Minyakita sebagai minyak goreng bersubsidi yang diinisiasi pemerintah, beberapa minggu terakhir ini tengah mengalami kelangkaan.
Diketahui, Minyakita diluncurkan pada 6 Juli 2022 untuk mengatasi harga minyak goreng yang sempat meroket hingga Rp 25.000 per liter.
Sesuai ketentuan pemerintah MinyaKita dijual dengan harga Rp 14.000 per liter. Namun di beberapa daerah masyarakat mengeluhkan produk tersebut  mulai langka. Jikapun ada, harganya jauh lebih tinggi.
Ada apa di balik kelangkaan Minyakita? Apakah karena produsen sudah enggan berproduksi?
Dilansir dari Kompas.com (9/2/2023), ada tiga alasan kelangkaan minyak goreng tersebut, yaitu:
1. Adanya dugaan penimbunan
MinyaKita ditemukan menumpuk sebanyak  500 ton atau 555.000 liter di dalam gudang PT Bina Karya Prima (BKP), Cilincing, Jakarta Utara.
Produk minyak goreng tersebut sebenarnya telah diproduksi sejak Desember 2022. Sayangnya hingga Februari 2023, belum juga terdistribusi.
2. Masyarakat beramai-ramai beralih ke Minyakita
Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) menjelaskan bahwa kelangkaan MinyaKita di pasaran sebenarnya bukan karena stok yang menipis.
Menurutnya, kelangkaan timbul sebab warga mulai berpindah dari minyak goreng premium ke MinyaKita, lantaran kualitas produk tak berbeda jauh dengan kualitas premium.
3. Produsen enggan produksi
Sahat Sinaga sebagai Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyebutkan bahwa salah satu alasan penyebab langkanya MinyaKita adalah produsen sawit enggan memproduksinya.
Produksi tidak dilakukan karena keuntungan MinyaKita dinilai terlalu sedikit. Apalagi, pada musim resesi seperti ini ekspor sawit tengah lesu sehingga produsen tak mampu menutup kerugian.
Di sisi lain realisasi suplai pasokan minyak dalam negeri yang wajib dipenuhi perusahaan sebelum melakukan ekspor atau domestic market obligation (DMO) menurun sejak November lalu.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkap ada perubahan aturan  yang menyebabkan produsen mengalihkan produksi dari Minyakita ke minyak curah.
Selain itu adanya program biodiesel B35, yang membuat penggunaan CPO untuk energi meningkat dan menyebabkan produksi Minyakita berkurang.
Solusinya?
Penimbunan kerap terjadi karena adanya pemikiran yang menginginkan keuntungan yang lebih banyak. Ketika ditimbun, stok langa, maka pedagang akan dengan mudah melambungkan harga di pasaran.
Di sisi lain sangsi dan pengawasan yang lemah membuat tidak adanya efek jera pada pelaku penimbunan.
Sebenarnya jika seluruh kalangan masyarakat beralih untuk menggunakan Minyakita tidak ada masalah. Sebab mereka semua adalah warga yang mempunyai hak yang sama untuk mendapat pelayanan dalam hal pemenuhan bahan pangan dari Negara.
Apalagi ketika harga hampir semua bahan pangan naik, setiap keluarga pasti mengencangkan ikat pinggang dan memilih membeli produk yang murah.
Ketika produsen enggan karena perhitungan untung rugi yang minim, maka sah-sah saja di alam kapitalisme ini. Memenuhi kebutuhan rakyat bukan lagi prioritas. Inilah masalah utama dalam kapitalisme.
Kapitalisme membuka peluang dan para pengusaha untuk tamak dan serakah tanpa mempedulikan halal haram. Penimbunan dalam kapitalisme akan terus berulang, karena bisnis halal bukan lagi tujuan.
Ahli ekonomi dari lembaga riset Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, berpendapa ketika minat pihak swasta berkurang untuk produksi Minyakita, maka sebenarnya negara yang harus cepat mengambil peran lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lagi-lagi dalam Kapitalisme, peran Negara dibatasi hanya sebatas regulator, dan pemainnya tetap swasta. Sehingga rakyat kembali jadi korban akhirnya produk langka, kalaupun ada harganya mahal.
Jika tidak ingin kelangkaan produk ini terus berulang, maka kapitalisme ini harus segera dicabut dan diganti dengan sistem lain yang solutif, yaitu sistem Islam.
Solusi Islam mengatasi kelangkaan minyak goreng
Diketahui Kapitalisme melemahkan fungsi negara, sebaliknya Islam justru menjadikan negara sebagai pusat dalam setiap urusan umat.
Negaralah yang menjamin terpenuhinya kebutuhan tiap warga, terutama bahan pangan pokok. Negara akan memakai politik ekonomi Islam dalam memeberi solusi seluruh persoalan agar tidak tersandera oleh para pemilik modal seperti sistem kapitalisme hari ini.
Menyelesaikan masalah migor bukan semata mengutak-ngatik kebijakan regulasi migor, namun juga wajib berkelindan dengan kebijakan lainnya. Salah satunya kepemilikan tanah.
Dalam Islam, tanah perkebunan sawit termasuk dalam kekayaan milik umum, sehingga rakyat boleh mengelolanya sendiri.
Namun, produksi tetap dalam kontrol dan pengawasan negara sehingga jika penanaman sawit dilakukan secara masif, lingkungan tetap diperhatikan, sehingga pembakaran hutan jangan sampai memunculkan kemudaratan.
Dari rantai distribusi, negara harus benar-benar memetakan wilayah yang surplus dan yang minus sehingga distribusi mineyak goreng akan selesai.
Badan semacam Bulog sangat dibutuhkan untuk membantu distribusi minyak goreng pada rakyat sehingga negara tidak hanya mengandalkan swasta dalam rantai distribusinya.
Negara juga harus memastikan mekanisme pasar berjalan baik. Salah satu kuncinya yaitu penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi, khususnya berhubungan dengn produksi, distribusi, perdagangan, dan lain-lain.
Negara pun dengan tegas memberi regulasi dan sangsi seperti larangan penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang terlalu tinggi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H