Cerita Minggu Pagi 95
Cattleya ungu itu masih cantik bergoyang-goyang di sisi lima buah mangga yang menggantung. Aku senang, dan termenung kemudian. Karena ini lebaran, di mana kumandang takbir dan takmid bergantian. Angin menerpa pagi yang bersih.
Cekrek!
Aku memotretnya, cukup dari dalam beranda rumah dengan camera seluler. Sebelumnya kusetel zoom, untuk mendekati anggrek dan mangga arumanis itu.
Anggrek merah/ yang kuberikan padamu....
Sewaktu-waktu/ dia kan layu.... Â Â
Selain takbir dari kejauhan sahut-menyahut, jalan di depan rumah sepi. Selebihnya aku duduk di bangku kayu teras rumah, dan diam. Membayangkan orang yang sudah tiba di kampung halaman dan bersuka-ria. Ini lebaran. Membagi-bagi uang dan bisa sambil makan kupat, bukan lontong. Karena lebaran adalah kupat. Tidak yang lain. Sedangkan pasangannya, bisa apa saja. Termasuk opor ayam, sambal goreng, dan emping. Mungkin rendang.
"Aku bisa membayangkan kamu melonjak-lonjak, hm," gumamku sendirian. Masih. Entah sampai kapan.
Sinar matahari yang menyembur dan menimpa anggrek serta mangga itu kini mengabur. Karena ia sudah berada di atas keduanya. Aku masih duduk, sudah tidak ngemil kue kering tinggalan mereka yang pulang ke kampung meningggalkan aku sendirian. Di rumah. Yang tenang dan hening. Sepi.
"Kamu benar-benar tidak ikut pulang, Ayah?"
Aku mengangguk.
Ia mencekal punggung tanganku.
"Nggak nyesel?"
Aku menggeleng.
"Bener?"
"Kamu ingin aku mati dalam perjalanan, dan tidak sampai ke rumah Ibu?"
Ia menarik nafas dalam-dalam. Memintaku untuk tidak lagi menyebut-nyebut kematian, hanya karena jantungan.
"Tapi di jalanan yang boleh jadi macet luar biasa, dan mendebarkan itu bisa membawaku pada kematian."
"Jalan tol sudah terbentang bagus," Rayni, istriku mencoba merayu.
"Artinya?"
"Perjalanan lancar, dan kita bisa bersama lebaran di kampung."
Aku menelan ludah. Diam.
"Atau kendaraan kita kecelakaan?" aku mencoba memantiknya dengan argumen aneh. Tapi telanjur terucapkan.
Kembali Rayni menghela nafas dalam-dalam. Ia tahu pilihan sulit. Apalagi perjalanan mudik kali ini untuk menengok Ibu yang sedang sakit. Sakit menua. Yang akan ditengok anak dan cucu yang baru empat tahun usianya.
Telepon berdering tepat saat aku akan naik motor untuk shalat Zuhur ke masjid. Kebiasaan baru sejak aku yang tidak lagi muda disebut dokter jantung coroner. Gerakanku serba lemah, saat dada berdebar dan punggung pegal-pegal bak habis memikul beban berat tak terkira. Â
"Sudah makan?"
"Ya."
"Kok jawabannya lemes gitu?"
"Mau jawaban yang kayak apa?" aku membatin. Dan aku bingung. Karena ini kalimat pertama, bukan selamat lebaran dan tidak sejak aku pulang dari masjid shalat Ied pagi tadi sebelum lama termenung menatap anggrek ungu dan mangga menggantung. Yang biasanya disambung dengan acara bersalaman dan sungkeman. Ia, dan anakku yang baru satu. Aku telat menikah dengan Rayni yang jauh lebih  muda dan energik. Termasuk sebagai wanita yang cerdas, punya karier bagus dan bisa mengendarai mobil dengan tangkas.
"Sudah makan obat?"
"Ya," jawabku makin lirih. "Aku mau shalat...."
"Oh, ya ya. Met lebaran ya sayang...."
Aku pun menstater mesin motor, dengan meslag pedal motor. Aki motor memang sedang soak. Tiga kali baru hidup setelah kugenjot. Dan itu membuat tersengal dadaku. Kudekap sebentar, sebelum motor benar-benar kujalankan menuju masjid di kompleks perumahan.
Di masjid sehabis shalat disambung takbir, tak seperti biasanya shalat Zuhur. Lalu kami bersalaman. Kesempatan daripada mendatangi tiap rumah di kompleks.
"Tidak mudik, Mas?" sapa Pak Dar yang tadi mengimami shalat, saat kami berjalan keluar dari masjid yang tidak sebanyak biasanya. Mungkin orang sibuk dengan acara lebaran. Saling berkunjung, makan-makan ketupat. Biasa. Termasu mengenakan baju baru, dan sebagian bersarung.
"Istri dan anak saja. Sambil menengok Ibu yang agak sakit," sahutku.
"O."
Kami berpisah. Aku menghidupkan mesin motor. Seperti berangkat tadi, perlu tiga kali. Ah, kali ini lima kali. Dan itu memforsir tenaga. Membuat dada berdebar. Aku perlu mengatur diri, sebelum kemudian menjalankan sepeda motor. Pelan-pelan.
Kulirik, ke kiri atas. Aku kaget. Anggrek itu patah. Persisnya tak ada di samping mangga yang masih utuh. Ia bisa dipetik orang dengan tinggi badan sepertiku, sekitar seratus tujuh puluh centimeter.
Memarkir motor, dan bergegas.  Aku  mencoba mencari anggrek yang lama tidak berbunga itu. Termasuk beberapa pohon anggrek yang lain, berbunga putih atau kekuningan. Tak ada. Benar-benar raib.
Kupandangi ujungnya. Lalu kulirik ke arah mangga arumanis itu. Masih tergantung. Sesekali bergoyang bersamaan daunnya yang tertiup.
Seluler berdering. Kulihat nama Rayni.
"Assalamualaikum, Mas Tris ...."
Aku tercekat. Suara Ibu, ibu mertua.
"Waalaikum salam, Bu...."
Terdengar desah nafasnya.
"Maafkan Ibu, ya."
Aku kian gugup. Karena didahuluinya mengucapkan kata-kata sakti pada Lebaran seperti ini. Saat aku sendirian, dan kesepian serta bingung dengan hilangnya aggrek ungu yang kutinggal shalat Zuhur di hari lebaran.
"Kenapa ndak ikut pulang, sih, Mas....?"
Aku tak bisa menjawab. Dadaku kian berdegup. Makin panas sekitar uluhati. Keringat menderas di sekujur punggung, ketika, dahi, dan leher. Persis ketika dari seberang lima buah mangga yang masih menggantung seperti ada bayangan wanita cantik sedang menggoyang-goyangkan anggrek ungu. Lalu bayangan itu mengabur. Menghilang. ***
AP, 16/06/19 Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H