Siapa sangka bahwa lintas ruang dan waktu dapat dibuktikan dengan pahatan sejarah yang menjadi saksi bisu? Jejak masa lalu yang terpahat dalam Al-Quran kulit kayu, menjadi lorong yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang.
Perjalanan kali ini, saya akan mengajak Anda untuk merentasi waktu, menyaksikan sejarah sekaligus wisata religi di lokasi Al-Quran Tua di Pulau Alor. Pun, tentang perjalanan melintasi alam, menikmati deburan ombak di Pantai Tongke Lima, dan mendaki puncak Bukit Hulnani di Alor.Â
Menjelajahi warisan Al-Quran Tua nan semerbak
Memanfaatkan waktu yang terbatas di Alor, benar-benar saya lakukan. Waktu menunjukkan pukul 14.30 WITA ketika akhirnya saya meluncur di jalanan menuju arah barat Pulau Alor.Â
Destinasi pertama yang ingin dikunjungi adalah Situs Al-Quran Tua. Situs ini terletak di Desa Alor Besar Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor. Butuh waktu 30 menit dari pusat kota menuju situs ini. Jalanan menuju lokasi situs sangat mulus.Â
Bangunan Masjid Jami Babussholah menyambut kedatangan kami. Masjid ini adalah masjid yang pertama dibangun di Alor, namun sudah mengalami beberapa kali renovasi.Â
Situs Al-Quran tua berada persis di sebelah masjid. Pada bagian depan, terdapat sebuah poster yang cukup besar, memuat aturan bagi para pengunjung di rumah situs Al-Quran kulit kayu.
Anak-anak usia di bawah usia lima tahun, ataupun pengunjung yang sedang sakit atau mabuk, tidak diperkenankan untuk masuk dalam situs ini.Â
Pengunjung yang masuk ke dalam rumah harus dalam keadaan bersih, dan bagi perempuan tidak sedang dalam kondisi haid atau menstruasi.
Suara adzan terdengar dari masjid. Pak Nurdin Gogo, mohon ijin untuk melakukan sholat asar sebelum menemui kami. Pak Nurdin adalah keturunan ke 14 dari lang Gogo sebagai penjaga Al-Quran.Â
Pada dinding rumah, terpasang gambar Sultan Mudaffar Sjah atau dikenal dengan Sultan Muda Pasjah, salah satu sultan di Ternate yang memiliki kedekatan secara khusus dengan sejarah Al Quran kulit kayu yang ada di Pulau Alor.Â
Setelah selesai sholat, Pak Nurdin menemui kami. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, Pak Nurdin kemudian masuk kembali ke dalam kamar dimana dirinya melaksanakan sholat. Tidak lama kemudian, kembali ke ruang tamu sambil memegang sebuah kotak kayu di tangannya.
Sebuah Al-Quran dari kulit kayu yang baru pertama kali dilihat seumur hidup saya, dikeluarkan dari dalam kotak dan diletakkan di atas tempat khusus. Aroma semerbak yang lembut menyeruak dalam ruangan.Â
Belum pernah saya melihat hal seindah itu. Saya tidak berani menyentuhnya. Tulisan indah berwarna hitam dan merah, tertuang indah di atas lembaran papirus yang entah berapa banyak jumlahnya. Saya sungguh merasa takjub dan luar biasa. Tuhan Maha Besar.
Al-Quran ini memiliki panjang 32 cm, lebar 21 cm. Kotak penyimpanan Al-Quran berukuran tinggi 27,5 cm, lebar 37 cm dan ketebalan 7,5 cm
Pak Nurdin kemudian mengisahkan tentang sejarah perjalanan Al-Quran yang diperkirakan berusia hampir seribu tahun, bahkan lebih. Ketika kebakaran terjadi pada tahun 1979, Al-Quran yang berisi 30 juz, 114 surat dan lebih dari 6000 ayat ini tetap utuh hingga sekarang.
Belum puas rasanya mendengarkan kisah yang dituturkan Pak Nurdin, tentang toleransi di atas tanah yang memiliki Al-Quran kulit kayu tua ini. Namun, tiga iringan kendaraan telah berhenti di belakang masjid. Pertanda kami harus bergegas keluar dari sana dan memberikan kesempatan kepada pengunjung berikutnya.
Menghirup semilir angin di Pantai Tongke Lima
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Pantai Tongke Lima. Namun sebelumnya kami mampir sebentar di lokasi Kelompok Tenun Ikat Gunung Mako, tidak jauh dari situs Al-Quran tua.Â
Tidak banyak koleksi yang dipajang di sana, mungkin telah terjual. Saya tidak punya banyak pilihan. Tenun dengan warna dasar pink dan biru dengan motif gajah akhirnya berpindah ke tangan saya. Â
Sebenarnya deretan tenunan akan mudah didapat saat bertepatan dengan hari pasar, yaitu hari Jumat. Penduduk di Alor Besar maupun dari Pulau Ternate Alor, akan menjual tenunan mereka pada hari pasar tersebut.
Destinasi berikutnya adalah pantai indah di Desa Aimoli, masih di Kecamatan Alor Barat Laut. Pantai Tongke Lima. Perjalanan menuju Pantai Tongke Lima tidak semuanya mulus. Pada beberapa titik, jalanan rusak, ini menyebabkan perjalanan menggunakan kendaraan roda dua jadi tidak  nyaman.Â
Kami tiba di lokasi Pantai Tongke Lima, dua puluh menit kemudian. Deburan ombak yang lembut bersembunyi dibalik deretan pohon kelapa yang menyambut kedatangan kami. Sekilas, mirip seperti Pantai Walakiri di Sumba Timur.
Deretan pohon bakau (Rhizopora mucronata) menjadi ciri khas tempat ini. Dinamakan Tongke Lima karena lima pohon bakau yang berdiri sejajar, mencoba menangkap bayangan senja.Â
Memang, bukan saat yang tepat untuk mendapatkan gambar siluet indah di sana. Matahari masih lumayan tinggi, belum turun ke garis bumi, namun jepretan yang didapat di sana bisa melukiskan kecantikan saat matahari benar-benar telah menyatu di garis horizon bumi.
Menaklukkan ketinggian mistis di Bukit Hulnani
Tidak ingin ketinggalan sunset indah dari ketinggian, perjalanan diarahkan ke puncak Hulnani. Puncak Hulnani pernah menjadi titik pusat festival paralayang beberapa waktu lalu.
Menuju ke puncak, butuh energi ekstra dan nyali yang cukup kuat. Motor trail yang kami tumpangi menderu, berlomba dengan waktu, naik perlahan menuju ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. Melewati perkebunan jati dan juga deretan jambu mete.Â
Kami memburu sunset yang sedikit lagi akan benar-benar tenggelam. Perjalanan menuju puncak butuh waktu 30 menit. Harus berhati-hati karena jalanan terus menanjak dan tidak mulus.Â
Akhirnya kami tiba juga di Puncak Hulnani. Angin cukup kencang di sana. Terdapat beberapa spot foto dengan latar belakang sunset dan Pulau Ternate-Alor, sebagai latar belakangnya.Â
Harus hati-hati melangkah dan berdiri di atas papan berbentuk hati yang disiapkan. Lokasinya di lereng tebing cukup menguji nyali. Papan hanya ditopang dengan struktur kayu sebagai pengikatnya.Â
Antrian untuk mendapatkan spot yang bagus tidak bisa dihindari. Kedatangan kami bersamaan dengan rombongan alumni ITB tahun 1978 Â yang ingin mengelilingi NTT bersama sahabat mereka.Â
Sunset sudah hampir benar-benar pergi, kembali ke peraduannya. Saya tidak ingin ketinggalan momen indah di sana. Jepretan di sini hanya meninggalkan siluet indah. Tidak mengapa, asalkan sudah berhasil menjejakkan kaki di puncak yang terasa mistis, namun tidak menyembunyikan keindahannya.
Bukankah alam semesta selalu menyimpan misteri?
Ada keajaiban yang tak terhingga,
dan hikmah tersembunyi merayap dari setiap sudutnya...
Kupang, 11 Agustus 2023
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H