Semenjak itu namanya tidak pernah menjadi strating eleven lagi, bahkan dirinya tidak pernah kembali lagi sebagai Julio Cesar yang hebat dibawah mistar gawang.
Dirinya berpindah-pindah dari klub sekelas Queens Park Rangers di championship Liga Inggris, menuju Toronto FC, Liga Amerika Serikat, dan kemudian hijrah ke Benfica untuk menjadi pendamping Sviliar (kiper muda yang juga blunder di Liga Champions musim ini), hingga berakhir di klub Flamengo, yang berdomisili di tanah kelahirannya Brasil.
Hal itu menyiratkan bahwa, selepas blunder dan kebodohan Cesar dalam semifinal sekelas Piala dunia, tidak akan ada orang yang akan mengingatnya sebagai seorang kiper hebat.
Mengutip dari lagu lama band asal Yogyakarta, The Rain. Bahwa adakalanya orang akan gagal bersembunyi dari kata-kata bijak yang akan menghampiri dirinya ketika dalam proses menghadapi gagal tersebut.
Dalam kasus ini, Karius pasti akan selalu di lingkari oleh kata-kata bijak dari para pendahulu hingga pesepakbola yang simpati padanya.
Namun, Karius tetap saja akan mengubris hal tersebut dan kemungkinan besar akan menikmati keterpurukannya di jeda antar musim ini.
Sebuah tindakan yang sepersekian detik, berakibat seumur hidup. Ketakutan akan dibuang ke klub lain pada jendela transfer mendatang jelas menjadi ketakutan paling real yang akan dihadapi.
So, jangan kaget jika musim depan Karius mungkin hanya akan bermain untuk klub sekelas Sunderland, atau jika beruntung bisa bangkit bersama klub sekelas Parma yang baru promosi dan mencari reputasi baru lagi di Liga Itali.
Ingat, Karius tidak akan pernah sama lagi setelah kasus ini. Sebuah kalimat yang mempunyai dua mata pisau sama beratnya.
Karius mungkin akan terperosok dan terlupakan layaknya Julio Cesar, atau jika beruntung Karius bisa bangkit kembali dan menjadi "pahlawan" baru untuk klub yang dipastikan bukan Liverpool.
Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.