Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ini Alasan Kenapa Kami Tidak Mempekerjakan ART

26 November 2021   08:08 Diperbarui: 28 November 2021   09:00 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menelpon (Gambar gratis Pixabay)

Memiliki seorang asisten rumah tangga (ART) yang melayani dengan sepenuh hati adalah harapan bagi setiap orang yang membutuhkan bantuan mereka. Banyak yang mendapatkan ART sesuai impian, namun tidak sedikit yang merasa kecewa bahkan trauma dengan keberadaan ART. 

Kami memiliki banyak pengalaman dengan kehadiran ART di tengah kehidupan kami. Beberapa tahun lalu, saat anak-anak masih kecil, kami juga mempekerjakan ART. 

Mengurus tiga orang anak dengan kebutuhan mereka masing-masing dan juga kesibukan kami berdua membuat banyak pekerjaan rumah tangga tertunda.  

Seberapa besar pun usaha yang dilakukan untuk membagi waktu antara urusan pekerjaan, bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, memasak, membantu anak mengerjakan PR,  tetap saja kewalahan.  

Tidak urung, meskipun badan terasa lelah, sinar mata kurang dari 5 watt, harus tetap bertahan untuk membereskan pekerjaan yang belum tuntas. Mata panda pun tak terelakkan, karena kurang istirahat. 

Akhirnya, setelah berdiskusi cukup panjang dan menghitung kondisi keuangan yang ada, jadilah kami memutuskan untuk mencari ART.  Dalam waktu sekian tahun, ART selalu gonta ganti.   

Ada yang cocok, cukup lama bekerja hingga tiga tahun, ada yang hitungan bulan, bahkan ada yang hanya seminggu, menghilang bersama barang-barang yang mudah dibawa. Alamak!

Mengorbankan perasaan agar ART betah bekerja

Pada awal ART bekerja, nampaknya semua berjalan lancar. Pekerjaan beres, anak-anak senang, hidup majikan pun tenang. Mungkin ini dilakukan untuk memberi kesan yang baik bagi pemilik rumah. Tidak mengapa, yang penting semua berjalan lancar.

Seiring waktu berjalan, keadaan ini mulai sedikit berisik. Mengganggu ketenangan, ketika  anak-anak mulai melaporkan tentang ketidakberesan yang terjadi, misalnya mereka sering dimarahi ART atau dicubit.

Pada awalnya tidak ditanggapi, kami menganggap itu ulah anak-anak yang kesal atau karena mereka bandel.  Ketika ditanyakan, alasan ART adalah anak-anak nakal, bla bla bla... Sesederhana itu.  

Karena masih butuh tenaga ART, terpaksa mengurut dada, bahkan  menyimpan kedongkolan dalam hati. Akhirnya hanya mengingatkan agar sabar menghadapi anak-anak. Anak-anak juga diberi nasehat agar patuh dan tidak membandel. 

Namun, ketika frekuensi laporan anak-anak semakin sering dan ada indikasi kekerasan pada anak, misalnya lengan mereka lebam atau ada bekas goresan kuku, hal ini tidak dapat ditolerir lagi. Terpaksa diberhentikan. 

Anak-anak menjadi tidak mandiri

Pengalaman lainnya saat memiliki ART adalah anak-anak yang tadinya sudah memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing pura-pura lupa dengan tugas mereka. Banyak alasan yang dibuat sehingga mereka bebas dari tugas dan tanggungjawab. 

Sejak SD, anak-anak memang telah diajarkan untuk mengurus diri mereka sendiri. Jadwal pembagian kerja tertulis jelas. Hari ini si sulung mengerjakan apa, anak tengah membereskan yang mana dan si bungsu melakukan apa.

Jadi, saat ada ART di rumah, mereka bertiga benar-benar merasa merdeka. Lagipula sang ART melarang mereka masuk dapur karena sempit dan membuat pekerjaannya bertambah, katanya. 

Tidak ada penyalur ART yang resmi

Mendapatkan seorang ART, tidak selalu mudah saat sekarang. Butuh koneksi yang luas dengan teman, temannya teman, tetangga, saudara jauh maupun saudara dekat. Tidak ada jasa penyalur yang resmi. 

Untuk ini biasanya kami meminta salinan KTP dan nomor kontak keluarganya. Untuk urusan nomor kontak  keluarga ini kami seringkali dibohongi juga. Hadeuh!

Hal ini membuat kesulitan saat ART berulah, tidak bisa komplain. Hanya bisa pasrah. Menerima kondisi yang ada dengan lapang dada. 

Menimbulkan ketidaknyamanan

Meskipun pada awal masuk kerja, ART telah mendapatkan informasi tentang hal-hal apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, tetap saja ada diantara mereka yang melanggar aturan tidak tertulis tersebut. 

Pelanggaran terhadap aturan tak tertulis tersebut, sering meyebabkan ketidaknyamanan. Beberapa aktivitas ini  sering dilakukan oleh ART kami sehingga membuat tidak nyaman.

Ilustrasi menelpon (Gambar gratis Pixabay)
Ilustrasi menelpon (Gambar gratis Pixabay)
  • Menelpon pacar atau temannya hingga berjam-jam
     
    Kegiatan ini dianggap mengganggu karena menelpon pada saat yang tidak tepat. Sambil menyetrika, atau sambil masak. Bisa dibayangkan waktu yang seharusnya hanya butuh sejam untuk menyetrika, melebar hingga dua tiga jam. Tagihan listrik membengkak setiap bulannya.
    Belum lagi ngobrol sambil memotong  bahan makanan yang akan dimasak. Terciprat percikan ludah, sudah pasti.

  • Bergosip dengan tetangga
     
    Buat tetangga yang sangat ingin tahu urusan dalam negeri tetangga sebelah, ART adalah jalan tol untuk mendapatkan informasi itu. Ibarat menemukan tempat terbaik untuk curhat, dengan polosnya sang ART bercerita tentang segala hal.
    Seakan sebuah  layar film, semua akan terpampang nyata. Sang suami yang dimarahi nyonya rumah, sampai urusan tumis kangkung dan teri tomat, satu gang bakalan tahu semua.

  • Membawa pacar ke rumah saat tidak ada orang

    Ini adalah hal paling buruk yang pernah  dilakukan oleh ART kami saat semua penghuni rumah keluar untuk bekerja atau bersekolah saat itu.  Janji temu dibuat sedemikian rupa sehingga suasana aman saat pacarnya datang.
     
    Beberapa kali memang pernah diingatkan oleh tetangga bahwa ada orang lain, laki-laki,  datang ke rumah dan durasinya cukup lama. Namun tidak kami gubris, sampai suatu ketika suami menyaksikannya sendiri.
     

  • Sering pulang ke rumah keluarga dengan alasan beraneka ragam

    Selama bekerja, ART diberikan kebebasan untuk pulang ke rumah keluarganya.  Sekali sebulan biasanya, atau sesuai kesepakatan di awal kerja. Dalam pelaksanaanya, ada saja alasan yang dibuat untuk bisa keluar rumah. Dari yang masuk akal sampai alasan diluar nalar.

    Alasan keluarga meninggal pun sering menjadi alasan utama, sehingga ART bisa pulang. Hari ini om di kampung meninggal, seminggu kemudian tantenya. Bulan depannya lagi om yang ada di kota. Oalahhh! Herannya, tidak pernah ada yang memberikan alasan orangtua kandungnya yang meninggal. Tepok jidat. 

Karena sering ditinggal pergi oleh ART dengan alasan yang tidak mengenakkan hati, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mempekerjakan ART lagi. Anak-anak juga sudah dewasa dan mereka mampu mengelola diri mereka sendiri.
Tidak perlu ART, tidak perlu menahan emosi hingga tensi. 

Lepaskan semua hal yang membebani hidup agar hidupmu lebih berkembang   (theodolfi)

Kupang, 26 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun