Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu... -

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Karius yang (Akan) Gagal Bersembunyi

27 Mei 2018   22:33 Diperbarui: 2 Juni 2018   23:12 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari metro.com

 

Ketika peluit berbunyi pada menit ke 90 + 3, jelas banyak Madridista yang berteriak histeris dan disisi lain banyak Liverpudlian yang harus menangis sambil mengutuk "kelakuan" seorang Loris Karius dipertandingan berlabel final Liga champions.

Tiga gol dari Real Madrid yang hampir seluruhnya merupakan kesalahan dari Karius. Ini menggambarkan betapa, dirinya menjadi Kambing hitam sempurna untuk dihujat seluruh publik Anfield, maupun penggemar Liverpool di belahan dunia lain. Entah apa yang ada di pikiran Karius ketika peluit usai dibunykan, jujur saya ingin sekali tahu.

Tapi beberapa perasaan bisa tercermin dari gerak gerik yang dilakukannya ketika seketika seluruh pemain Real Madrid berhamburan ke dalam lapangan sambil memeluk Zinadine Zidane yang berhasil mencatatkan trigelar Liga Champions.

Gerak gerik Karius langsung menjadi sorotan beberapa media melebihi raut muka sang pahlawan Gareth Bale. Mereka memilih langsung menyondongkan kamera ke arah Karius daripada menyoroti Christiano Ronaldo yang kali kelima mengangkat Piala Si Kuping Besar.

Gerakan pertama dari Karius adalah menutup mata dan tertunduk lesu. Jelas, dia yakin dirinya akan menjadi sorotan dari seluruh dunia.

Bahkan, yang cukup menarik adalah sepuluh pemain Liverpool lainnya langsung berjalan lunglai ke arah bangku penonton tanpa ada satu orang pun yang menyemangati atau memberikan shoulder to cry on kepada Karius. Seolah-olah semuanya menyalahkan Karius atas dua kebodohan terbesarnya pada malam final.

Setelah tangisan yang tidak bisa berhenti, Karius langsung mencoba bangkit dan dengan tangisan yang terisak-isak, dia memberikan gesture minta maaf melalui kedua tangannya kepada seluruh penggemar Liverpool yang sudah jauh-jauh datang ke Kiev, Ukraina.

Gesture minta maaf yang sebenarnya cukup mengena dan terharu, karena Karius berjalan sendiri untuk meminta maaf, bahkan tidak ditemani oleh rekan-rekan lainnya, yang seharusnya juga ikut meminta maaf karena mengecewakan pendukung setia mereka.

Namun, yang terjadi tidak kalah mengharukan, ketika para pendukung The Kop justru memberikan tepuk tangan yang menghibur dan menyanyiukan chant you'll never walk alone untuk menghibur Karius.

Akan tetapi, Karius pun sadar nasi sudah menjadi bubur, sehingga tidak ada yang bisa diperbuatnya lagi selain terus menangis sejadi-jadinya dan meminta maaf layaknya seorang anak yang mengecewakan ibu tercintanya yang telah melahirkan dirinya.

"Jika saya bisa memutar waktu...," kata Karius, mengutip Liverpool Echo.

Setelah permintaan maafnya yang cukup lama, sekitar lima menit di depan tribun pendukung Liverpool, Karius langsung berjalan menuju ruang ganti yang ia yakini (dan saya juga yakin) akan diisi oleh kemarahan teman-temannya namun pasti tidak enak hati menyalahkan Karius, sehingga akan tercipta momen akward yang tak berkesudahan.

Takut? Jelas.

Apalagi yang paling ditakuti selain dibenci oleh teman-teman sendiri yang dalam beberapa tahun terakhir hampir bertemu setiap hari dan merajut mimpi bersama.

Namun, sebelum Karius berjalan menuju ruang ganti, akhirnya ada satu orang yang cukup "jantan" merangkul Karius sambil membisiki kata-kata (yang mungkin) berisi motivasi untuk melupakan blunder yang telah terjadi. Orang tersebut adalah legenda Liverpool, bernama Jamie Carragher.

Carragher adalah salah satu orang terakhir yang hadir di bangku penonton yang turut merasakan kekalahan Liverpool dalam final Liga Champions edisi terakhir mereka di tahun 2007 setelah ditekuk oleh dendam membara AC Milan.

So, Carra memang tahu perasaan akan kekalahan di pertandingan final dan mencoba memberikan pencerahan kepada Karius, yang jujur saya yakini jelas tidak akan terdengar oleh Karius.

Dalam beberapa buku psikologi yang saya baca, terkait teori depresi dan kegagalan serta didukung oleh beberapa pengalaman pribadi dan cerita kerabat serta sahabat, saya menangkap bahwa momen Karius ketika peluit dibunyikan adalah momen ketika dirinya masuk dalam "black hole": seolah-olah ingin menyendiri sendiri dan jelas tidak akan terdengar atau tertangkap oleh memori mengenai apapun yang orang lain ucapkan, baik berupa hujatan hingga kalimat penuh motivasi.

Karius sendiri sadar bahwa dirinya lah yang menjadi penyebab dari kegagalan Liverpool merengkuh juara. Mungkin akan berbeda dengan perasaan Mo Salah yang juga menyesal membuat mental pemain Liverpool menurun ketika dirinya ditarik keluar pada pertengahan babak pertama. Kali ini Karius sadar bahwa kekalahan ini 99 persen akibat kekonyolannya dalam menjaga gawang.

Sebenarnya, bukan Karius saja yang mengalami duka "dibuang" sendirian dan dijadikan kambing hitam sempurna oleh rekan-rekan setim, pelatih, hingga pendukung.

Beberapa minggu sebelum kejadian Karius ini, ada nama Sven Ulreich. Kiper Bayern Muenchen yang bermain bagus dari awal musim dan dicap tepat sebagai pengganti Manuel Neuer yang cedera, namun harus berakhir tragis (lagi-lagi) oleh blunder dirinya yang (lagi dan lagi) dimanfaatkan oleh Karim Benzema dan Real Madrid.

Ketika beberapa saat menjelang semifinal Liga champions di Kandang Muenchen, beberapa wartawan kompak mendesak Joachim Loew, pelatih Timnas Jerman untuk memanggil Ulreich ke dalam skuat piala dunia sebagai pengganti Neuer yang cedera.

Mungkin saja, Loew pun sempat berfikir demikinan, namun ide dan gagasan tersebut langsung hancur lebur ketika sebuah blunder di ajang sekelas empat besar Liga Champions.

Dengan tindakan blunder Karius, saya yakin bahwa sebenarnya saat ini, Sven Ulreich bisa sedikit bernafas lega karena dirinya tidak lagi menjadi sorotan dalam rangkuman cerita Liga Champions musim 2017/2018.

Ulreich pasti merasakan apa yang telah dan akan dirasakan Karius dalam beberapa hari kedepan, namun dalam hati kecilnya pasti akan terbesit ucapan terima kasih kepada Karius karena jelas spotlight berubah arah, dan akan menyoroti Karius hingga awal musim depan.

Sebenarnya ada satu nama lagi yang menanggung beban separah Karius, namun dalam kadar yang jauh berbeda. Kasusnya juga terjadi pada Liga Champions musim ini. Namanya adalah Mile Sviliar, kiper muda berumur 17 tahun asal Belgia yang bermain untuk klub Portugal, Benfica.

Blundernya terjadi di awal musim Liga Champions, ketika dirinya diturunkan untuk menghadapi gempuran Manchaster United.

Kesalahan terbesar Sviliar adalah, dirinya gagal mengantisipasi tendangan lambung Marcus Rashford yang berbuah gol untuk anak asuh Jose Mourinho.

Prosesnya yang cukup miris, ketika bola yang ditangkap oleh Sviliar sebenarnya sudah melewati garis gawang, namun Sviliar bersikeras dengan muka innoncent-nya menganggap bahwa itu adalah hal lumrah yang terjadi dan dirinya berhasil menangkap bola dan semua berjalan dengan normal.

Namun, layaknya pepatah kuno Jawa bahwa akan selalu ada keberuntungan dibalik sebuah kegagalan. Keberuntungan tersebut tercermin dari pertandingan yang dihelat, masih meruapakan pertandingan tingkat awal yang belum menyedot atensi sebagian pecinta bola.

Sesudah itu pun, Mourinho dan beberapa pemain Manchaster United memeluk dan menyemangati Sviliar, dan menyebut kesalahan tersebut adalah kesalahan wajar seorang rookie.

Toh, dasarnya Sviliar adalah seorang debutan, yang baru bermain pertama kali, dan di umur yang cukup muda: 17 tahun. Gagal, namun masih mujur.

Kembali lagi kepada sang terpidana Loris Karius. Dua blunder dirinya, mengakibatkan Juergen Klopp harus kalah untuk keenam kalinya dalam enam final kejuaraan yang diikuti oleh dirinya. Dua final Liga Champions dan satu final Liga Europa.

Namun, kesalahan Karius juga tidak terlepas dari keras kepala Klopp yang di awal dan tengah musim ngotot untuk tidak membeli kiper baru yang mempunyai skill satu tingkat diatas Mignolet dan Karius.

Nama seperti Jordan Pickford, hingga Joe Hart gagal direbut Klopp untuk menggeser dua kiper miliknya yang jujur saya sudah sering dan terkenal blunder di level Premier League.

Namun, Klopp tetaplah seorang pelatih yang jelas akan memikul tanggung jawab yang lebih berat. Sehingga dirinya juga dengan lantang mengatakan bahwa, Karius memegang peranan penting dalam kegagalan Liverpool meraih Liga Champions musim ini, sebuah kalimat yang keluar begitu saja dari mulut Klopp ketika dirinya diwawancarai beberapa media selepas pertandingan final.

Kalau boleh jujur, sebenarnya masih ada satu ramuan yang bisa membuat Karius bisa tidur nyenyak dan tidak menjadi bahan perbincangan sepanjang musim panas ini, maupun awal musim depan yang akan selalu "mengenang" kegagalan Karius. Jawabannya adalah, kegagalan yang dialami oleh kiper lain dalam pertandingan sekelas semifinal maupun final Piala Dunia 2018, yang akan digelar dalam hitungan beberapa minggu lagi.

Jika kita tarik mundur, sebenarnya dalam 20 edisi terakhir final Liga Champions, tidak ada satupun kiper yang membuat blunder "sekelas" Karius di final musim ini.

Nama-nama dari Angelo Peruzzi, Santiago Canizares, Hans Jorg Butt, hingga Gigi Buffon di musim lalu adalah nama-nama kiper yang bermain cukup baik dalam pertandingan sekelas final liga champions, walaupun mereka belum beruntung karena gol yang bersarang digawangnya lebih banyak dari yang dicetak oleh timnya.

Namun, tiak ada yang menghujat permianan mereka. Jika ditarik mundur lagi dan dibandingkan dengan final kejuaraan Eropa (Euro Cup) dan Piala dunia, juga tidak terlintas nama kiper yang membuat blunder dan harus menanggung malu di partai sekelas final. Nama, paling dekat adalah  Julio Cesar, yang harus menanggung malu dihajar Jerman 7-1 dalam partai Semi final Piala Dunia 2014. Mari kita jadikan perbandingan ya.

Selepas tragedi gila yang sering disamakan dengan tragedi Maracanna tahun 1950, beberapa nama pemain di skuad Brazil dalam pertandingan semifinal tersebut mulai menghilang dan pelan-pelan ditelan bumi.

Mungkin ada yang teringat nama Maicon, Dante, Oscar, Bernard, dan sang striker yang hanya berlari saja: Fred. Kelima nama tersebut melengkapi nama Julio Cesar sang kiper yang menjadi kambing hitam sempurna atas kemasukan tujuh gol, yang lima di antaranya tergolong cukup mudah dihalau untuk kiper sekelas Cesar yang memenangi Liga Champions bersama Inter Milan empat tahun sebelumnya.

Namun, apa mau dikata, nama Julio Cesar sudah kadung dicap buruk dan terlihat seperti "dimusnahkan" oleh seluruh negeri dan timnas Brazil.

Semenjak itu namanya tidak pernah menjadi strating eleven lagi, bahkan dirinya tidak pernah kembali lagi sebagai Julio Cesar yang hebat dibawah mistar gawang.

Dirinya berpindah-pindah dari klub sekelas Queens Park Rangers di championship Liga Inggris, menuju Toronto FC, Liga Amerika Serikat, dan kemudian hijrah ke Benfica untuk menjadi pendamping Sviliar (kiper muda yang juga blunder di Liga Champions musim ini), hingga berakhir di klub Flamengo, yang berdomisili di tanah kelahirannya Brasil.

Hal itu menyiratkan bahwa, selepas blunder dan kebodohan Cesar dalam semifinal sekelas Piala dunia, tidak akan ada orang yang akan mengingatnya sebagai seorang kiper hebat.

Mengutip dari lagu lama band asal Yogyakarta, The Rain. Bahwa adakalanya orang akan gagal bersembunyi dari kata-kata bijak yang akan menghampiri dirinya ketika dalam proses menghadapi gagal tersebut.

Dalam kasus ini, Karius pasti akan selalu di lingkari oleh kata-kata bijak dari para pendahulu hingga pesepakbola yang simpati padanya.

Namun, Karius tetap saja akan mengubris hal tersebut dan kemungkinan besar akan menikmati keterpurukannya di jeda antar musim ini.

Sebuah tindakan yang sepersekian detik, berakibat seumur hidup. Ketakutan akan dibuang ke klub lain pada jendela transfer mendatang jelas menjadi ketakutan paling real yang akan dihadapi.

So, jangan kaget jika musim depan Karius mungkin hanya akan bermain untuk klub sekelas Sunderland, atau jika beruntung bisa bangkit bersama klub sekelas Parma yang baru promosi dan mencari reputasi baru lagi di Liga Itali.

Ingat, Karius tidak akan pernah sama lagi setelah kasus ini. Sebuah kalimat yang mempunyai dua mata pisau sama beratnya.

Karius mungkin akan terperosok dan terlupakan layaknya Julio Cesar, atau jika beruntung Karius bisa bangkit kembali dan menjadi "pahlawan" baru untuk klub yang dipastikan bukan Liverpool.

Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Enjoy your holiday, Karius.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun