Mohon tunggu...
The Econ Lab
The Econ Lab Mohon Tunggu... Lainnya - A Lab Designed for Aspiring Student Economist

THE ECON LAB is a student club aiming to be a supportive platform to develop the skillset needed to be outstanding economics student and to build awareness on economic issues in FEB UB environment. We connect highly passionate economics students, develop them, and encourage them to create economic works.

Selanjutnya

Tutup

Money

SWF Kala Pandemi, Menjadi Untung atau Buntung?

3 April 2021   12:55 Diperbarui: 4 April 2021   11:45 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 (10 Top Lembaga SWF di Dunia)

Tepat setahun berlalu dunia telah bergulat dengan Pandemi Covid-19. Kondisi bukan membaik justru semakin memburuk. Kasus positif covid di Indonesia telah tembus menjadi 1 juta kasus, angka ini semakin hari semakin melonjak dengan rekor kasus harian yang melonjak. 

Tak ayal krisis kesehatan pandemi covid-19 telah mempengaruhi kehidupan manusia. Krisis kesehatan pun merebak menjadi krisis ekonomi yang dirasakan seluruh warga dunia, tak terkecuali di Indonesia. 

Aktivitas dan mobilitas masyarakat terbatasi yang mempersulit kegiatan ekonomi. Hal ini lah yang membuat banyak dari kelompok masyarakat terdampak secara ekonomi. 

Ditengah gejolak penanganan pandemi Covid-19 Presiden Joko Widodo resmi menetapkan sovereign wealth fund (SWF) Indonesia yang dinamakan Indonesia Invesment Authority (INA). SWF Indonesia berpayung hukum PP Nomor 74 tahun 2020 yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. PP tersebut diteken Presiden pada 14 Desember 2020 dan diundangkan sehari setelahnya.

SWF atau lembaga pengelola Investasi merupakan lembaga yang bertugas mengelola dana investasi abadi dalam negeri, selain itu lembaga ini diberikan amanat untuk mengelola sumber pendanaan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan selain berbasis pinjaman atau utang. 

Menurut pengertian dari Das, Dilip K. (2008) tidak ada definisi SWF yang diterima secara universal, namun secara fungsional dapat didefinisikan sebagai dana yang dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah negara dengan mengelola tabungan nasional, surplus anggaran, dan kelebihan cadangan devisa lalu menginvestasikannya secara global ke dalam saham perusahaan, obligasi dan instrumen keuangan lainnya. 

Secara prinsip SWF berasal dari kelebihan tabungan atau kekayaan negara yang kemudian dinvestasikan untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih besar. Adapun secara sederhana SWF adalah dana yang dimiliki oleh pemerintah dan siap untuk diinvestasikan.

Lembaga ini diharapkan pula memberikan angin segar bagi pemulihan ekonomi nasional yang cukup terkontraksi akibat Covid-19. Sebagai catatan BPS telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan pada 2020 minus 2,07 persen. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini mencatatkan pertumbuhan negatif untuk pertama kalinya sejak Indonesia mengalami krisis 1998. Perlambatan ekonomi berimbas pada tingkat pengangguran yang meningkat. 

Kenaikan pengangguran diakibatkan banyak perusahaan yang terdampak pandemi melakukan PHK yang massive. Menurut data Kemenaker sebanyak 3,5 juta jumlah pekerja yang telah dirumahkan selama pandemi. Angka tersebut turut berkontibusi terhadap peningkatan pengangguran Indonesia. 

Menurut data BPS per Agustus 2020 ada 9,77 juta orang yang menganggur dengan kenaikan dari periode lalu sebesar 2,67 juta. Tentu kondisi ini menjadi PR besar pemerintah dalam mencegah pengangguran yang semakin besar. 

Salah satu upaya mencegah semakin besar tingkat pengangguran dengan pembukaan lapangan pekerjaan. Pemerintah pun melalui sovereign wealth fund (SWF) Indonesia menjadi gairah peningkatan iklim investasi.

SWF diupayakan dapat menggaet investor dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga terciptalah lapangan pekerjaan baru. 

Menurut Adityo Kusumo narasumber Kementrian BUMN menyatakan bahwa "Setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3 persen. 

Selanjutnya, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3 persen berdampak pada penciptaan lapangan kerja untuk sekitar 75.000 tenaga kerja." dilansir dari Kumparan.com (24/12/2020).

Investasi yang sudah ada itu faktanya selalu meningkat dari tahun ke tahun (cari data BKPM atau BPS) tapi serapan tenaga kerjanya malah sebaliknya. Investasi yang masuk ke Indonesia dinilai belum mampu mendongkrak penciptaan lapangan kerja. Sebagai contoh pada 2018, ketika realisasi investasi tumbuh 4,11%, justru kemampuan menyerap tenaga kerja mengalami penurunan 18,4% (year on year/yoy).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan masuknya investasi terlihat belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia, yaitu padat karya di sektor sekunder. Kinerja investasi di Indonesia disebut belum mampu mendorong kinerja sektor riil. Hal itu tercermin dari minimnya jumlah penyerapan tenaga kerja, meskipun investasi meningkat. investasi di Indonesia di kuartal II-2019 yang sebesar Rp 200,5 triliun ternyata tak mampu mendorong penciptaan jumlah tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlah penciptaan tenaga kerja malah menurun. Dia menjelaskan, pada kuartal II-2019 jumlah penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 255 ribu orang atau menurun dibanding kuartal II-2018 yang mencapai 289 ribu orang. hal itu disebabkan dari model investasi yang masuk ke Indonesia dominan ke sektor tersier atau jasa. Sedangkan sektor primer seperti pertanian atau pertambangan hingga sektor sekunder seperti manufaktur atau pengolahan justru menurun. Kemampuan investasi untuk menciptakan tenaga kerja masih lemah. Investor lebih melirik investasi di sektor tersier yang lebih capital intensive ketimbang labour intensive.

Dibalik kritik mengenai penyerapan tenaga kerja yang rendah dari Investasi yang masuk ke Indonesia. Lembaga SWF dharapkan pemerintah menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan dana SWF akan digunakan khususnya untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol serta bandar udara di dalamnya. Mengingat SWF belum resmi beroperasi, belum dapat dipastikan proyek jalan tol apa yang akan didanai oleh SWF. Pada saat ini, pemerintah memiliki sejumlah rencana pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia seperti yang tercantum dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, proyek jalan tol itu antara lain:

  • Jalan Tol Serang-Panimbang
  • Jalan Tol Pandaan-Malang
  • Jalan Tol Manado-Bitung
  • Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
  • Jalan Tol Trans Sumatera (17 ruas)
  • Jalan Tol Kayu Agung-Palembang-Betung
  • Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan
  • Jalan Tol Ciawi-Sukabumi-Ciranjang-Padalarang
  • Jalan Tol Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran
  • Jalan Tol Serpong-Cinere
  • Jalan Tol Cinere-Jagorawi
  • Jalan Tol Cimanggis-Cibitung
  • Jalan Tol Cibitung-Cilincing
  • Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu
  • Jalan Tol Serpong-Balaraja
  • Jalan Tol Dalam Kota Jakarta
  • Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo
  • Jalan Tol Probolinggi-Banyuwangi
  • Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar
  • Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Sisi Selatan
  • Jalan Tol Semarang-Demak
  • Jalan Tol Yogyakarta-Bawen

BUMN sebagai agen pembangunan selalu menjadi yang pertama dalam mengembangkan proyek jalan tol. "Kemudian baru ditawarkan (ke asing) karena BUMN butuh (dana) lagi untuk pembangunan di tempat lain," lanjutnya. Arya menilai hal ini merupakan strategi BUMN agar mampu mewujudkan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia dengan tidak bergantung pada suntikan APBN.

SWF bukanlah barang baru, cikal bakal munculnya SWF di dunia diprakarsai oleh Kuwait. Berkaca pada sejarah, di tahun 1953 salah satu negara penghasil minyak di Timur Tengah yaitu Kuwait membentuk Kuwait Investment Authority yang bertujuan untuk menginvestasikan surplus pendapatan dari minyaknya. Kuwait membentuk SWF ini dengan tujuan apabila pasar minyak global mengalami guncangan (shock) sehingga berpengaruh terhadap pendapatan negara, maka investasi yang dilakukan melalui SWF-nya bisa menjadi dapar (buffer) dari shock tersebut. Setelah Kuwait, ada banyak SWF bermunculan. Bahkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun sudah punya sendiri. Singapura punya dua SWF yaitu GIC Private Limited dan Temasek Holdings sementara Malaysia punya Khazanah. Menariknya baik GIC & Temasek memiliki aset kelolaan yang sangat besar. Kedua kendaraan finansial Negeri Singa itu bahkan masuk top 10 SWF dengan aset kelolaan terbesar di dunia.

Di peringkat 1 ada SWF milik Norwegia yang dikelola oleh bank sentralnya melalui Norges Bank Investment Management. Aset kelolaannya tak tanggung-tanggung mencapai US$ 1,1 triliun sampai saat ini. Pada tahun 1969 Norwegia menemukan ladang minyak besar di pantai bagian utaranya yang diberi nama Ekofisk.

Di situlah mulai dibentuk SWF untuk dana pensiun. Baru pada 1976 dana untuk SWF tersebut didepositkan untuk pertama kali. Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk membeli saham, surat utang dan aset-aset properti di berbagai negara. Aset SWF Norwegia terus bertumbuh sampai menjadi yang terbesar di dunia. Saat ini SWF Norwegia ini memiliki saham di 9.202 perusahaan publik yang tersebar di seluruh negara. Jumlah tersebut berarti SWF Norwegia menguasai 1,5% dari total saham global

Melihat niat baik terbentuknya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) perlu menjadi perhatian masyarakat mengenai transparansi SWF Indonesia atau LPI ini. Bagaimana tidak Pemerintah tidak main-main dalam memulai pelaksanaan SWF. Pemerintah sudah menyetor sebanyak 15 T dari APBN 2020 sebagai modal awal SWF dan secara bertahap pada tahun 2021 ditambah sebesar Rp 75 triliun atau lebih. potensi untuk terjadinya tindak pidana korupsi tidak dapat terelakan mengingat dana kelolaan LPI yang cukup besar. Tampaknya, prinsip transparansi dan pakta integritas saja tidak cukup bagi pengelolaan LPI. Kedua hal itu pada kenyataannya tidak menjamin perusahaan-perusahaan pelat merah terbebas dari gratifikasi dan korupsi. Kekhawatiran ini pun wajar karena ketidakinginan melihat kasus korupsi 1MDB yang menjerat mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.

Oleh Daffa Yudha Prakarsa dan Salsabila Nasyiha Al Sakinah mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

Daftar Pustaka

Das, Dilip K. (2008). Sovereignwealth funds. International Journal of Development Issues, 7(2), 80--96.

satu

dua

tiga

empat

lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun