Siapa yang tidak kenal Wae Rebo? Kampung tradisional yang kerap disebut "negeri di atas awan" ini telah mencuri begitu banyak perhatian publik dan menjadi destinasi yang dipertimbangkan.
Terletak di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut, kampung unik ini berada di Desa Satar Lenda Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai NTT.
Keunikannya terpancar dari arsitektur Mbaru Niang yang menjadi salah satu alasan mengapa desa terpencil ini diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia.
Sambal cabe rawit dan sayur labu
Mengunjungi Wae Rebo adalah bagian dari perjalanan panjang saya melintasi Flores yang cantik. Informasi tentang Wae Rebo, justru didapat dari seorang teman saya dari New Zealand, padahal saya lahir di Manggarai! Cerita tentang Wae Rebo hanya dapat dinikmati melalui internet, sampai akhirnya saya punya kesempatan untuk melihat sendiri tempat ini.
Saya menginap di sebuah penginapan sederhana milik om Blasius di Dintor, persis di pinggir laut. Aroma laut dan deburan keras pantai laut selatan bagai alunan musik penenang jiwa menemani sesi minum kopi di sore hari.
Menu makan malam yang disajikan oleh Om Blasius malam itu adalah ayam kampung yang dibakar dan sayur labu rebus, serta sambal cabe rawit dengan irisan bawang merah yang ditaburi perasan jeruk nipis. Sajian penutup malam yang luar biasa nikmatnya.
Dua jam pendakian yang luar biasa
Jam enam keesokan harinya kami sudah meluncur di atas jalanan yang tidak mulus menuju Desa Denge, desa terdekat menuju jalur pendakian ke Wae Rebo.
Kami melewati beberapa homestay yang disewakan dengan harga terjangkau. Dari jauh terlihat banyak mobil diparkir di area homestay, menandakan sedang ramai pengunjung.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di titik awal pendakian. Motor diparkir di area parkir, dekat dengan sungai jernih yang melintas di bawah kaki gunung. Di area tersebut terdapat papan informasi tentang Wae Rebo dan anjuran untuk tetap menjaga alam selama pendakian.
Menuju Wae Rebo ada tiga pos istirahat. Pos pertama adalah Wae Lomba, sebagai titik awal keberangkatan. Pos kedua Poco Roko dan pos terakhir Nampe Bakok, sebelum memasuki kampung Wae Rebo.
Kami bergerak perlahan, diantara jalanan yang basah karena embun namun tidak begitu licin. Tidak banyak barang yang dibawa, karena tidak ada rencana menginap di sana. Hanya air mineral dan camilan, itupun terasa berat karena jalanan terus mendaki.
Beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan tamu yang turun dari Wae Rebo, saling memberi semangat dan menguatkan. Tidak jarang kami beriringan dengan penduduk lokal yang kembali ke kampung sambil memikul beban barang di pundak mereka.
Butuh stamina yang bagus serta ekstra hati-hati untuk bisa mencapai puncak. Selain karena jalanan cukup licin, juga karena sisi sebelahnya adalah jurang yang dalam.
Beberapa kali Saya harus berhenti karena kelelahan. Dua jam perjalanan menanjak sebelum akhirnya menurun menuju perkampungan, cukup menguras energi. Apalagi karena kondisi tubuh yang kurang istirahat setelah menempuh perjalanan jauh dari Maumere, Kabupaten Sikka.
Ngkiong, burung endemik bersuara nyaring
Menapaki setiap jalan menuju perkampungan, kadang terasa seperti berada di dunia yang lain. Sesekali kabut tipis menemani. Hutan lindung Todo ini menawarkan atmosfer kesegaran tersendiri.
Terdengar aneka suara kicauan burung, namun ada suara yang lebih dominan. Ya, itulah kicauan Kancilan Flores atau Pachycephala nudigula. Masyarakat lokal menyebutnya Kaka ngkiong atau Ngkiong. Suaranya yang nyaring dapat terdengar hingga beberapa kilometer, apalagi bila burung ini berada di ketinggian.
Suara kaka ngkiong ini bak musik yang tiada henti. Burung ini mampu berkicau dalam durasi yang panjang hingga sepuluh menit, dan mengeluarkan lebih dari lima karakter dalam setiap kicauannya!
Orang Manggarai, termasuk masyarakat lokal di Wae Rebo mempercayai bahwa setiap makhluk di alam, termasuk burung, memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekologi dan spiritual.
Terdengarnya suara Kaka Ngkiong sebagai pertanda alam yang membawa pesan dari leluhur untuk tetap menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam di sekitar.
Mbaru Niang dan arsitektur tradisional yang unik
Hal pertama yang dilakukan ketika tiba di perkampungan Wae Rebo adalah menuju rumah utama, Mbaru Tembong atau Niang Gendang. Niang Gendang dikelilingi oleh enam Niang Gena, yaitu Gena Mandok, Gena Jekong, Gena Ndorom, Gena Keto, Gena Jintam dan Niang Gena Maro.
Tetua adat di sana menjalankan ritual Wae lu’u, agar para leluhur menjaga setiap tamu yang datang ke sana. “Kudut neka babang agu bentang” kira-kira demikian dalam Bahasa Manggarai.
Menariknya, Mbaru Niang selain memiliki ikatan yang seluruhnya terbuat dari bahan alam, juga memiliki arsitektur yang unik. Bentuknya menyerupai kerucut dengan lima tingkatan.
Tingkat pertama adalah lutur (tenda) digunakan sebagai tempat tinggal keluarga besar. Pada area ini dibagi menjadi dua bagian utama, lutur dan nolang. Lutur adalah area untuk publik, dan nolang adalah area bersifat privasi (untuk kamar dan memasak).
Tingkat kedua adalah lobo (loteng) untuk menyimpan barang dan makanan milik keluarga. Lentar atau tempat menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam, berada pada tingkatan ketiga. Lempa rae adalah tingkat keempat, tempat keluarga menyimpan persediaan makanan terutama untuk mengantisipasi cuaca yang buruk.
Tingkatan kelima disebut Hekang Kode, biasa digunakan untuk menempatkan persembahan pada leluhur. Tempat ini dianggap paling suci oleh warga setempat.
Mbaru (rumah) Niang memiliki diameter berbeda. Niang Gendang berdiameter 14 meter dan tinggi 14 meter, sedangkan Niang Gena memiliki diameter 11 meter dan tinggi 11 meter.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan Mbaru Niang ini semuanya berbahan lokal. Bambu sebagai kerangka, alang-alang dan ijuk sebagai penutup atap dan juga kayu worok sebagai tiang utama, semuanya berasal dari hutan di Wae Rebo.
Menyesap kopi diantara kabut
Rasanya kurang afdol bila tidak mencoba merasakan sensasi minum kopi di Wae Rebo. Kopi yang diproses secara tradisional oleh masyarakat setempat sangat tepat disajikan di tengah suasana yang berkabut.
Kopi menjadi komoditas utama di Wae Rebo. Tidak mengherankan, sepanjang jalan menuju perkampungan, deretan kebun kopi dengan buah yang sarat berjejer sepanjang jalan. Varietas kopi di sana, pada umumnya adalah robusta maupun arabika.
Saya akhirnya menyesap secangkir kopi yang dihidangkan terpisah dengan gula, menghangatkan badan diantara kabut yang mulai turun di siang itu. Ah, memang cuaca disana sering tak terduga. Tapi rasa nikmat kopi tetap tertinggal di dalam dada.
Kupang, 16 September 2024
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H