Aku pun menstater mesin motor, dengan meslag pedal motor. Aki motor memang sedang soak. Tiga kali baru hidup setelah kugenjot. Dan itu membuat tersengal dadaku. Kudekap sebentar, sebelum motor benar-benar kujalankan menuju masjid di kompleks perumahan.
Di masjid sehabis shalat disambung takbir, tak seperti biasanya shalat Zuhur. Lalu kami bersalaman. Kesempatan daripada mendatangi tiap rumah di kompleks.
"Tidak mudik, Mas?" sapa Pak Dar yang tadi mengimami shalat, saat kami berjalan keluar dari masjid yang tidak sebanyak biasanya. Mungkin orang sibuk dengan acara lebaran. Saling berkunjung, makan-makan ketupat. Biasa. Termasu mengenakan baju baru, dan sebagian bersarung.
"Istri dan anak saja. Sambil menengok Ibu yang agak sakit," sahutku.
"O."
Kami berpisah. Aku menghidupkan mesin motor. Seperti berangkat tadi, perlu tiga kali. Ah, kali ini lima kali. Dan itu memforsir tenaga. Membuat dada berdebar. Aku perlu mengatur diri, sebelum kemudian menjalankan sepeda motor. Pelan-pelan.
Kulirik, ke kiri atas. Aku kaget. Anggrek itu patah. Persisnya tak ada di samping mangga yang masih utuh. Ia bisa dipetik orang dengan tinggi badan sepertiku, sekitar seratus tujuh puluh centimeter.
Memarkir motor, dan bergegas.  Aku  mencoba mencari anggrek yang lama tidak berbunga itu. Termasuk beberapa pohon anggrek yang lain, berbunga putih atau kekuningan. Tak ada. Benar-benar raib.
Kupandangi ujungnya. Lalu kulirik ke arah mangga arumanis itu. Masih tergantung. Sesekali bergoyang bersamaan daunnya yang tertiup.
Seluler berdering. Kulihat nama Rayni.
"Assalamualaikum, Mas Tris ...."