Mohon tunggu...
Abrar Rizq Ramadhan
Abrar Rizq Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif S1 Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang Akt.2022

Saya Abrar Rizq Ramadhan. Sejarah beserta ilmu sosial telah menjadi minat yang saya gandrungi sejak SMA. Oleh karena itu saya masuk prodi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (UNNES). Dengan memahami ilmu sosial, diperlukan banyak membaca demi menambah wawasan sehingga berliterasi telah menjadi sebuah kewajiban bagi diri saya sendiri. Saya juga gemar menulis. Sejak SMP, saya telah menekuni hobi ini. Yang saya tulis berkaitan dengan kehidupan sosial, Lifestyle, Review film/buku, dan Historiografi. Dikala jenuh dengan aktivitas terkait kesejarahan, biasanya saya menghibur diri dengan menonton film, bermain game, dan bermusik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Risalah Mengenai Kemungkinan Renaisans di Indonesia

15 Agustus 2024   21:58 Diperbarui: 15 Agustus 2024   22:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan yang menggambarkan kehidupan di Athena, Yunani Kuno. (Sumber: Kompas.com)

Menjelang kemerdekaan Indonesia yang ke-79, timbul kekhawatiran di pikiran dan rasa sinis terhadap nasib bangsa besar ini dalam hal-hal kemajuan. Sudah dua kali saya menulis artikel mengenai masa-masa kegelapan yang meliputi Indonesia per hari ini, dan dari sana muncul satu konklusi; Renaisans di Eropa Barat tidak akan terjadi di Indonesia. 

Hal ini didasari atas mimpi besar bangsa Eropa Barat yang hendak meraih kejayaan di dua masa sebelumnya yakni, Yunani Kuno yang mengajarkan dasar keilmuan dan Romawi Kuno yang melandasi imperialisme demi superioritas. Sementara Indonesia hanya akan kembali pada Feodalisme dan Glorifikasi yang mengutuk negeri ini untuk ratusan tahun jauh sebelum Republik dideklarasikan.

            Namun, mungkinkah Renaisans lahir di Indonesia? Mimpi itu selalu menghantui pikiran saya sebagai sebuah pencerahan yang remang-remang. Jika melihat realitas sosial, mencapai Renaisans tampak sangat mustahil. Keengganan berliterasi, kepercayaan terhadap logika mistis, religius yang tidak taat, hingga pembunuhan Demokrasi menjadi salah empat dari sekian banyak kondisi sosial di hari ini yang menyatakan bahwa Indonesia belum dan tidak akan mencapai transisi menuju modernitas yang benar-benar termajukan. Meski begitu, saya masih memiliki mimpi untuk menggiring negeri ini menuju modernitas layaknya negeri-negeri di Eropa Barat. Karenanya tulisan ini hadir dan harapannya mampu mendekonstruksi pikiran pembaca sekalian untuk bersama mewujudkan Renaisans.

Dark Ages in Indonesia

            Selama ratusan tahun, Nusantara hidup dalam masyarakat yang kental akan Feodalisme dan Glorifikasi. Bahkan sebelum VOC memantapkan kongsi dagangnya di Batavia dan memulai dominasi ekonomi, bangsa kita yang beraneka ragam telah mempraktikan Feodalisme melalui hubungan Patron-Klien. 

Bahkan, narasi yang Susan Blackburn sajikan dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, menyatakan bahwa sedikit banyak praktik yang VOC lakukan dalam mengurus warga Batavia dan Ommelanden menggunakan cara-cara feodal Bumiputera Jawa di Mataram dan Sunda di Banten, seperti perdagangan budak.  Di momen ini, muncul sebuah perkawinan dua pikiran yakni Feodalisme dan Kolonialisme.

            Sebagai seorang pengamat sejarah nasional, saya tidak menyalahkan Belanda secara penuh melainkan juga menyalahkan pejabat bumiputera yang melanggengkan perkawinan dua pikiran. Hal ini menyebabkan Bangsa Indonesia selalu terjerat dalam kemunduran alam pikiran karena praktik masa lalu menunjukkan bahwa kita ini Oportunis dan haus akan Glorifikasi. 

Kehadiran politik etis yang menawarkan pendidikan bagi bumiputera menjadi secercah harapan baru. Munculnya kaum terpelajar yang progresif dengan pelbagai ideologi yang berbeda-beda menjadi sebuah gebrakan baru dalam memajukan Bangsa Indonesia yang harus terbebas dari belenggu Kolonialisme. 

Namun, tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Thamrin, Soetomo, dan lainnya hanyalah sedikit dari jutaan masyarakat bumiputera yang telah tercerahkan. Mereka semua mengakses pendidikan, membaca buku, dan berpolitik tidak lain berkat akses gelar kepriyayiannya. Sehingga, masyarakat Konservatif dan Feodal akan terus hidup dan hanya  mengikuti kehendaknya sendiri atau kehendak para tokoh pergerakan yang mereka anggap sebagai pemimpin.

            Kegiatan berliterasi seperti membaca buku juga menjadi salah satu aspek yang mendorong Renaisans, namun tampaknya hari ini kita masih berada di peringkat yang mengkhawatirkan perihal literasi. Melalui data Emedia DPR RI, Indonesia mencapai skor 359 untuk hal literasi dan menduduki peringkat 70 dari 80 negara. 

Sebuah pencapaian yang sangat mengkhawatirkan. Dan lagi, hal tersebut bisa dilihat dari gaya hidup bangsa ini ratusan tahun lalu. Dalam beberapa kuliah yang saya hadiri, saya mendapat insight baru bahwasannya kultur Bangsa Indonesia bukanlah membaca dan menulis melainkan mendengar dan berbicara alias tradisi lisan. 

Tradisi lisan menjadi suatu kultur tersendiri yang juga memiliki dampak negatif kedepannya, yakni kemunduran budaya membaca dan menulis. Sementara, membaca dan menulis selalu meliputi kehidupan aristokrat atau elite priyayi yang membedakan relasi antar kelas sipil dan penguasa. 

Secara tidak langsung, kenyamanan tradisi lisan menciptakan Masyarakat Indonesia yang enggan berliterasi, sementara dasar keilmuan dapat diperoleh melalui buku maupun literatur. Jika begini, bagaimana kita memperbaiki masyarakat dan membawanya menuju Renaisans?

            Masyarakat Renaisans mendobrak pencerahan diawali dengan berliterasi dan memahami bahwa Rasionalisme dan Sekularisme menjadi poin penting dalam membentuk pemerintahan dan kehidupan yang lebih baik. Apa yang dimaksud Rasionalisme merupakan gagasan bahwa setiap hal selalu berjalan berdasarkan atas rasio atau akal, sementara Sekularisme merupakan gagasan yang memisahkan kehidupan duniawi dengan kehidupan rohani. 

Dua hal yang bertentangan dengan gaya hidup abad pertengahan di Eropa Barat yang kental akan logika mistis dan kuasa agama atas suatu pemerintahan. Eropa Barat bisa mencapai pencerahan dan kemajuan dengan meninggalkan aspek-aspek ini. Ia menyerap segala pengetahuan yang lahir dari Yunani Kuno maupun dinasti-dinasti Muslim di Umayyah dan Abbasiyah dan mengembangkan tradisi keilmuan yang mantap. 

Ironisnya, dunia Muslim yang banyak menginspirasi dan memantik Renaisans bagi Eropa Barat justru mengalami ketertinggalan seusai persekutuan antara Sultan dan Ulama memantapkan hegemoni kelas penguasa yang menghambat perkembangan kelas intelektual dan pedagang.

            Di sisi lain, Indonesia masih bersifat seperti abad pertengahan Eropa Barat, menjadikan negeri ini masih dalam kekangan kegelapan yang irasional dan konservatif. Saya akan mencoba menggarisbawahi logika mistis yang terkenal di masa kegelapan, yang kini pengaruhnya tercermin di kalangan kelompok kecil Masyarakat Indonesia, kebanyakan dari golongan Sufi dan Kejawen. 

Tan Malaka, salah seorang pahlawan nasional, dalam bukunya yang berjudul Madilog, menegaskan bahwa salah satu penghambat kemajuan di Indonesia adalah logika mistis. Yang dimaksud dengan logika mistis adalah kepercayaan terhadap hal-hal irasional seperti percaya jimat-jimat tertentu yang dianggap sakti maupun sosok tak kasat mata yang dianggap sepuh. 

Ibaratnya, dunia sudah berfokus untuk mengembangkan teknologi namun kelompok masyarakat ini masih berkutat pada hal-hal irasional yang tidak dijangkau oleh akal. Sangat disayangkan, Indonesia masih memiliki cukup banyak kepercayaan logika mistis di kalangan masyarakatnya, yang saya anggap tidak hanya menghambat kemajuan nasional dalam membangun negeri, tapi juga menjadi beban bagi lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya, sudah saatnya Indonesia meninggalkan kebudayaan kolot seperti ini seperti yang tercermin dalam salah satu lirik Internationale: "Lupakan Adat dan Paham Tua, Kita Rakyat Sadar, Sadar".

            Lingkungan agamis yang tidak taat, merupakan nama yang saya sematkan bagi Masyarakat Indonesia yang sangat memuji tuhan. Tentunya saya bukan seorang ateis, karena dalam meraih kemajuan tidak perlu menjadi sosok yang menentang tuhan. Namun, saya mengkritik masyarakat kita yang agamis di satu sisi namun juga mempermainkan agama di sisi yang lain. 

Karena cukup banyak kasus di media sosial yang menunjukkan bahwa agama khususnya Islam bisa menjadi alat pemersatu. Ironisnya, banyak pembela Islam di Indonesia yang tidak mempraktikkan ajaran Islam. Beberapa menggunakan cara-cara radikal yang mengganggu ketenteraman, yang lainnya sekedar membela tanpa mengerti dan tak mau berubah menjadi sosok yang taat. 

Dirinya masih berbuat dosa tanpa melakukan ibadah, namun menjadi yang paling keras dalam membela Islam. Saya mungkin tidak taat, setidaknya saya tidak mau disebut seorang Muslim yang taat, karena saya malu berdiri di hadapan Allah jika saya justru meninggalkannya di tengah ambisi membela Islam. 

Mencapai Renaisans bukan berarti meninggalkan agama. Sekularisme bukan berarti anti agama, melainkan memahami bahwa akhirat dan dunia merupakan dua hal yang berbeda dan kita harus memaksimalkan keduanya. Para intelektual Muslim melakukan hal yang sama di abad pertengahan dulu. 

Mereka mensejahterakan dunia dengan pelbagai keilmuan dan penemuan yang mereka bawa namun tetap berpegang teguh pada agama. Justru, jangan mengglorifikasi Romantisme masa lalu tanpa mau berkembang. Itulah kebudayaan kita semenjak negeri ini masih menjadi Nusantara; Feodal dan Glorifikasi.

            Kasus terbaru yang dianggap melemahkan jalan menuju Renaisans adalah pembunuhan terhadap Demokrasi dan Republik. Baru-baru ini, isu Nepotisme yang dilanggengkan Presiden Jokowi semakin menguat seakan menjadikan negeri ini negara dinasti. Indonesia kini tampak seperti Suriah dimana Dinasti Assad berkuasa secara turun temurun.

Namun berbeda dengan Suriah yang masih resisten terhadap pengaruh Barat, Indonesia kini terkesan oportunis dan justru menguntungkan elit-elit seperti lingkungan keluarga Jokowi. Ingat apa yang menyebabkan dinasti Muslim mengalami kemunduran? Ya, Otoritatrianisme yang membatasi dan mengekang kelompok intelektual dan pedagang. Kini, jika intelektual dan keilmuan dirampas, pada siapa kita berharap meraih Renaisans?

Hal-Hal Yang Harus Dilakukan

            Dengan meninggalkan semua yang telah saya sebutkan di atas, Indonesia telah melangkah satu tahap menuju Renaisans. Tentunya saya tidak bisa membawa Renaisans sendirian, saya perlu bantuan pembaca sekalian untuk terus menyebarkan gagasan soal Renaisans Indonesia. 

Menanamkan kebudayaan membaca dan menulis sedari kecil dapat menjadi sarana dalam membangun generasi baru yang sehat dan produktif. Jangan mengandalkan tontonan dari Youtube untuk menenangkan anak, melainkan ganti dengan buku atau mainan. Bimbing generasi baru untuk menjadi generasi yang membawa Renaisans. 

Internet mungkin baik dalam memperoleh informasi, namun jika salah langkah akan membawa kepada kecanduan tak terhankan. Hal yang banyak kita rasakan hingga hari ini. Generasi Z sudah dirusak oleh itu dan Generasi Alpha semakin terusakan. Sangat minim saya lihat anak-anak yang membaca untuk kebutuhannya pribadi. 

Mereka justru malas dan enggan untuk membaca. Hal yang saya rasakan juga di lingkungan kuliah, dimana banyak dari kolega saya justru menganggap bahwa kuliah sebatas datang dan pulang tanpa memahami esensi dan makna dari setiap pertemuan.

            Budaya logika mistis juga harus diberantas meski nampaknya menjadi tantangan tersulit karena bersinggungan dengan kelompok konservatif. Karenanya, perihal logika mistis harus diatasi dengan intervensi kelompok yang peduli terhadap masyarakat. Penanaman pendidikan yang berdasarkan atas Rasionalisme bisa menjadi sarana dalam membuang logika mistis. 

Tentunya perlu diberlakukan penerapan yang sistematis. Jika tidak, maka mimpi sang Bapak Republik (Tan Malaka) dalam memajukan Masyarakat Indonesia harus terbuang sia-sia. Hal yang sama juga berlaku bagi kasus agamis tidak taat, namun ia harus kembali pada kesadaran masing-masing yang harus didorong atas moralitas dan sikap pengertian terhadap agama dan dunia.

            Renaisanas di Indonesia adalah mimpi yang sangat jauh untuk dicapai. Kemunduran Demokrasi bisa menjadi penyebab kemandegannya. Namun, kesadaran masyarakat adalah yang terpenting. Jika masyarakat di hari ini telah usai, maka membangun masayrakat yang baru di masa depan harus segera dilaksanakan demi menciptakan lingkungan yang rasional. 

Dengan begitu, berbanggalah menjadi Indonesia, suatu bangsa yang bisa berdiri di kancah dunia bukan sebagai bahan olokan karena kebodohan mayoritas masyarakatnya, melainkan karena telah melampaui segala prestasi barat selaku hegemoni dunia di hari ini.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun