Medang dengan gambar candi, Kerajaan Kediri dengan gambar manusia berkepala gajah, Kerajaan Sriwijaya dengan gambar kapal berlayar kuning, Kerajaan Sunda dengan gambar keris -- atau mereka menyebutnya kujang, sejauh Pramoda bisa mengingatnya, Kerajaan Kutai dengan gambar pedang bersayap, dan Kerajaan Khmer dengan gambar candi kecil, hampir menyerupai stupa. Putri Pramodawardhani tidak bisa mengingat beberapa kerajaan lainnya. Ia hanya bisa mengingat simbol kerajaan -- kerajaan tersebut, dua pulau, besar dan kecil, dan ayam jantan.

Tara melengos, "Aku mengerti, Kak. Aku memang tidak ada apa -- apanya dibanding para penjudi pintar itu. Coba menurut kakak, apakah halaman tiga cukup tinggi?" Tara mengakhiri kalimat itu dengan senyuman dan tatapan penuh harap.

"Segala sesuatu yang berawalan dengan kata judi tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik." jawab Pramoda.

"Baiklah, terserah kakak. Tapi aku tidak akan berhenti hingga mencapai halaman tertinggi. Aku akan mengalahkan sang legenda itu, Joko Kikir, yang sudah bertahan di tempat pertama sampai tiga bulan. Aku akan mengalahkannya. Titik."

Pramodawardhani pernah mendengarnya. Sang legenda. Pemegang rekor judi kertas bergambar di Pasar Kliwon dengan waktu berbulan -- bulan. Satu -- satunya saat dia lengser dari puncak adalah ketika ia menderita sakit kulit. Alasan yang konyol.

"Kak, aku ingin bertanya sesuatu. Ini serius, kak" muka Tara berubah menjadi serius. Taukah kau, dik, pada saat serius pun muka itu begitu cantik.

"Apa benar paman Balaputradewa akan datang ke tanah Jawa, kak?"

Pramoda sebenarnya tidak ingin membicarakan isu yang sedang berkembang. Namun, ia merasa harus menjelaskan. "Benar, dik, seminggu lagi Balaputradewa akan datang bersama pasukan pengawalnya untuk membawa pesan dari Raja Sriwijaya Rakai Warak, atau kakek kita, Samagrawira. Kita sedang menantikan rombongan kapal laut besar untuk berlabuh di Pelabuhan Kalingga di utara. Kita belum tahu apa yang akan disampaikan oleh paman kita yang gagah berani itu."

Belum sempat Pramodawardhani melanjutkan, sebuah suara menyela di tengah -- tengah percakapan.

"Segala sesuatu sudah dipersiapkan, Putri Tara, kalian tidak perlu khawatir."

Pramodawardhani menoleh ke sumber suara. Mpu Galuh berada di tepi jembatan yang membelah kolam utama. Berjalan pelan, ia melangkah menuju kedua tuan putri. Di belakangnya, dengan sedikit membungkuk adalah Anwarudin, penjaga taman sekaligus perawat dari berbagai jenis tanaman yang berada di Taman Anyelir. Berusia lima tahun di bawah Pramoda, ia berasal dari jalanan ketika raja dan Mpu Galuh mengenal bakatnya saat kontes bercocok tanam diadakan. Adiknya, Solehudin, sekarang menjadi penanggung jawab Kali Riak, tempat pemandian para penghuni istana.

"Mpu Galuh, sejak kapan kau bisa berada di sini? Kami tidak melihatmu." Pramoda masih sedikit terkejut kehadiran Mpu Galuh.

Mpu Galuh tidak langsung menjawab. Ia menatap Pramodawardhani, lalu beralih pada Putri Taradyahwardhani.

"Segala sesuatu sudah dipersiapkan, tuan putri," Mpu Galuh mengulang ucapannya, "namun lebih baik kita berharap kepada nirwana agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku yakin, dan sangat amat yakin, Balaputradewa tidak beritikad buruk. Oh, hamba kembali mengingat hari -- hari tua yang indah. Balaputradewa dan Rakai Garung benar -- benar pasangan yang serasi. Di saat satu orang memegang panah, yang lainnya mengarahkan. Orang -- orang menyebut Samaratungga Sang Panah, sedang Balaputradewa Sang Otak. Ya, bisa dibilang Balaputradewa memang memiliki kemampuan otak di atas rata -- rata."

Kini kedua putri Kerajaan Medang berada dalam posisi mendengarkan cerita dari seorang tetua yang dihormati di kerajaan.

"Pada suatu saat Samagrawira memerintahkan Balaputra dan Samaratungga untuk berunding dengan Ratu Sintawari ketika Kalingga masih belum menjadi bagian Kerajaan Medang. Ratu Sintawari adalah salah satu keturunan kesekian dari Ratu Shima yang terkenal dengan kegilaannya itu. Samagrawira tahu bahwa kekuatan pasukan kerajaan itu sedang melemah dan rakyatnya merana karena kelaparan. Balaputra dan Samaratungga bahkan masih berusia sangat muda ketika itu, belum mencapai dua dasa. Sepuluh orang prajurit bergelar pahlawan beserta seorang panglima menyertai mereka. Belum sampai Sungai Ular, yang merupakan perbatasan kerajaan, rombongan tersebut dihadang oleh selaksa pasukan Kalingga."

"Perundingan yang dilakukan oleh Balaputradewa tidak membuahkan hasil, mengingat rombongan Kalingga dipimpin langsung oleh Ratu Sintawari yang keras kepala. Pertarungan yang tidak dapat dihindarkan menghasilkan kematian dan luka serius di kedua belah pihak. Kerajaan Medang menyisakan Sang Panah dan Sang Otak serta sang panglima, sedangkan Ratu Sintawari mengalami luka serius dengan anak panah yang menembus pundak kanannya. Alhasil mereka pun mundur menuju tempat persinggahan masing -- masing. Berita buruk bagi Kalingga, sang ratu wafat sepuluh hari kemudian. Istana Kahulunan tunduk dan menyerahkan kuasa kerajaan pada Medang. Raja pun memberikan gelar Rakai bagai Samaratungga dan gelar kehormatan bagi Balaputradewa."

"Pada suatu kali, sebelum Kerajaan Medang ini terbentuk dan Prambanan belum menjadi kotaraja negara, seorang pemimpin dari Kerajaan Prambanan berkilah hendak menyampaikan suatu usul. Pusat kerajaan berada di dataran Kedu. Ia meminta untuk diundang ke pertemuan tertinggi raja yang berisikan para pembesar negeri, patih, panglima kerajaan dan ksatria- ksatria, dan para penasihat kerajaan. Di depan semua orang itu ia bersabda bahwa semua kerajaan -- kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Medang ini akan menyerang secara serentak pada bulan purnama berikutnya. Ia meminta Samagrawira beserta para kompatriotnya untuk angkat kaki dari tanah Jawa. Hal ini menjadi perhatian serius baginya dan para bawahannya. Jika kalian berada di sana saya amat yakin kalian sendiri akan meminta ayah kalian untuk segera pergi dari tempatnya. Kekuatan Kerajaan Medang belumlah sekuat sekarang, dan pasukan -- pasukan pedalaman lebih berpengalaman daripada pasukan pendatang dari tanah Sumatera."

"Hanya ada dua orang yang tidak setuju kepada keputusan akhir pertemuan tertinggi itu. Ya, mereka adalah Samaratungga dan Balaputradewa. Samaratungga meyakinkan bahwa mereka tidaklah selemah yang mereka kira, bahwa mereka bisa bertahan melawan orang -- orang suku pedalaman, berkaca dari invasi yang telah mereka lakukan terlebih dahulu. Saya pribadi takjub melihat semangat yang dikobarkan oleh ayah kalian. Ia memang petarung dan pejuang sejati. Namun yang menarik adalah kesimpulan yang diberikan oleh Balaputradewa. Hal inilah yang membuat seluruh anggota pembesar kerajaan yakin mereka tidak perlu angkat kaki dari tanah Jawa."

Tara terlihat penasaran, "Apa yang ia katakan, paman?"

Mpu Galuh tersenyum. Kumis putih di atas bibirnya melambai pelan tertiup angin tanda kebijaksanaan.

"Balaputradewa mengeluarkan sebuah peta. Saat itu pusat kerajaan masih berada di dataran Kedu. Ia mengulang ucapan sang pemimpin Prambanan, "Kerajaan -- kerajaan sekitaran kalian akan menghimpun kekuatan, dan menyerang penuh pada bulan purnama berikutnya." Ia meminta kita untuk memerhatikan peta ini. Melihat peta itu bahkan Rakai Warak pun mengerti apa yang hendak dimaksud oleh Balaputradewa. Kerajaan sekitaran yang dimaksud oleh pemimpin Prambanan hanyalah sekumpulan kerajaan lemah di bagian tenggara dataran Kedu. Kerajaan Dataran Merapi baru saja menyerah pada Medang, sehingga yang tersisa hanyalah Kerajaan Prambanan, Wanagiri, dan Kalasan. Bahkan jika Kalingga yang baru saja menyerah hendak berkhianat pun akan sangat sulit, mereka harus melewati dataran Kedu untuk menyampaikan informasi makar."

"Penjelasan Balaputradewa diakhiri dengan tawa keras oleh kakaknya dan hembusan napas lega oleh para pembesar negeri, termasuk Samagrawira sendiri. Ia mengakui bahwa pikirannya sedang kalut akibat serangan -- serangan yang ia pimpin akir -- akhir ini, dan melupakan fakta sederhana bahwa seluruh dataran tengah Jawa telah hampir selesai dipersatukan. Balaputradewa meyakinkan bahwa ancaman itu hanyalah lolongan serigala belaka, gertak batu gunung yang tidak akan terjadi. Pada bulan purnama berikutnya, tidak ada prajurit kerajaan yang bersiaga, dan tidak ada serangan yang terjadi pada Kerajaan Medang. Bahkan Samagrawira beserta kedua anaknya minum -- minum di anjungan istana sambil memandangi bulan purnama yang indah."

Pramodawardhani tergelitik untuk menimpali, "Jika memang hubungan mereka begitu dekat, lalu mengapa kalian semua, para pejabat kerajaan, terlihat panik ketika utusan Sriwijaya itu datang dengan pesan dari Rakai Warak? Coba tolong jelaskan, Mpu Galuh."

"Berjaga -- jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda," jawab Mpu Galuh.

"Kerajaan Medang telah berdiri menjadi kerajaan sendiri, diresmikan beberapa bulan ketika Samagrawira dan Balaputradewa kembali ke tanah Sumatera, dan kini mereka datang dengan utusan tertinggi mereka, yaitu paman kalian. Aku tidak ingin berprasangka buruk, namun kalian sendiri tahu bahwa sejak Samagrawira menjadi Raja Sriwijaya menggantikan Dharanindra, perluasan kerajaan mereka berkembang dengan pesat. Namun aku masih yakin bahwa kedatangan Balaputadewa bisa jadi hanya ingin bertemu rindu dengan kakaknya dan mengenang jaman dahulu kala ketika mereka masih bersama."

Pramodawardhani sedikit lega. Mpu Galuh adalah orang yang telah menghabiskan waktu bersama ketiga orang penting itu di kerajaan. Mendengar ceritanya ia yakin bahwa Balaputradewa dan Samaratungga memiliki hubungan darah yang sangat kuat. Jika Kerajaan Sriwijaya hendak membunuh kerajaan ini, mengapa mereka tidak lakukan sejak dahulu?

Lembayung sore menyambut akhir cerita Mpu Galuh. Yang dituakan inipun memohon diri untuk beristirahat bersama pembantunya, meninggalkan Pramoda serta Tara di Taman Anyelir. Sebelum memohon diri, Anwarudin sempat berpesan bahwa pemandian air panas di Kali Riak telah disiapkan untuk mereka berdua. Pramodawardhani mengangguk. Ia menggenggam tangan adiknya dan berjalan menuju pintu Taman Anyelir.

"Kak, apakah kau pernah bertemu dengan paman Balaputradewa?"

Pertanyaan Tara sedikit mengagetkan Pramodawardhani. "Tidak pernah, dik, kakak lahir setelah paman dan kakek pergi ke tanah Sumatera."

Tara terdiam. Pramodawardhani menebak isi pikirannya. Bagaimana mungkin disebut keluarga jika tidak pernah bertemu dengan paman ataupun kakeknya? Terlalu sibuk? Apa arti hubungan keluarga bagi mereka? Apakah Kerajaan Sriwijaya terlalu besar sehingga melupakan Kerajaan Medang yang tidak jelas nasibnya di masa depan?

"Sudah, tidak perlu dipikirkan, dik. Lihatlah sekelilingmu. Kebutuhan kita selalu dipenuhi. Ayah dan ibu yang menyayangi kita. Terlebih dari itu, rakyat Medang mengasihi kita. Kau lupa apa gelarku?" Pramodawardhani tersenyum, sembari mengeluarkan teka -- teki.

Wajah Tara kembali ceria. "Sri Kahulunan!" ia berseru dengan kencang dan memeluk sang kakak. "Benar dik, Sri Kahulunan, sang pelindung rakyat."

Pramodawardhani dan Tara berjalan menuju Kali Riak. Di tepi bibir kolam pemandian air panas, pikiran -- pikiran itu kemudian kembali menggeliat di kepalanya.

Sri Kahulunan. Sang pelindung rakyat. Aku akan tetap berada di sini. Untukmu, adikku, dan juga untuk semua rakyatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun