Mohon tunggu...
niqi carrera
niqi carrera Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sebagai ibu, ikut prihatin dan resah dengan kondisi sekitar yang kadang memberi kabar tidak baik. Dengan tulisan sekedar memberi sumbangsih opini dan solusi bangsa ini agar lebih baik ke depan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dompet Makin Tipis, Nasib Driver Ojol Kian Miris

5 April 2023   23:45 Diperbarui: 5 April 2023   23:56 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riset menunjukkan pendapatan yang diterima oleh driver ojek online kini pas-pasan. Padahal tarif ojol telah dinaikkan sejak adanya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 tahun 2022. Bahkan jika disuruh memilih, mereka lebih senang menjadi pekerja kantoran dengan gaji yang pasti.

Berdasarkan hasil riset Muhammad Yorga Permana, Mahasiswa Doktoral London School of Economic mengatakan bahwa dua pertiga dari driver ojol akan memilih pekerjaan tradisional daripada profesi pengemudi ojek online.

Terdapat tiga hal yang mendorong driver ojol ingin berganti profesi, yaitu terkait dengan janji pendapatan yang dinilai tidak sesuai, jumlah pesaing sesame driver ojol yang tumbuh pesat hingga guncangan ekonomi dampak pandemi lalu.

Harapan mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi driver ojol pun pupus seketika saat pihak Kemenaker menjelaskan hubungan kemitraan tidak mempunyai hak untuk menerima THR keagamaan.

 

Mengapa nasib driver ojol semakin miris?

Status driver ojek online yang diposisikan sebagai mitra sering dipermasalahkan. Sebab status mitra tidak diatur dalam undang-undang sebagaimana pekerja pada umumnya pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Ketika tidak ada hukum yang mengatur tentang status mitra, maka akan dianggap sebagai profesi 'ilegal'. Maka soal kesejahteraan dan perlindungan para mitra juga tidak ada regulasi yang mengatur dan memberi sanksi jika ada pelanggaran dari pihak aplikator.

Bahkan dengan statusnya yang ilegal, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono, sangat rentan adanya eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan (tempo.co, 5 April 2023).

Wacana perubahan status mitra menjadi pegawai sebenarnya sudah pernah dibahas ketika merancang regulasi tentang taksi online pada tahun 2017, namun dicabut oleh Mahkamah Agung.

Selanjutnya dibahas kembali saat Kemenhub melakukan pengkajian Permenhub Nomor 118 tahun 2018, namun tetap menemui jalan buntu.

Pada tahun 2019, Rudiantara, mantan Menteri Kominfo mengatakan bahwa status driver online bisa tergantung model bisnis dan ekosistem yang digunakan pada layanan.

Hingga kini, Grab dan Gojek tetap menyatakan model bisnisnya tidak sama dengan moda transportasi umum, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai perusahaan transportasi, namun perusahaan aplikasi. Pengemudinya tetap disebut sebagai mitra, bukan pegawai atau karyawan.

 

Driver ojol bukan mitra, tapi sapi perah kapitalis

Dalam kacamata kapitalisme, pengusaha akan berprinsip mencari keuntungan sebesar mungkin dengan modal yang minimalis.

Hal ini terbukti dari perusahaan aplikasi yang bergerak di ranah transportasi ini. Status mitra dipertahankan hingga kini oleh pihak aplikator untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dengan cara memperlakukan para driver sebagai 'sapi perah'.

Banyak driver ojol yang mengeluh karena merasa terzalimi dengan potongan lebih dari 20 persen dari aplikasi. Mereka mengaku pendapatannya kini dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sementara negara dipandang kurang serius dalam memberikan regulasi yang pasti atas status mitra dan dalam menyediakan lapangan kerja pengganti untuk para driver ojol yang nasibnya kian miris.

 

Solusi Islam dalam transportasi

Islam tidak memandang transportasi sebagai industri layaknya kapitalisme. Transportasi dianggap sebagai layanan publik yang merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan yang terbaik.

Berbeda dengan perusahaan ojol sekarang yang bisa semaunya menaikkan tarif, sementara komisi yang diterima driver ojol semakin menurun.

Dengan prinsip pengelolaan transportasi untuk memenuhi kebutuhan publik, saat perhitungan ongkos operasional telah mencapai Break Event Point (BEP) atau balik modal, maka biaya operasional transportasi selanjutnya bisa digratiskan.

Di sisi lain, dalam Islam negara juga menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang besar bagi rakyatnya.

Proyek pembangunan sarana transportasi yang menjangkau seluruh pelosok tanah air misalnya, akan membuka lowongan pekerjaan yang banyak. Tidak perlu impor tenaga kerja asing untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh WNI. Sehingga para driver ojol tidak perlu lagi bernasib miris, karena negara mampu menyediakan pekerjaan dengan gaji yang layak.***

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun